Minggu, 11 Desember 2011

PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA (HARUN NASUTION)


(Antara Modernisme dan Teologi Rasional Mu’tazilah)


Dari Mandailing ke Kanada: Riwayat hidup, internalisasi dan pergulatan pemikiran Harun Nasution
Harun Nasution dilahirkan di Pematangsiantar pada tanggal 23 September 1919. Ia dilahirkan dari keluarga ulama. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad. Ia adalah seorang ulama sekaligus pedagang yang cukup sukses. Ia mempunyai kedudukan dalam masyarakat maupun pemerintahan. Ia terpilih menjadi Qadhi (penghulu). Pemerintah Hindia Belanda lalu mengangkatnya sebagai Kepala Agama merangkap Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun.[1] Sedangkan ibunya adalah anak seorang ulama asal Mandailing yang semarga dengan Abdul Jabbar Ahmad.[2] Ia pernah bermukim di Mekah sehingga cukup mengerti bahasa Arab dengan baik. Harun menempuh pendidikan dasar di bangku sekolah Belanda. Ia sekolah di HIS selama tujuh tahun. Selain itu, ia juga belajar mengaji di rumah. Harun Nasution lulus dari HIS sebagai salah satu murid terbaik yang dipilih kepala sekolahnya untuk langsung melanjutkan ke MULO tanpa melalui kelas nol.[3] Namun ayahnya ternyata mempunyai rencana lain untuk Harun. Ia menyuruh Harun untuk sekolah agama seperti kakak lelakinya. Akhirnya Harun memilih sekolah agama di Bukittinggi yang bernama Moderne Islamietische Kweekschool (MIK). MIK adalah sekolah guru menengah pertama swasta modern milik Abdul Gaffar Jambek (putra Syekh Jamil Jambek). Di sekolah itu, dalam suatu pelajaran gurunya pernah mengatakan bahwa memelihara anjing tidak haram. Ajaran di sekolah itu dirasakan cocok olehnya sehingga ia juga berpikiran bahwa memegang Qur’an tidak perlu berwudhu karena Qur’an hanyalah kertas bisaa, bukan wahyu. Apa salahnya memegang kertas tanpa berwudhu terlebih dahulu. Begitu pula soal sholat, memakai ushalli atau tidak, baginya sama saja.[4] Harun sebenarnya masih ingin bersekolah di MIK. Namun karena melihat kondisi sekolah yang cukup miskin sehingga tidak bisa menghadirkan suasana belajar yang baik, maka ia memutuskan untuk pindah sekolah.
Harun pernah mendengar sekolah Muhammadiyah di Solo yang menurutnya cocok dengan jalan pikiran dia. Ia lalu melamar di sekolah itu. Ternyata lamarannya di HIK (Sekolah Guru Muhammadiyah) diterima. Akan tetapi, orangtuanya tidak merestui ia bersekolah di sana. Orangtuanya merencanakan Harun untuk melanjutkan sekolah di Mekkah.[5] Setelah itu Harun banyak berkonsultasi dengan beberapa ulama, tentang studi di Timur Tengah. Salah satu ulama yang ditemuinya adalah Mukhtar Yahya. Ia lama bersekolah di Mesir. Harun banyak medengar cerita tentang Mesir dari beliau. Setelah lama berdialog dengan Harun, Mukhtar Yahya menyarankan Harun untuk melanjutkan sekolah di Mesir. Harun juga membaca tulisan-tulisan tentang Mesir di majalah Pedoman Masyarakat yang diterbitkan Hamka. Di majalah itu, Harun mengenal pemikiran baru dari Hamka, Muhammadiyah, Zainal Abidin Ahmad, dan Jamil Jambek. Lepas dari itu semua, untuk memenuhi permintaan orangtuanya, akhirnya Harun terpaksa ke Mekah. Namun ia bertekad bahwa setelah dari Mekah ia akan meneruskan sekolah di Mesir. Setelah satu setengah tahun di Mekah, ia lalu melanjutkan sekolah di Mesir. Kepergiannya ke Mesir menggunakan bekal uang dari orangtuanya yang diberikan berdasarkan ultimatum Harun terhadap orangtuanya, bahwa apabila ia tidak diizinkan untuk ke Mesir, maka ia tidak akan pulang ke Indonesia.[6] Harun tiba di Mesir pada tahun 1938. Di Mesir, Harun mendapatkan dan bersentuhan dengan berbagai pemikiran baru. Bukan hanya itu, keberadaannya di Mesir menjadi titik tolak hingga akhirnya ia bisa melanjutkan kuliahnya di McGill University Canada. Dalam bidang pekerjaan, Harun pernah bekerja di Kedutaan Besar Indonesia di beberapa negara di Timur Tengah sampai akhirnya ia menjadi pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah dan seterusnya menjadi Rektor di kampus itu.

Modernisme Harun: Warna berbeda dalam pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia
Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia bukanlah “barang” baru ketika Harun Nasution mengutarakan berbagai gagasan pemikirannya. Bangsa Indonesia (sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia) merupakan salah satu gudang pemikiran Islam. Memang, perkembangan pemikiran Islam di Indonesia baru dimulai (secara massif dan aplikatif) sejak sekitar masa pergerakan nasional. Pemikiran Islam pada masa itu juga tidak lepas dari gerakan pembaharuan Islam yang ada di Timur Tengah (terutama Mesir).
Pemikiran Islam di Indonesia berkembang cukup pesat di awal abad ke-20. Hal itu ditandai dengan lahirnya gerakan modernisme.[7] Gerakan modernisme yang bertumpu pada Qur’an dan Sunnah berupaya untuk mengembalikan kembali umat Islam kepada sumber ajarannya yang tidak pernah usang ditelan zaman sehingga tidak perlu diperbaharui. Namun, hal ini perlu diangkat lagi ke permukaan masyarakat yang telah tertutup oleh tradisi dan adat istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran pokok tersebut.  Pada masa itu, masyarakat yang telah tertutup oleh tradisi tentu tidak tinggal diam melihat gerakan “baru” tersebut. Reaksi itulah yang juga melahirkan gerakan yang disebut tradisionalisme.[8] Pengusung gerakan modernisme pada saat itu antara lain adalah H.O.S. Tcokroaminoto, Agus Salim, dan Mohammad Natsir. Perubahan dari taqlid kepada ijtihad merupakan akar pemikiran Islam tersebut. Akar pemikiran itu lalu menjalar kepada pemikiran aplikatif dalam kehidupan modern. Beberapa hal yang sering menjadi bahan pembicaraan atau bahkan perdebatan adalah mengenai politik dan negara. Pada tahun 1940-an, terjadi polemik pemikiran politik Islam antara Natsir dan Soekarno.[9] Pembicaraan mengenai hal ini adalah sebuah respon seorang Mohammad Natsir atas pernyataan pemikiran Soekarno bahwa zaman modern menuntut pemisahan agama dan negara seperti yang dipraktekkan oleh Musthafa Kemal “Attaturk” Pasha di Mesir. Bahan pembicaraan lainnya adalah mengenai sistem ekonomi yang direlevansikan dengan pembinaan masyarakat menurut Islam. Pemikiran tentang hal tersebut diusung oleh Agus Salim dan Tjokroaminoto ketika mereka (pada masanya masing-masing) berhadapan dengan pihak komunis dan nasionalis. Pada umumnya, sampai pada masa konstituante tahun 1956-1959, pemikiran Islam di Indonesia berkisar pada soal-soal ibadah dan muamalah. Masalah lainnya yang juga diangkat, tidak lebih hanya karena merupakan tantangan pihak lawan yang lebih intens.[10]
Bila kita mengamati perkembangan pemikiran Islam pada awal abad ke-20 dibandingkan pemikiran Harun, maka kita akan melihat warna berbeda dalam pemikiran Harun Nasution. Warna berbeda itu bisa dilihat dari beberapa perspektif yaitu suasana zaman, afiliasi terhadap ormas/parpol, fokus terhadap bidang akademis. Kembali kepada pembahasan paragraf sebelumnya tentang garis besar pemikiran Islam pada awal abad ke-20 sampai masa konstituante, Deliar Noer menarik beberapa kesimpulan tentang corak gerakan masa itu antara lain bahwa pemikiran kalangan Islam masa itu lebih merupakan reaksi atau respon terhadap tantangan yang ada. Ia merupakan reaksi terhadap pemikiran Barat, sekulerisme, komunisme, nasionalisme yang chauvinistis, dan sebagainya. Selain itu, banyaknya permasalahan yang dihadapi tidak diimbangi dengan tersedianya orang-orang yang ahli dan mempunyai waktu luang sehingga bahasan dan kajian yang dilakukan terhadap salah satu topik kurang mendalam dan mengena.[11] Warna berbeda lainnya yaitu afiliasi terhadap ormas/parpol. Kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa para tokoh sebelumnya adalah bagian dari ormas atau parpol (entah dia pendiri atau hanya sebatas anggota dan simpatisan). Hal itu secara tidak langsung menjadi salah satu pertimbangan apakah pemikiran yang dikeluarkan tokoh tersebut adalah murni pemikirannya. Perspektif lain yang bisa memperlihatkan warna berbeda pemikiran Harun Nasution adalah fokus yang digelutinya pada bidang akademis. Artinya bahwa pemikirannya adalah sebagai suatu kajian yang bisa disampaikan bahkan dipakai sebagai kurikulum.

Teologi Rasional Mu’tazilah ala Harun Nasution
Setiap tokoh memiliki ciri khas pemikiran dan latar belakang pemikirannya masing-masing. Bila tidak berlebihan, dapat dikatakan bahwa titik tolak pemikiran Harun Nasution adalah pemikiran Mu’tazilah yang sudah diupamnya. Fauzan Saleh mengatakan bahwa pemikiran Mu’tazilah tersebut diperkenalkan oleh Harun Nasution secara lebih komprehensif.[12] Inti pembaharuan pemikiran Harun Nasution sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya yaitu menekankan tentang ijtihad. Akan tetapi Harun Nasution sudah masuk dalam tataran pembahasan yang sudah lebih mendalam tentang teologi. Masalah kalam ini jarang sekali diperbincangkan oleh para pemikir Islam sebelumnya. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, sebagian besar pemikir Islam masa itu lebih menitikberatkan kajiannya tentang muamalah. Hal itu terjadi karena suasana zaman yang menarik para pemikir Islam tersebut untuk merespon masalah yang ada. Sedangkan Harun Nasution adalah orang yang lepas dari berbagai kemelut masalah yang ada, walaupun pada masanya bukan berarti tidak ada masalah.
Teologi adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam Islam, teologi disebut sebagai ‘ilm al-kalam. Secara umum, pemikiran Harun tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena menurutnya, di dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al-dalalah.[13] Qath’iy al dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi. Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan. Disinilah dibutuhkan akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini, keabsolutaan wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal.


Daftar Pustaka

Nasution, Harun. 1986.  Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press
Saleh, Fauzan. 2004. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi.
Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat. 1989. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat


[1] Zaim Uchrowi dan Ahmadie Thaha (Penyunting), “Menyeru Pemikiran Rasional Mu’tazilah”, dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989, hal. 3-5.
[2] Penulis belum menemukan namanya. Dalam biografi yang dituliskan Harun Nasution di buku Refleksi… di atas, ia tidak menyebutkan nama ibunya. Adapt Mandailing sebenarnya melarang perkawinan satu marga. Akan tetapi, Abdul Jabbar Ahmad melawan adapt karena ia mengetahui bahwa dalam Islam hal itu dibolehkan. Tindakan Abdul Jabbar Ahmad menyulut kemarahan warga kampung sehingga ia harus menuai hukuman yang mengharuskannya memotong kerbau dan sebagainya.
[3] Kelas nol adalah sekolah persiapan sebelum masuk MULO. Selain Harun Nasution, murid lainnya yang juga dipilih untuk langsung melanjutkan ke MULO adalah TB Simatupang. Lihat Zaim…, Ibid.
[4] Di masa itu, ia juga mengalami pertentangan dan konflik antar golongan di kampungnya. Konflik itu terjadi antara kaum tua dengan kaum muda. Golongan muda berkelompok dalam pergerakan Muhammadiyah sedangkan golngan tua berkelompok di Jam’iyyat al-Washliyyah.
Golongan muda saat itu sering disebut sebagai kaum modernis. Namun pemikiran-pemikiran golongan muda tidak begitu saja diterima oleh golongan tua. Ayah Harun Nasution termasuk salah satu ulama golongan tua saat itu. Pertentangan yang terjadi cukup besar. Bahkan pernah terjadi konflik yang mengakibatkan perceraian antara suami istri yang berbeda golongan.
[5] Rencana orangtuanya itu terkait dengan pemikiran Harun yang dianggap orangtuanya sudah melenceng. Pada suatu saat, ayahnya pernah mendengarkan beberapa pemikiran Harun. Ayahnya coba mengetes Harun secara tidak langsung yakni melalui kakak Harun. Ia menanyakan tentang banyak hal. Salah satunya mengenai Qur’an . Apakah boleh Al-Qur’an dipegang oleh orang yang tidak berwudhu? Lalu Harun menjawab pertanyaan tersebut sesuai dengan apa yang telah dipaparkan dalam makalah di atas.
[6] Op. Cit., Zaim Uchrowi, hal. 12
[7] Menurut Deliar Noer, yang dimaksud dengan gerakan modernisme (Islam) adalah gerakan kembali kepada Qur’an dan Sunnah sebagai sumber ajaran pokok Islam. Lihat “Harun Nasution dalam Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia” dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989, hal. 83
[8] Ibid., hal. 84.
[9] Perdebatan itu muncul ke permukaan sekitar tahun 1940-an dan terjadi antara dua tokoh besar saat itu yaitu Soekarno dan Natsir. Perdebatan tentang dasar negara berkutat pada dua pemikiran mereka yang bertolak belakang satu sama lain. Soekarno menganggap bahwa negara harus dipisahkan dari agama. Kelompok yang mempunyai ide yang sama dengan Soekarno sering disebut Kaum Nasionalis Sekuler. Pemikiran yang bertolak belakang diperlihatkan oleh Natsir yang menganggap bahwa persoalan negara tidak dapat dipisahkna dari agama (dalam hal ini Islam). Kelompok yang mempunyai ide yang sama dengan Natsir sering disebut Kaum Nasionalis Islam. Keduanya sebenarnya mempunyai satu cita-cita yang sama untuk membangun negara ini. Tetapi keduanya mempunyai pandangan yang berbeda dalam menentukan dasar negara ini.
[10] Contohnya adalah soal pelajaran agama di sekolah-sekolah umum, masalah transfusi darah, pencngkokkan bagian tubuh, masalah tarekat, dan yang paling seru yaitu mengenai Pancasila.
[11] Op. Cit., Deliar Noer, hal.88-90
[12] Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi, 2004, hal. 261
[13] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986, hal.37-38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar