Minggu, 04 Desember 2011

AF'ALUL IBAD


Oleh Fajri Al Mughni, LC
Mahasiswa PPs IAIN STS Jambi (PAFI)
I. PENDAHULUAN

Abu al-Firoj al-Muqoddasi al-Hambali berkata: Setiap manusia diciptakan oleh Allah mempunyai kewajiban yang pertama yang harus ia lakukan, yaitu: “ wajib seorang hamba itu mengenal Tuhan dengan teori dan dalil agama”. karena mengenal Tuhan adalah lebih utama terhadap setiap manusia. Dan ada sebagian kaum yang mengatakan bahwa yang diwajibkan bagi manusia itu adalah “bersuci, shalat, puasa dan lain sebagainya”
Namun, pendapat ini disanggah oleh Ibnu Taimiah dengan mengatakan bahwa yang paling pertama sekali diwajibkan terhadap manusia adalah mengucapkan syahadat, sebagaimana Nabi Muhammad s.a.w didalam dakwahnya yang pertama sekali adalah mengajak kepada “syahadataani”.  Dan masih banyak hadits yang memperkuat hal tersebut. Seperti hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dan Ibnu Umar: “aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, apabila mereka memperbuatnya maka mereka mendapatkan atas haknya”.[1]
Umar Ibn Khatab menceritakan, “suatu ketika kami sedang duduk bersama Nabi s.a.w, ada seorang laki-laki yang berpakaian putih, dan rambutnya sangat hitam, tidak ada yang melihat dia datang darimana dan tidak ada yang mengenalnya. Hingga ia dantang kepada Nabi dan berkata: apa itu Iman? Nabi menjawab, percaya kepda Allah, Malaikat, Kitabnya, Rasulnya, Hari akhir dan Taqdir baik dan buruk. Dan ia bertanya lagi, apa itu Islam? Dijawab, bersaksi tiada Tuhan yang sebenarnya disembah dan Muhammad adalah Rasulnya, mendirikan Shalat, Berzakat, Haji dan Puasa Ramadhan. Dan ia bertanya lagi, apa itu Ihsan? Dijawab, adalah menyembah Allah seakan-akan kamu melihatnya, sesungguhnya kamu tidak bisa melihatnya, akan tetapi Dia bisa melihatmu.”[2]

II. PEMBAHASAN

A. Perbuatan Manusia dan Kehendak Tuhan

Sesuai kaidah universal yang berlaku dalam sistem penciptaan semesta bahwa tiada seorang pun yang memiliki kepelakuan mutlak dan mandiri selain Tuhan. Apabila sebagian fenomena memiliki pengaruh dan perbuatan maka hal itu sesuai dengan kehendak dan izin Tuhan. “Wa maa tasya’una illa an yasyaa’ Alllah,” dan tidak hanya sumber perbuatan yang mengikuti kehendak Tuhan, perbuatan itu sendiri berada dalam domain kehendak Tuhan. Dalam islam, perbedaan pandangan manusia akan perbuatannya sendiri, apakah merupakan kehendak pribadinya ataukah telah ditentukan jauh sebelum perbuatan itu terlahir?
Saya meyakini, setiap perbuatan manusia telah ditentukan sebelumnya. bahkan benak, rasa, situasi, kondisi yang melahirkan suatu perbuatan, tidak luput dari skenario sebelumnya sampai bagian yang terkecil sekalipun. Dikatakan, tak ada kesalahan sebesar zarrah yang luput dari pandangan Allah. Allah telah membebani manusia dengan ukuran yang sudah ditentukan untuk dapat dilakukan, dengan artian manusia tidak bisa berbuat lebih dikarekan batasan tersebut. Sekarang, manusia mengetahui, bahwa zarrah bukanlah atom. Karena atom bukanlah partikel terkecil. Atom sendiri masih tersusun dari beberapa partikel, dan partikel itu masih tersusun atas partikel-partikel lain yang lebih kecil .
Dalam masalah perbuatan manusia (af’alul ibad), yang menjadi pokok permasalahan adalah: Kehendak (iradah), Kesanggupan (kudrah), dan kasab (kemampuan manusia itu sendiri).[3]

1. Bebas Berbuat dan Berkehendak
Menurut Mu’tazilah setiap manusia mempunyai keinginan, yang mana keinginan tersebut bisa untuk dilakukan, tapi tidak wajid bisa dilakukan secara mutlak.[4]
“Apakah kita dilahirkan atas kehendak Tuhan atau kehendak kita? Lalu apakah kita masuk ke surga atau pun neraka sudah ditetapkan oleh Sang Khalik, sehingga kalau kita berusaha pun tidak akan mengubah ketetapan-Nya?”
Berkaitan dengan pertanyaan pertama di atas saya yakin hampir sebagian besar orang akan menjawab itu adalah kehendak Tuhan, karena kita memang belum diciptakan sehingga tidak bisa berkehendak apa-apa. Jawaban seperti ini atau yang semakna dengan ini pun akan banyak bermunculan. Namun yang pasti jawaban ini belum bisa memuaskan akal kita sebagai manusia. Lalu bagaimana dengan pertanyaan kedua yang muncul terkait dengan ketetapan Sang Khalik yaitu Allah Swt, apakah kita memang sudah ditetapkan masuk surga atau neraka?
Sebenarnya permasalahan diatas jika kita teliti adalah berkaitan dengan perbuatan manusia. Namun yang jadi permasalahan adalah apakah manusia bebas berbuat dan berkehendak atau manusia dipaksa oleh Tuhan sebagai suatu ketetapan yang datang dari-Nya.
Manusia itu mempunyai kemampuan untuk berbuat sesuatu, namun perbuatan manusia itu tidak terlepas dari izin Tuhan. Tetapi, ada juga dalil yang mengatakan bahwa manusia itu memang berkemampuan dalam berbuat dengan tanpa perbuatan itu dinisbahkan kepada Tuhan.
Dalam masalah ini ada banyak dalil baik itu dari al-Quran ataupun Hadits-hadits Nabi yang menjelaskannya, ada terdapat nash yang menyatakan keumuman masalah ini, misalnya dalam ayat “wa kula syai’in ‘indahu bimiqdarin” (segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya), dan “Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika Aku hendak memberi nasehat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan". Kedua ayat ini menyatakan bahwa Tuhanlah yang berkuasa atas setiap manusia.
Dalil yang lain menjelaskan bahwa manusia itu mempunyai kebebasan kerkehendak, misalnya “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". dan “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu” kedua ayat ini menjelaskan betapa manusia itu diberikan peluang untuk memilih apa yang harus ia perbuat.[5]
Seorang filosof asal Prancis Lifi Pril mengatakan bahwa “perbuatan manusia, mengenai baik dan buruk adalah merupakan bawaan dari lahir dan didikan alam”. Keduanya itu adalah terjadi secara alami, dengan arti bahwa itu bukan direkayasa oleh perbuatan manusia itu sendiri atau semata-mata oleh tindakan manusia itu.[6] Sedangkan Spinoza berpendapat: apabila manusia tidak dapat menentukan apa yang akan dilakukannya, buat apa suatu ilmu tentang etika mau mengajarkan apa yang hendak dilakukan manusia? Apabila manusia memang tidak bebas, tampaknya tidak masuk akal untuk menganjurkan macam-macam karena ia toh hanya akan melakukan apa yang sudah dipastikan.[7]
Ada beberapa kelompok yang berbeda pendapat mengenai perbuatan manusia, kelompok pertama Jabbariyah, yang mengatakan bahwa semua manusia tidak mempunyai kebebasan berkehendak secara mutlak. Kedua Qodariyah: manusia itu memiliki kebebasan berkehendak dengan tanpa ada batasan, tidak ada kehendak dan kuasa Tuhan, (Qudrah dan Iradah). Manusia adalah raja terhadap dirinya (al-Kasab). ketiga Mu’tazilah: tentang perbuatan manusia ini, adalah sepenuhnya kehendak manusia itu sendiri, Tuhan tidak pernah memaksa manusia untuk berbuat, akan tetapi manusia itu dianjurkan untuk berijtihad dalam berbuat berdasarkan ilmu dan kemampuan yang telah Tuhan berikan. Keempat: Ahlussunnah wal Jamaah: dengan mengambil jalan tengah, Tuhan yang menciptakan manusia, yang mengatur semua kehidupan, dan manusia itu sendiri diberi pengetahuan atau kemampuan untuk menentukan terhadap baik, buruknya perbuatan itu.[8]

2. Kehendak Tuhan dan Kehendak Manusia
Tuhan memberikan kebebasan berbuat terhadap manusia, “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”. Manusia tidak bisa berbuat apa-apa dengan tanpa irodah Tuhan, keinginan manusia bukanlah keinginan yang mutlak untuk bisa dilaksanakan, Tuhan memberikan rasa berkeinginan untuk berbuat, dan keinginan itu bisa dicapai dengan dua jalan. Pertama: Petunjuk. Kedua: Menyimpang atau sesat. [9] kedua Teori ini tidak lepas dari Kontrol Tuhan. “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang Telah kamu kerjakan”. Dengan maksud bahwa apabila Tuhan memberikan kedua pilihan apakah penyimpangan atau petunjuk, maka bukan berarti manusia itu diberi kebebasan untuk memilih diantara keduanya itu, akan tetapi keduanya itu merupakan suatu hasil dari perbuatan yang berkaitan dengan sebab dan musabab. Apa-apa saja yang bisa menyebabkan untuk mendapatkan petunjuk dan kesesatan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa petunjuk merupakan buah amal shaleh, dan kesesatan buah dari amal qobih.

3. Perbuatan Baik dan Buruk
Kemampuan untuk berbuat baik merupakan suatu perintah yang jelas dari Tuhan, adapun sifat buruk atau ketentuan buruk maksudnya adalah suatu sifat yang diciptakan buruk, bukan berarti ketentuan tersebut buruk yang berasal dari Tuhan. Karena setiap yang berasal dari Tuhan tidak ada yang buruk, semuanya merupakan kebaikan dan hikmah. Akan tetapi keburukan pada yang memperbuatnya. Karena yang dimaksud disini adalah keburukan yang diperbuat.
Misalnya, perbuatan manusia didalam kehidupan. kemiskinan, sakit, maksiat, kafir, fasik, membunuh, dan lain sebagainya. Ini merupakan “buruk” menurut manusia. Tetapi bagi Tuhan kesemuanya ini adalah baik. Karena Tuhan tidak mentaqdirkan sesuatu kecuali ada hikmahnya.
 Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Tuhan menciptakan suatu keburukan tambahan bagi manusia agar mereka mengetahui bahwa apabila berbuat buruk maka hasil yang didapat juga buruk. Dan buruk yang Tuhan berikan itu bukan buruk atau kejahatan hakiki, karena keburukan didalam ayat di atas mempunyai hasil yang baik.[10]
Contoh lain misalnya tentang hukuman orang berzina dengan dihukum cambuk, bagi mereka ini merupakan kejahatan atau buruk, namun disisi lain hal itu adalah kebaikan, karena itu merupakan kafarot atau sebagai ganjaran dari perbuatan yang buruk.
Baik dan Buruk menurut Ibnu Rusydi: semua perbuatan Tuhan adalah baik, Tuhan menciptakan baik dan buruk, tetapi baik lebih banyak daripada yang buruk. Tuhan tidak pernah berbuat zholim terhadap manusia, dikarenakan Tuhan menciptakan yang buruk menurut manusia. Akan tetapi diciptakan hal tersebut bahwa menunjukan Tuhan itu adil, dengan memberikan ganjaran terhadap setiap perbuatan. Tuhan menciptakan sebab adanya sesat atau kejahatan untuk menunjukkan bahwa hidayah dan taufiq dari Tuhan itu sangat banyak.[11]
Sedang menurut Mu’tazilah: mutlak bahwa Tuhan tidak menciptakan yang buruk, karena Tuhan hanya menciptakan kebaikan. Tuhan menciptakan yang buruk menurut manusia, adalah agar supaya manusia tersebut bisa mendapatkan hikmah dari perbuatan itu.[12] Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Asya’irah, yang mngatakan bahwa Tuhan menciptakan setiap sesuatu ada hikmahnya, karena Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan kebaikan. Tuhan menciptakan kebaurukan, misalnya sakit, miskin, gempa bumi, dan lain-lain. Dengan menciptakan dibalik semuanya itu ada hikmahnya.

III. KESIMPULAN

Manusia mempunyai kebebasan berkehendak, akan tetapi kebebasan tersebut tidak akan bisa dicapai dengan tanpa Iradah dan Kudrah Allah. Allah telah menciptakan manusia dengan memiliki kebebasan untuk memilih apa yang mereka inginkan.
Allah SWT tidak menciptakan kecuali hanya kebaikan. Sedangkan keburukan yang diturunkan Allah menurut manusia adalah merupakan seuatu kebaikan dengan bentuk hikmah dibalik keburukan menurut manusia. Wallahu’alam.

DAFTAR PUSTAKA
Imam Ibnu Taimiyah. Dar’u Ta’arad al-Aql wa an-qal, jilid 4, Kairo: Darul hadits, 2006.
Muhammad Bin Ishaq al-Ashbahani al-Abdi, Iman, Kairo: Darul Manar, 2005.
Sayyid Muhammad Abdul Hamid Abullah, Falsafah Islamiyah, Ushuluddin Dakwah Aqidah Filsafat Universitas Al-Azhar Zaqoziq, 2008
Franz Magnis Suseno, Tiga Belas Model Pendekatan Etika, Yogyakarta, penerbit KONFISIUS
Sayyid Sabiq, al-Aqoid al-Islamiyah, Kairo, Darul Fatah, 2000
Imam Ibnu Taimiyah, al-Aqidah al-Washatiyah, Kairo, Dar Ibnu Jauzi, 2004





[1] Imam Ibnu Taimiyah. Dar’u Ta’arad al-Aql wa an-qal, jilid 4, Kairo: Darul hadits, 2006. hal. 231
[2] Muhammad Bin Ishaq al-Ashbahani al-Abdi, Iman, Kairo: Darul Manar, 2005. hal. 33
[3] Sayyid Muhammad Abdul Hamid Abullah, Falsafah Islamiyah, Ushuluddin Dakwah Aqidah Filsafat Universitas Al-Azhar Zaqoziq, 2008. hal. 237
[4] Sayyid Muhammad Abdul Hamid Abullah, Falsafah Islamiyah, Ushuluddin Dakwah Aqidah Filsafat Universitas Al-Azhar Zaqoziq, 2008. hal. 238
[5] Sayyid Muhammad Abdul Hamid Abullah, Falsafah Islamiyah, Ushuluddin Dakwah Aqidah Filsafat Universitas Al-Azhar Zaqoziq, 2008. hal. 241
[6] Sayyid Muhammad Abdul Hamid Abullah, Falsafah Islamiyah, Ushuluddin Dakwah Aqidah Filsafat Universitas Al-Azhar Zaqoziq, 2008. hal. 242
[7] Franz Magnis Suseno, Tiga Belas Model Pendekatan Etika, Yogyakarta, penerbit KONFISIUS 1997,
            hal. 112
[8] Sayyid Muhammad Abdul Hamid Abullah, Falsafah Islamiyah, Ushuluddin Dakwah Aqidah Filsafat Universitas Al-Azhar Zaqoziq, 2008. hal. 243
[9] Sayyid Sabiq, al-Aqoid al-Islamiyah, Kairo, Darul Fatah, 2000. hal. 91
[10] Imam Ibnu Taimiyah, al-Aqidah al-Washatiyah, Kairo, Dar Ibnu Jauzi, 2004. hal. 45
[11] Sayyid Muhammad Abdul Hamid Abullah, Falsafah Islamiyah, Ushuluddin Dakwah Aqidah Filsafat Universitas Al-Azhar Zaqoziq, 2008. hal. 260
[12] Sayyid Muhammad Abdul Hamid Abullah, Falsafah Islamiyah, Ushuluddin Dakwah Aqidah Filsafat Universitas Al-Azhar Zaqoziq, 2008. hal.265

Tidak ada komentar:

Posting Komentar