Rabu, 07 Desember 2011

PEMBAHARUAN DALAM ISLAM (PENGERTIAN MODERNISME ISLAM)


Oleh Asnul Kabri
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN STS Jambi

Dalam kamus Webster, kata “modern” mengandung beberapa arti, diantaranya adalah ‘zaman” (zaman modern, periode dari tahun 1500 sampai sekarang) dan “mengadaptasi metode, ide, dan teknik yang mutakhir”. Kata modern berasal dari bahasa latin, modernus, yang diambil dari kata modo yang berarti “baru saja” dan “sekarang ini”. Peradaban modern ditandai oleh dua cirri utama, yaitu rasionalisasi (cara berfikir yang rasional) dan teknikalisasi (cara bertindak yang teknikal).
Gerakan modernis Islam dapat dipahami sebagai gerakan yang muncul pada periode sejarah Islam modern. Gerakan ini merupakan aliran dalam Islam yang pola pikir sesuai dengan perkembangan modern. Modernisme Islam adalah gerakan untuk mengadaptasi ajaran Islam kepada pemikiran dan kelembagaan modern. Modernis dalam bahasa Arab sering diasosiasikan dengan istilah tajdid, yang diartikan pembaharuan. Tokohnya disebut mujaddid, berarti pembaharu. Istilah tajdid dan mujaddid ini sudah luas digunakan. (hal 350  asia tenggara).
Dalam pengertian inilah kata pembaruan dan modernisme digunakan. Dalam konteks gerakan, maka kata pembaruan mengacu kepada gerakan pemurnian agama yang berkembang sebelum abad ke-19 dan awal abad ke-20. Modernisme digunakan untuk menjelaskan gerakan pembaruan yang muncul sejak akhir abad ke-19 yang bertujuan untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan pemikiran modern. Gerakan modernisme Islam dalam bidang pemikiran agama lebih menekankan pada gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam.
Tema utama gerakan purifikasi adalah kembali kepada sumber ajaran Islam yang autentik yaitu Al-Qur’an dan Hadits, serta praktek para sahabat terdahulu, ashab as-salafiyin. Dari sinilah kemudian lahir gerakan salafiyah yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Rida. Dalam hal slogan “kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits”, pemahaman kaum salaf lebih berpegang pada pemahaman literis, yang terpaku pada teks. Adapun kaum modernis cenderung menggunakan kekuatan akal atau rasio untuk menginterprestasikan teks agar sesuai dengan kondisi modern. (asian tenggara : 350).   
Pada tahun 399 sebelum kelahiran Nabi Isa a.s., di sebuah penjara kuno seorang laki-laki tua meminum racun dengan tenang. Kawan-kawannya tidak sanggup menahan tangisan. Ruang penjara yang pengap itu segera dipenuhi oleh tangisan
PEMBAHARUAN NON SECTARIAN
Dr. Muhammad Iqbal melukiskan pejuang Muslim sebagai seekor Rajawali (syahin). Burung Rajawali mempunyai lima ciri yang khas: selalu terbang tinggi, tidak pernah membangun sarangnya sendiri. Tidak ingin memakan mangsa binatang lain, tidak pernah menyisakan mangsanya untuk keesokan harinya, dan senang menyendiri. Iqbal menyebut Jamaluddin Al-Afgani sebagai gambar ideal sang rajawali. Ia terbang dengan cita-citanya yang tinggi; membangkitkan umat Islam dan mempersatukannya. Ia mengembara keseluruh dunia Islam dan tidak ingin terikat pada ta’ashshub mazhab yang sempit. Ia tidak senang bergantung pada orang lain.
Jamaluddin Al-Afgani memang seperti burung rajawali. Suatu hari, dia muncul di Mesir, sepuluh hari kemudian berada di Paris, dan minggu-minggu berikutnya berada di Ankara, Istambul atau Kabul. Matanya yang tajam memandang para raja dengan pandangan yang menaklukkan. Suaranya yang berwibawa mengalirkan getaran listrik ke hati para pendengarnya. Sekarang, sembilan puluh tahun setelah wafatnya, ratusan buku dan ribuan artikel telah ditulis tentang tokoh pembaharu ini. (jalaluddin rakhmat : 38).
PENETRASI BARAT DAN MUNCULNYA ISLAM
Kesadaran akan perlunya diadakan pembaharuan timbul pertama kali di Kerajaan Turki Utsmani dan Mesir. Kerajaan Turki Utsmani mempunyai daerah kekuasaan di Eropa   Timur yang meluas sampai ke pintu gerbang kota Wina. Maka orang-orang Turki Utsmani sejak awal telah mempunyai kontak langsung dengan Eropa. Sampai abad ketujuh belas Masehi, Kerajaan Utsmani senantiasa mengalami kemenangan dalam peperangan melawan raja-raja Eropa. Tetapi mulai dari abad kedelapan belas Masehi keadaan itu berbalik. Raja-raja Eropalah yang menang dan kerajaan Utsmani mulai mengalami kekalahan.
Sultan-sultan Kerajaan Utsmani pun mengirim duta-duta ke Eropa untuk mengetahui rahasia kekuatan raja-raja di Eropa yang pada abad-abad sebelumnya masih berada dalam keadaan yang amat mundur. Atas dasar laporan-laporan dari para duta itu, mulailah diadakan pembaharuan di Kerajaan Utsmani, terutama mulai dari permulaan abad kesembilan belas, tetapi pada mulanya bukan dalam bidang pemikiran, melainkan dalam pranata sosial, terutama kemeliteran dan pemerintahan. Para ulama sendiri tidak turut dalam usaha-usaha pembaharuan ini, bahkan mengambil sikap menentang. Maka pembaharuan di Kerajaan Utsmani dipelopori dan dijalankan oleh kaum terpelajar Barat Turki, Ibrahim Mutafarriqa (1670-1754 M.), seorang bekas tawanan dari Hongaria, pengarang buku-buku ilmu pengetahuan seperti ilmu alam, ilmu politik, ilmu bumi, dan ilmu militer. Ia memperkenalkan percetakan ke masyarakat Turki, tetapi mendapat tantangan dari sebagian ulama, karena benda itu dianggap bid’ah. Fatwa Syaikh Al-Islam melarang Al-Qur’an, Hadits, dan buku-buku agama dicetak oleh percetakan itu. (Harun Nasution : 147 )     
GERAKAN MODERNISME
Gerakan modernis atau pembaharuan Islam bertujan untuk mengadaptasi ajaran Islam kepada pemikiran dan kelembagaan modern. Gerakan ini berawal dari Timur Tengah dan menyebar ke seluruh penjuru Islam pada awal abad ke-20 dan dilatarbelakangi oleh adanya hubungan yang intensif dari pada ulama Nusantara dengan Timur Tengah melalui ibadah haji. Gerakan ini kemudian berkembang dengan munculnya banyak organisasi modern di Indonesia.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dunia Islam mengalami munculnya gerakan modernisme yang banyak diilhami oleh kebangkitan kekuasaan politik dan ekonomi Eropa. Gerakan modernisme Islam pada dasarnya berusaha untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan pemikiran dan perkembangan modern. Gerakan besar ini berawal dari Timur Tengah dan menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, termasuk Nusantara. Modernisme Islam di Nusantara biasanya dilihat sebagai gerakan pembaharuan Islam. Corak modernisme ini sesungguhnya menjadikan gerakan ini relatif berbeda dengan gerakan pembaharuan Islam yang terjadi pada masa sebelumnya.
Sesungguhnya gerakan pembaharuan di wilayah Melayu – Indonesia sudah dimulai pada abad ke-17. Gerakan ini dimotori oleh tiga ulama besar yaitu Nuruddin ar-Raniri (w. 21 September 1658), Abdur Rauf Singkel (1615-1693), dan Muhammad Yusuf al-Makassari (1627-1699). Tema pokok pembaharuan mereka adalah kembali kepada ortodoksi Suni. Cirinya yang paling menonjol adalah keselarasan antara syariat dan tasawuf. Upaya pembaharuan ini selain dipengaruhi oleh perkembangan di Timur Tengah, jelas lahir sebagai respon internal terhadap kondisi keagamaan yang merajalela dikalangan kaum muslimin sendiri.
Pembaharuan pemikiran agama di atas berkembang melalui jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara, yang mencakup para murid yang kemudian menjadi ulama di Nusantara. Kelompok muslim Nusantara yang menuntut ilmu di Mekah dan Madinah terkenal dengan nama komunitas Jawi. Arus transmisi pengetahuan dan pembaharuan Islam dari Haramain ke Nusantara semakin intensif dengan kian banyaknya kalangan muslim Nusantara yang menunaikan ibadah haji. Sebagian dari mereka bermukim menuntut ilmu, dan kemudian kembali ke Nusantara menjadi agen pembaharuan Islam. Dari sinilah gelombang Islam ortodoks yang berorientasi neo-sufisme dari Timur Tengah terus menyebar ke Nusantara. Abad ke-18 dan awal abad ke-19 mencatat beberapa ulama di Nusantara yang terlibat dalam jaringan ulama, seperti Abdus Samad al-Palimbani (1704-1788) dari Sumatera Selatan, dan Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1825) dari Kalimantan Selatan. Ulama ini semakin memantapkan pembaharuan yang sudah dirintis oleh tokoh ulama pada masa sebelumnya.
Gelombang pembaharuan atau tajdid yang kemudian dikenal sebagai modernisme Islam, memiliki sebagian akar ideologisnya pada perkembangan Islam abad ke-18, ketika umat Islam kehilangan kreativitas dan tenggelam dalam kebekuan pemikiran akibat tertutupnya pintu ijtihad. Memandang keadaan ini, maka bangkitlah para tokoh pembaharu seperti Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) di jazirah Arabia, Syah Waliyullah ad-Dahlawi (1703-1762) di India, dan Muhammad bin Ali as-Sanusi (1791-1859) di Afrika Utara. Sebagaimana Ibnu Taimiyah lima abad sebelumnya, para pembaharu pada abad ke-18 ini memusatkan gerakan mereka untuk mencairkan “kebekuan internal”, dengan memurnikan tauhid, menentang dominasi mazhab, dan memberantas hal-hal yang dianggap bid’ah. Gelombang ini disebut Fazlur Rahman, guru besar University of Chicago, Amerika Serikat, sebagai “revivalisme pra-modernis” karena mencita-citakan pemurnian Islam dan kebangkitan kembali Islam.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dominasi bangsa Eropa telah mengakibatkan menyebarnya peradaban modern di berbagai kawasan dunia Muslim. Umat Islam sudah terbelenggu pemahaman agama seperti dirumuskan oleh para ulama abad pertengahan. Namun muncul pemikiran yang menganggap bahwa kaum muslimin harus memperbaharui pemahaman dan praktek keagamaan mereka sesuai dengan perkembangan modern. Hal inilah yang mendorong munculnya tokoh pembaharu (mujaddid) modernis di kalangan umat Islam seperti Sayid Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Rida (1865-1935) yang mengembangkan gagasan pembaharuan Islam di Mesir.
Disamping meneruskan seruan pada pembaharu abad sebelumnya agar umat Islam “kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah Nabi SAW”, mereka juga menyerukan umat Islam agar mengambil peradaban modern guna mengatasi keterbelakangan mereka dan mencapai kemajuan. Kelompok pembaru ini berpendapat, modernisasi dalam arti yang benar, yaitu yang didasari rasionalisasi dan teknikalisasi, karena mujaddid ini bersikap positif terhadap modernitas, maka mereka dijuluki pembaru modernis, dan gerakan mereka disebut dengan gerakan modernis Islam.                 
PERIODE MODERN : 1800 M
Periode ini merupakan zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi Napoleon di Mesir yang berakhir di tahun 1801 M, membuka mata dunia Islam, terutama Turki dan Mesir akan kemunduran dan kelemahan umat Islam disamping kemajuan dan kekuatan Barat. Raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berfikir dan mencari jalan untuk mengembalikan balance of power, yang telah pincang dan membahayakan Islam pada saat itu. Kontak Islam dengan Barat di periode klasik pada waktu itu Islam sedang unggul dan Barat berada dalam keadaan kegelapan. Sekarang sebaliknya, Islam sedang berada dalam kegelapan dan Barat lagi unggul. Kini Islam yang ingin belajar dari Barat.
Dengan demikian timbullah apa yang disebut pemikiran dan aliran pembaruan atau modernisasi dalam Islam. Pemuka-pemuka Islam mengeluarkan pemikiran-pemikiran bagaimana caranya membuat umat Islam maju kembali sebagai di periode klasik. Usaha-usaha ke arah itupun mulai dijalankan dalam kalangan umat Islam. Tetapi dalam pada itu Barat juga bertambah maju. (Harun nasution / islam ditinjau dari berbagai aspek : 86) 
ISLAM MASA MAODERN : ABAD XVIII – XX M
A.      Masa Agresi Bangsa Kolonial
Ketika dunia Islam kalah dan tersingkirkan oleh kekuatan penjajahan Eropa yang membawa semangat gold, glory, dan gospel.  Semangat itu muncul sebagai ujung tombak gereja untuk mengulangi kejayaan mereka pada saat menaklukkan Islam melalui Perang Salib.
Periode ini dimulai saat terjadinya perjanjian Carltouiz (carlouiz), 26 Januari 1966 M antara Turki Utsmani dengan Austria, Rusia, Polandia, Venesia, dan Inggris. Isi perjanjian tersebut diantaranya adalah Austria dan Turki terikat perjanjian selama 25 tahun, yang menyatakan: seluruh Hongaria (yang merupakan wilayah kekuasaan Turki) kecuali Translvonia dan kota Banat, diserahkan sepenuhnya pada Austria. Sementara wilayah Camanik dan Podolia diserahkan kepada Polandia. Rusia memperoleh wilayah-wilayah di sekitar Laur Azov. Sementara itu, Venesia dengan diserahkannya Athena kepada Turki menjadi penguasa diseluruh Valmartia dan Maria. Dengan demikian perjanjian Carltouiz ini melumpuhkan Turki Utsmani menjadi negara yang kecil. Perjanjian ini terlaksana setahun kemudian (6 Januari 1700 M). Sejak itulah Abad Modern dimulai (m. abdul karim) – (ali, 1969 : 32-3 dan hasan, 1989 : 372).
TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM
Dalam sejarah pemikiran Islam melalui periode-periode yang dapat dibagi sebagai berikut  ./
1.      awal pemikiran dalam Islam (pemikiran Islam murni, pemikiran Arab Jahiliyah, dan akulturasi pemikiran pra-Islam dengan Islam).
2.      Pemikiran Islam setelah terjadinya sentuhan dengan pemikiran Yunani, Persia, dan India.
3.      Pemikiran Islam setelah bersentuhan dengan Renaissnce (1789).
Pemikiran Islam setelah terjadi sentuhan dengan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. (M. Abdul Karim : 41).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar