Minggu, 04 Desember 2011

ETIKA DALAM ISLAM


ETIKA DALAM ISLAM

A. PENDAHULUAN
Teori etika adalah gambaran rasional mengenai hakekat  dan dasar perbuatan dan keputusan dan keputusan yang benar serta perinsip-perinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang. Al-Qur,an yang melibatkan seluruh kehidupan moral, keagamaan dan sosial muslim, tidak berisi teori-teori etika dalam arti yang baku sekalipun ia membentuk keseluruhan etos Islam. Ada tiga hal yang menjanjikan arah di mana penelitian ini dapat membuahkan hasil, yang kesemua itu kembali kepada teks al-Qur’an itu sendiri; tafsir,fiqh dan kalam.
Dalam menjelaskan terma moralitas skpriptural, kami akan coba menguji secara analitis konsep-konseo kunci etika yang tercantum dalam sumber pokok agama Islam, al-Qur’an dan Sunnah, dan membatasi diri sejauh mungkin terhadap konotasi prima facie terma-terma yang digunakan para penulis kitab suci.
Adapun tipe-tipe teori etika yang muncul dari penelitian ini dibagi menjadi:
  1. Moralitas Skriptural, seperti ditunjukkan dalam pernyataan-pernyataan moral al-Qur’an dan Sunnah.
  2. Teori Teologi, dan landasan pokoknya dari al-Qur’an dan Sunnah dan percaya penuh terhadap kategori-kategori dan metode-metode keduanya.
  3. Teori Filsafat, terutama yang berasal dari karya-karya etika Plato dan Aristoteles, karya-karya tersebut telah diinterpretasi sejak dulu oleh para penulis Neo Platonis.
  4. Teori-teori Religius, berakar dari konsep al-Qur’an tentang manusia dan kedudukannya di alam semesta.

B.  PEMBAHASAN
I.    MORALITAS SKRIPTURAL
a.   Etos Al-Qur’an
1.   Teks dan Interpretasi
Pemikiran etika membutuhkan tahapan sistemanisasi dan sopistikasi intelektual yang maju. Untuk memperluas usaha yang telah dilakukan oleh para komentator, para ahli hadits dan ahli hukum telah berusaha dalam analisis dan interpretasinya melibatkan aktivitas intelektual yang sungguh-sungguh dalam arti luas. Disini ditekankan dengan jelas bahwa perbedaan sangat jelas antara dua level atau strata dalam perkembangan etika al-Qur’an. (a), etos al-Qur’an dan Sunnah dalam bentuk yang asli belum diinterpretasi, dan (b) teori-teori etika yang dibangun oleh tiga kelompok penulis yang tersebut di atas.
Etos al-Qur’an adalah konsep yang sangat kabur dan elusif, yang dapat dilakukan untuk memperoleh pandangan yang sama tentang etos ini adalah menerangkan dan menginventarisasi ayat-ayat al-Qur’an mencakup tiga masalah pokok, yaitu (a) hakekat benar dan salah, (b) keadilan dan kekuasaan Tuhan, (c) kebebasan dan tangung jawab moral.
2.   Khayr dan Birr
Al-Qur’an menggunakan sekelompok terma untuk menunjuk kepada konsep moral atau kebaikan religius: seperti al-khayr, al-Birr, al-Qitsh, al-Iqsath, al-‘Adl, al-Haqq, al-Ma’ruf, dan at-Taqwa. Ma’ruf yang merupakan bentukan dari kata kerja ‘arafa diartikan dibenarkan, sedangkan lawannya adalah munkar  yang diterjemahkan tidak dibenarkan atau dilarang. Khayr yang lebih umum dan abstrak, tersebut tidak kurang dari 190 kali dalam al-Qur’an, dalam banyak kasus terma ini digunakan dalam bentuk kompratif yang secara moral netral. Kayr memunkinkan untuk mengungkapkan jiwa moral dan keagamaan al-Qur’an lebih baik dari terma Birr. Sekalipun terma birr  tidak banyak tersebut dalam al-Qur’an, tidak seperti terma ma’ruf dan khayr.
3.   Keadilan Tuhan
Kategori al-Qur’an mengenai masalah besar yang kedua yang terus menerus berkelindan bagi para teolog selama berabad-abad adalah pertanyaan tentang keadilan Tuhan, (3:182, 8:51). Tuhan menyukai keadilan, (7:29, 16:90). Tuhan melarang berbuat tidak adil, (3:57, 140, 42:40). Dan mencintai orang-orang yang adil dan bertaqwa. Berdasarkan dalil al-Qur’an, Tuhan dapat diistilahkan dengan ‘adil dan atas dasar itu pula terma ‘adil termasuk dalam daftar 99 nama Tuhan tidak dipertanyakan. Kita juga dapat enemukan sinonim keadilan lainnya dalam al-Qur’an seperti haqq dan iqsth.
Al-Tabari (w.923), seorang komentator al-Qur’an rasionalis dan ahli sejarah yang condong ke Mu’tazilah menafsirkan bi al-Haqq  berarti seorang diri tampa bantuan dan pertolongan”. At-Tabarsi (w. 1157), seorang komentator Syi’ah menafsirkan bi al-Haqq berarti “dengan mengucapkan kebenaran” atau karena alasan yang benar dan dalam aturan yang benar yang merupakan agama dan ibadah”.
4.   Tanggung Jawab Manusia
Kesulitan awal yang ada adalah bahwa bahasa Arab pra filsafat tidak memiliki terma abstrak yang menunjukkan arti tanggung jawab. Akar kata kerja pasif Yus’alu berasal dari kata kerja aktif yang bearti bertanya. Dalam beberpa hal seperti pada (22:19, 33:14). Selain pengetahuan dan kesadaran, kebebasan merupakan pra kondisi paling fundamental dari tanggung jawab manusia. Kebebasan (qadar) dan kemampuan (istitha’ah) manusia merupakan masalah besar teologi pertama yang memecah masyarakat muslim menjadi penganjur kebebasasan manusia. Terma Arab tentang kebebasan, al-Hurriyah tidak terjadi dalam al-Qur’an dan bentuknya yang substansif, tapi berasal dari kata asalnya baik dalam bentuk adjektif maupun transitif banyak terjadi.
Di samping Qadar , terma Arab lainnya yang berarti kekuasaan atau kemampuan, yang menjadi salah satu kontroversi besar dalam lingkungan teologi adalah Istitha’ah dan derivasinya. Terma ini selalu muncul dalam al-Qur’an tapi selalu dalam bentuk kata kerja. Seperti dalam (3:97) yang menyatakan bahwa perjalanan tahunan ke makkah “adalah untuk tuhan dari manusia... bagi siapapun yang mampu melakukan perjalanan (man istitha’ah)”. Kata Arab lain yang berarti kemampuan adalah mkn, bahkan sekalipun derivasi dari kata kerja ini ada dalam al-Qur’an, namun tidak pernah digunakan melainkan dalam bentuk transitif.

b.   Evidensi Hadits
Hadits berbeda dengan al-Qur’an dalam banyak karakter pernyataannya baik yang bersifat kondisional maupun yuridis, terkesan kurang ekplisit. Dua kitab Hadits yang cukup penting adalah Bukhari dan Muslim. Dalam masing-masing kitab tersebut tercantum bab khusus yang mengenai Qadar yang dipahami dalam arti kekuasaan Tuhan daripada kemampuan manusia. Dalam kitab al-Manaqib misalnya al-Bukhari menuliskan sebuah Hadits yang menggambarkan usaha-usaha masyarakat muslim awal yang mempertanyakan tentang benar dan salah dan pengaruhnya atas keyakinan agama. Al-Bukhari diawal kitab al-Iman  menulis; nabi telah menyatakan bahwa Islam memiliki lima rukun: bersaksi atas keesaan Allah dan kenabian Muhammad, menunaikan shalat, mengeluarkan zakat, haji dan berpuasa. Ia berusaha mendukung pernyataan ini dengan mencatat ayat al-Qur’an (2:177) yang mengidentikkan kebaikan (birr) dengan serangkaian iman dan pekerjaan-pekerjaan yang baik.
Untuk menguatkan pendapat bahwa kebajikan atau ketaqwaan bukanlah sikap atau perilaku lahiriyah, sebuah hadits menulis pernyataan nabi bahwa ketaqwaan itu ada di dalam sini sambil menunjuk pada dadanya sebanyak tiga kali. Menurut versi lain dari hadits ini (XLV, 25, 28;31): Tuhan tidak akan melihat tubuh dan rupamu, tapi ia melihat hatimu. Hadits ini menjadi salah satu hadits yang sangat masyhur yang diriwayatkan sangat jelas oleh al-bukhari dan muslim.
II. ETIKA TEOLOGIS
a.   Etika Rasionalisme
1.Dasar-Dasar Deontologi Benar dan Salah
Menurut Mu’tazilah hakekat benar dan salah dapat ditetapkan secara rasional dan terlepas dari aturan-aturan Tuhan seperti tertera dalam al-Qur’an. Mereka ingin menerapkan bahwa kedua kategori moral tentang benar dan salah dapat diketahui oleh akal dan dasar kebenarannya pun dapat dijustifikasi secara rasional.  
Karakteristik yang penting dari pengetahuan etika intuitif adalah sifatnya yang otonom dan membenarkan diri. Bila tidak membutuhkan bukti-bukti “perolehan” maupun “deduktif” untuk mendukungnya dan tidak pula wahyu Tuhan. Kebenaran wahyu diidentikkan oleh al-Jabbar dengan al-Qur’an dan Hadits yang selamanya dapat dipertanyakan.  Menurut al-Jabbar, wahyu dapat menggambarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh akal tetapi tidak mengkonfirmasikan atau membenarkannya.
Fungsi lain dari wahyu adalah arbitrasi terhadap konflik  antara sebagian wahyu dengan wahyu lainnya. Ketika kesalahan atau ketidaksepakatan muncul, di sinilah wahyu diperlukan untuk membenarkan kesalahan atau menghapuskan wahyu yang telah kadaluarsa.
2.   Kemampuan dan Tanggung jawab manusia
Berangkat dari premis al-Qur’an bahwa Tuhan itu maha kuasa, kaum determinis (al-Mujdirah) berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kemampuan dalam perbuatannya karena ia telah ditentukan secara penuh dalam tindakannya yang secara keseluruhan diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan-perbuatan yang dipredikatkan kepada manusia murni bersifat metafora dan mereka merupakan objek tak berjiwa.  Balasan dan hukuman adalah suatu paksaan.
Al-Syahrasthani menggambarkan teori moral: “seorang budak adalah pencipta perbuatannya sendiri baik atau buruk dan ia akan menerima balasan dan hukuman dikemudian hari atas apa yang telah ia kerjakan”. Barangkali itu bukan merupakan pernyataan tentang kemampuan manusia tetapi sekedar sopistikasi Mu’tazhilah untuk merasionalisasikannya sehingga doktrin moralnya memiliki pengertian khusus.
Beberapa teolog seperti Abu Al-Hudhayl (w. 849) berpendapat bahwa kekuasaanya bias bertahan dalam waktu tertentu dan Al-Bakhi menyatakan bahwa kekuasaan manusia berlaku seterusnya. Akibat dari masalah ini muncullah teori-teori tentang sebab langsung dan tidak langsung.
Ketika manusia menghendaki apa yang ia ketahui dengan pasti adalah buruk, maka kehendaknya menjadi buruk dan perbuatan yang dilahirkannyapun dianggap percuma. Bagaimanapun suatu kehendak diketahui secara deduktif dianggsap buruk tidak dapat ditetapkan dari pijakan moral.
3.   Kebijaksanaan dan Keadilan Tuhan
Mu’tazhilah berpendapat bahwa klaim tentang Tuhan dapat berkehendak buruk dapat ditolak atas dasar bahwa hal demikian sama halnya dengan mensifatkan kebodohan dan kesia-sian kepada Tuhan. Padahal berkehendak buruk adalah buruk, oleh karena itu Tuhan tidak dapat menghendaki keburukan dilakukan oleh manusia maupun diri-Nya sendiri.
Tuhan tidak mungkin menghendaki ketidakadilan dan memerintahkan. Problem apakah Tuhan mampu melakukan kesalahan dan menjauhkan dari kebenaran menjadi perdebatan sengit dilingkungan teologi antara pengikut Mu’tazhilah dan Mujbirah. Abdul al-Jabbar mencemooh pendapat Mujbirah  yang menolak kemampuan Tuhan berbuat salah yang melibatkan pembatasan kekuasaannya atas dasar bahwa merupakan skonsepsi terhadap hubungan antara perbuatan dan kehendaknya. Pembahasan tentang keadilan Tuhan seperti yang dikemukakan oleh Mu’tazhilah adalah kewajiban yang dibebankan kepada Tuhan untuk berbuat sesuai dengan hukum-hukum kebijaksanaan universal. Tiga hal yang selalu diperdebatkan dalam lingkungan teologis adalah (a) apakan Tuhan menciptakan manusia karena alasan tertentu (b) apakah Tuhan membutuhkan apa yang tak dapat ditolerir (c) apakah Tuhan dapat menyiksa orang yang tak berdosa tanpa suatu balasan.
Dengan konsep keadilan dan kebijaksanaan Tuhan ini melahirkan tesis Mu’tazhilah bahwa Tuhan tidak dapat menuntut apa yang dapat ditolerir dari penciptaanNya. Konsep tentang kewajiaban sekaligus secara logis menyimpulkan bahwa tuntutan Tuhan secara rasional menjadi dapat ditolerir.
b.   Etika Voluntarisme: Kaum Determinis dan Asy’ariyah Awal
1.   Kehendak Tuhan Sebagai Dasar Benar dan Salah
Para Determinis berpendapat bahwa Tuhan adalah pembuat yang sebenarnya dari setiap perbuatan dan kejadian di dunia dan karenanya pekerjaan-pekerjaan yang dilekatkan pada manusia benar-benar bersifat metafora. Nyatanya al-Asy’ari mengatakan bahwa “perbuatan-perbuatan yang dilekatkan pada manusia seperti halnya perbuatan-perbuatan itu dilekatkan kepada benda-benda tak berjiwa.
Adapun yang lebih canggih adalah spekulasi al-Najjar, lawan berat al-Nazzam, tentang pernyataan benar dan salah. Ia menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan apakah benar atau salah merupakan ciptaan Tuhan (khalq) dan perbuatan (fi’il) manusia, sebuah pernyataan yang bertentangan dengan tesis Mu’tazhilah bahwa manusia adalah “pencipta” perbuatannya.
Pengetahuan tentang Tuhan misalnya, dapat dicapai (tahsul) memalui akal, namun pengetahuan tentang Tuhan itu menjadi kewajiban hanya melalui wahyu. Selanjutnya, Abd al-Qahir al-Baghdadi (w. 1037) membagi perbuatan menjadi tanggung jawab manusia ke dalam: (a) kewajiab (wajib), (b) larangan (mahdzur), (c) anjuran (masnun), (d) keburukan (makruh), dan (e) kebolehan (mubah). Al-Baghdadi dan al-Juwayni (w. 1085) (guru al-Ghazali) berpendapat bahwa satu-satunya dasar bagi kebaikan dan keburukan moral adalah wahyu (sam’) dan hukum agama (syar’).
Kesempurnaan manusia terdapat dalam pemenuhan kemampuan intelektual dan praktisnya dengan menandingi Tuhan dan wujud-wujud  spiritual menurut ukuran kapasitas manusia. Singkatnya agama lebih bersifat mengkonfirmasikan apa yang telah ditemukan akal, daripada memodifikasi atau memilihnya; namun ini semua tidak akan menjadi tepat benar karena kekurang sempurnaan akal manusia dan tanggung jawab mereka terhadap kesalahan.
2.   Penerapan Keadilan dan Ketidakadilan pada Tuhan
Al-Baghdadi menyatakan bahwa “adalah Tuhan Yang Maha Kuasa tidak menentukan kewajiban (taklif) terhadap para pembantu-Nya (malaikat) sehingga Ia benar-benar menjadi adil. Asy’ariyah juga mengklaim bahwa Tuhan dapat menambahkan atau mengurangkan apa yang telah Ia tentukan. Ia memiliki kekuasaan untuk memerintah atau melarang dan mengadili. Ia melakukan apa yang disukai-Nya dan memutuskan sesuai yang Ia kehendaki.
Menurut al-Baghdadi, konotasi utama keadilan adalah segala perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan. Konitasi keadilan yang kedua adalah segala perbuatan yang sesuai dengan perintah (amr) Tuhan. Sebaliknya ketidakadilan (jawr, zhulm) berarti perbuatan-perbuatan yang tak layak dilakukan atau bertentangan dengan perintah Tuhan. Kasus memerintahkan kesalahan atau dosa secara keseluruhan adalah berbeda; Apa yang Ia perintahkan maka bukanlah dosa melakukannya bahkan justru menjadi sebuah ketaatan (tha’ah) yang pantas menerima balasan penghargaan, karena berdasarkan jenisnya perbuatan itu bukan dosa.
Tuhan yang menciptakan perbuatan sebagai peristiwa fisik dan menentukan hubungan manusia yang memperoleh (kasib) dengannya sekaligus kewajiban yang dibebankan atasnya agar sesuai dengan perintah dengan alasan supaya menjadi terikat secara moral, benar-benar tidak dapat terbebas dari tanggung jawab utama untuk melahirkannya menurut cara tertentu pada tangan manusia pada waktu dan tempat tertentu.
III.             ETIKA RELIGIUS
a.   Moralitas Agama dan Ide Asketik
1.    Definisi Etika Religius
Sekalipun sulit untuk menggambarkan garis pemisah yang tajam antara etika teologis dan etika religious, kami yakin bahwa pembedaan menjadi sangat penting untuk menilai keduanya secara terpisah. Pertama, para teolog apakah Mu’tazilah maupun non Mu’tazilah yang berhubungan dengan pernyataan-pernyataan etika seperti yang kita lihat dalam spirit “dialektis” dan sangat mendukung tesis-tesis rasionalis tertentu terutama yang berafiliasi pada filsafat Yunani, seperti mengenai hakekat dan dasar benar dan salah, kewajiban agama (taklif) dan sejenisnya, atau justru untuk mempertanyakannya. Kedua, adanya pernyataan-pernyataan yang lebih banyak mereka pusatkan dalam bidang metodologis; mereka lebih antusias untuk menentukan status logis dari proposisi etis daripada membangun teori moralitas yang substantive. Ketiga, tekanan pembahasan teologis tentang etika cenderung bersifat polemic secara keseluruhan. Etika religious, terutama yang berakar dalam al-Qur’an dan Sunnah, di satu sisi cendrung melepaskan kepelikan “dialektika” atau “metodologi” dan memusatkan pada usaha untuk mengeluarkan spirit moralitas Islam dengan cara yang lebih langsung.
2.   Etika Tradisionalisme: Al-Hasan Al-Basri (w. 728)
Dalam tradisi sufi, al-Hasan al-Basri dipandang mewakili sebagai suri tauladan asketisme dan sufi tauladan bagi pendamaian antara kehendak manusia dan kehendak Tuhan. Dalam Risalah al-Qusyayriyah al-Hasan menyatakan bahwa sebenih ketaqwaan yang murni (wara’) adalah jauh lebih baik daripada seribu kali berpuasa dan shalat.
Dalam tanggapannya tentang qadar, al-Hasan memulai dengan menjelaskan bagaimana konsensus kaum salaf tentang keadilan Tuhan yang hancur karena munculnya berbagai bid’ah dan kontroversi. Al-Qur’an sendiri dengan jelas menyatakan hubungan antara karunia Tuhan (ni’mah) dan usaha manusia; pemberi karunia itu adalah Tuhan dan manusia yang mengingkarinya dianggap kufur dan berdosa.
Tema tentang hidayah dan kesesatan, yang merupakan pusat kontroversi teologis yang melibatkan para teolog Mu’tazilah dan Asy’ariyah sejak awal, menggambarkan argumen anti-predistinarian pada diri al-Hasan al-Basri. Ayat-ayat al-Qur’an, seperti 6:125 berbicara tentang Tuhan memberikan petunjuk bagi manusia untuk memeluk Islam dan tidak memeluknya sesuai dengan kehendak-Nya akan benar-benar dapat dipahami.
b.   Kecendrungan-kecendrungan Ukhrowi dan Duniawi: Abu Al-Hasan Al-Mawardi
1.   Keistimewaan Akal
Untuk menggambarkan pentingnya akal, Al-Mawardi membagi kewajiban ke dalam: (a) apa yang diperintahkan akal sebagai suatu keharusan dan dikonfirmasikan oleh wahyu (al-syar’), dan (b) apa yang dipandang akal sebagai hal yang murni diperbolehkan (ja’iz), namun wahyu memerintahkannya sebagai suatu keharusan.
Jika sekarang kita bertanya dimanakah letak kesempurnaan akal dengan seluruh fungsi teoritis dan praktisnya benar-benar ada, maka al-Mawardi memberikan jawaban: bahwa kesempurnaan akal dan kedua fungsinya itu berada dalam persekutuan antara intelegensi murni dengan ketajaman intuisi yang diperkuat dengan manfaat yang luas.
Pada hakekatnya akal murni senantiasa cendrung kepad ketaqwaan dan ketakutan kepada Tuhan dan karena itu tidak mungkin menjadi instrumen kejahatan.
2.    Aturan-aturan Perilaku Agama (Adad Al-Din)
Al-Mawardi berusaha membahas aturan-aturan perilaku agama (adab al-din), perilaku duniawi (adab al-dunya) dan akhirnya perilaku individu (adab al-nafs). Namun demikian garis pemisah antara ketiga bentuk perilaku ini tidak selalu digambarkan secara tajam oleh al-Mawardi. uham menyatakan kehendak-Nya kepada manusia dan menetapkan kewajiban-kewajiban agama tanpa menginginkan imbalan atau keharusan yang memaksa-Nya untuk melakukan hal tersebut.
Pemenuhan kewajiban-kewajiban ini di samping sangat esensial bagi sebuah ketaatan juga berperan sebagai sarana kebahagiaan abadi dalam kehidupan hari akhir. Manusia harus memaksa dirinya untuk melepaskan diri dari dunia (al-dunya) dengan tiga cara: Pertama, dengan mengembalikan pikiran dari cinta dunia kepada kerinduan terhadap hari akhir. Kedua, dengan memahami bahwa pemuasan keinginan dan perolehan kehendaknya tidak pernah tercapai kecuali dengan kedamaian pikiran. Ketiga, dengan mengarahkan pikiran pada kematian sehingga tidak akan diperdaya oleh harapan-harapan dan angan-angan yang memabukkan.
3.    Aturan-aturan Perilaku Dunia (Adab Al-Dunya)
Untuk memperoleh kebaikan dunia (shalah al-dunya) diperlukan enam syarat yang harus dipenuhi: (a) agama yang tegak, yang dengannya nafsu manusia dapat dikontrol dan kedamaian serta keteraturan dapat diamankan dan dilestarikan, (b) penguasa yang kuat yang mengabdi demi menegakkan prinsip-prinsip kedamaian dan keadilan, (c) penegak keadilan universal yang menjamin kecintaan dan ketaatan mutual kepada otoritas serta kemakmuran negeri dan keamanan penguasa, (d) penegak hukum dan undang-undang yang menjaga keamanan, karena ketiadaannya menyebabkan eksistensi sosial benar-benar menjadi tidak mungkin, (e) pertumbuhan atauu kesejahteraan ekonomi masyarakat umum yang termanifestasi dalam keberlimpahan sumber penghasilan dan pendapatan dan (f) harapan besar atau optimisme yang merupakan prasyarat bagi aktifitas atau usaha produktif dan pencapaian kumulatif peradaban dan kemajuan yang berkesinambungan.
4.    Aturan-aturan Perilaku Individu (Adab Al-Nafs)
Konsep kunci moral bagi al-Mawardi adalah kemulaian akhlaq (muru’ah) yang merupakan konsep dasar dalam moralitas Arab yang muncul sebelum periode Islam. Muru’ah didefinisikan al-Mawardi sebagai “pemahaman terhadap suasana (perbuatan) sehingga jiwa berada dalam kondisi terbaik yang memungkinkan untuk tidak memanifestasikan rasa dendam secara sengaja dan tidak pula menjadi objek yang pantas dihina.
Dua kebaikan atau disposisi akhaq yang memudahkan perolehannya adalah: keluhuran budi (‘uluw al-himmah) dan kehormatan diri (syaraf al-nafs). Kebaikan yang berasal dari kemuliaan akhlaq dibagi ke dalam dua kategori: (a) yang berhubungan dengan diri sendiri, dan (b) yang berkaitan dengan pihak lain. Sikap menahan nafsu (nazahah) dibagi menjadi dua, yaitu menahan diri dari permintaan yang rendah dan menjauhkan diri dari saat-saat yang mencurigakan. Yang paling berharga dari apa yang dikehendaki al-Mawardi adalah usaha melakukan pengujian diri secara konstan.
c.    Tradisionalisme dan Pluralisme: Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm (w. 1064)
1.   Dilema Etika Zhahiriyah
Berangkat dari tesis tentang kemahakuasaan Tuhan, para ahli hukum Zhahiriyah menyatakan bahwa Tuhan tidak hanya menciptakan manusia dengan perbuatan-Nya bahkan sekaligus menentukan seluruh perbatan manusia. Diciptakannya baik dan buruk secara keseluruhan tergantung pada ketentuan kehendak-Nya.
Ibn Hazm, yang secara aktif terlibat dalam percaturan politik pada saat itu dan memimpin mazhab skolastik serta kehidupan masyarakat, terpaksa menuliskan refleksi moralnya untuk mengatasi masa-masa kekacauan. Tiga konsep etika Ibn Hazm menyajikan pembahasan tentang: (a) perasaan khawatir (hamm), (b) kesia-siaan ambisi duniawi, dan (c) rasa cinta dan persahaban universal.
2.   Menolak Perasaan Khawatir (Tard Al-Hamm)
Ibn Hazm menyatakan bahwa tak ada suatu tujuanpun yang dicari oleh manusia kecuali menghilangkan perasaan khawatir.  Cara terbaik untuk menolak perasaan khawatir dan cara tersebut hanya dapat dijumpai dalam sikap “kembali menghadap Tuhan dengan berbuat kebajikan demi hari akhir. Orang yang mencari kekayaan pada dasarnya berusaha untuk menolak kekhawatiran akan kemiskinan; orang yang mencari kesenangan ingin menolak kekhawatiran akan hilangnya kesenangan itu sendiri. Generalisasi aturan ini dapat diterapkan pada setiap usaha manusia.
3.    Kehampaan Ambisi Duniawi dan Kesombongan Diri
Menurut Ibn Hazm yang membuat kekhawatiran semakin menajam adalah karena kekhawatiran tersebut dipadukan dengan ambisi dan perhatian duniawi yang menjadi akar seluruh penderitaan di dunia ini. Manusia menginginkan kehormatan diri namun cara yang ditempuh menyebabkan orang lain harus menderita dan berada dalam ketidakadilan, yang dengannya mereka memperoleh kemajuan dan kemenangan di atas penderitaan orang lain.
Kejahatan terbesar yang dilahirkan oleh kebodohan atau ketololan adalah kesombongan diri (‘ujub). Pada dasarnya orang bodoh adalah yang tidak menyadari kekeliruannya sedangkan orang berakal adalah orang yang menyadari kekeliruannya, berusaha untuk memberantas dan menekannya.
4.   Kebaikan-kebaikan Utama
Ibn Hazm menerima empat macam pembagian kebaikan utama terutama yang berasal dari Aristoteles, yaitu terdiri dari keadilan, intelegensi (fahm), keberanian dan kedermawanan, di mana seluruh kebaikan lainnya didasarkan atas keempatnya. Kedermawanan (jud) didefinisikan sebagai “menafkahkan kelebihan (harta) demi kebajika. Keberanian didefinisikan sebagai “usaha seseorang untuk merelakan kematiannya (dalam mempertahankan) demi agama,
Intelegensi tidak didefinisikan secara formal oleh Ibn Hazm, namun sangat berkaitan dengan jasa pengetahuan dan tugas yang dibebankan kepada manusia berakal untuk mencari pengetahuan yang kondusif bagi kebenaran dan bergembira berada di dalamnya. Menurut Ibn Hazm, kebaikan utama yang merupakan persenyawaan dari keberanian, kedermawanan, keadilan dan intelegensi adalah kejujuran atau ketulusan (nazahah). Kebaikan utama lainnya bagi Ibn Hazm adalah cinta (mahabbah), yang ia definisikan sebagai “kerinduan akan kekasih dan kebencian terhadap apa yang asing baginya, dan menginginkan cinta manusia bagi dirinya.
d.   Kemuliaan Syari’ah (Makarim Al-Syari’ah): Al-Raghib Al-Isfahani (w. Kira-kira 1108)
1.   Kemuliaan Agama
Menurut al-Isfahani, landasan kemuliaan agama adalah kesucian jiwa yang dicapai melalui pendidikan dan melakukan kesderhanaan, kesabaran dan keadilan. Kesempurnaan diperoleh dari kebijaksanaan yang ditempuh melalui pelaksanaan perintah-perintah agama, kedermawanan dicapai melalui kesederhanaan. Keberanian dicapai melalui kesabaran, dan kebenaran berbuat dicapai melalui keadilan. Kemuliaan agama berbeda dengan ketaatan beragama,  dimana ketaatan beragama jelas terbatas dalam ritus-ritus, tetapi kemuliaan agama sama sekali tidak terbatas.
Al-Isfhani menetapkan kesempurnaan etika dan agama ini untuk tujuan khilafah, yang secara eksplisit dinyatakan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an (7:67, 72, 2:28), yang menjadi raison d’etre bagi penciptaan manusia. Dalam kata lain perbuatan-perbuatan yang dikerjakan manusia pada manusia pada dasarnya bersifat terpaksa.
2.    Penyucian Diri
Bagi al-Isfahani hubungan antara aktifitas agama dan etika adalah sangat organis, di mana ibadah merupakan prasyarat bagi sikap moral. Dengan memperbaiki kekuatan jiwa, maka kesuciannya benar-benar telah tercapai. Kekuatan rasional diperbaiki melalui pendidikan, kekuatan seksual diperbaiki melalui kedermawanan dan kesabaran, sedangkan kekuatan amarah diperbaiki melalui penjinakan secara bertahap sehingga jiwa benar-benar dapat dikendalikan dan keberanian dapat diperoleh. Dari ketiga kekuatan ini, kekuatan seksuallah yang paling sulit ditundukkan.
3.    Keistimewaan Akal
Berdasarkan hadits masyhur, akal didefinisikan sebagai substansi pertama yang diciptakan dan dibuat secara terhormat oleh Tuhan. Akal dibagi menjadi dua: akal alami dan akal perolehan. Hasil terbesar yang akan diperoleh akal adalah pengetahuan tentang Tuhan dan ketaatan terhadapnya. Menurut al-Isfahani pengetahuan ini ada dua macam: (a) pengetahuan bawaan yang memberi pengertian bahwa manusia itu diciptakan, (b) pengetahuan perolehan yang menyatakan pengertian tentang keesaan Tuhan dan sifat-sifatnya.
Hubungan akal dan wahyu dalam proses perolehan pengetahuan diterangkan dalam tema yang tepat, kedua pengetahuan itu hanya sebagai pelengkap; tanpa wahyu akal tidak akan mendapat petunjuk yang benar dan tanpa akal, wahyu tidak dapat dipahami secara jelas. Akal merupakan pondasi dan wahyu adalah bangunan.
4.    Keadilan dan Cinta
Al-Isfahani memandang keadilan mengandaikan persamaan dan keadilan dan cinta memiliki hubungan yang erat. Keadilan terdiri dari keadilan mutlak dan keadilan relatif, yang pertama dipandang oleh akal sebagai keadilan universal dan keharusan, yang kedua hanya dapat diketahui melalui wahyu dan tidak berlaku untuk semua ruang dan waktu. Keadilan sejati terdapat dalam perbuatan baik yang dilakukan secara spontan tanpa sikap pura-pura dan mencari kebanggaan atau karena takut.
Untuk mendukung kebaikan cinta, al-Isfahani menggambarkan kemajuan sosial baik dalam bidang material maupun moral dan keburukan orang yang mengasingkan diri.
5.    Menolak Penderitaan dan Ketakutan
Pembahasan tentang keberanian mengarahkan al-Isfahani kepada pembicaraan mengenai emosi ketakutan, di mana para moralis filosofis menganggapnya sebagai kejahatan besar di mana manusia harus menghilangkannya melalui penggunaan akal. Patut diketahui bahwa tipe ketakutan ukhrawi yang berasal dari zaman Hasan al-Basri (w. 728) menjadi kunci bagi esketisme religius yang berkembang mencapai puncaknya pada sufisme. Di sisi lain ketakutan duniawi berakar dalam kesulitan manusia di dunia ini dan kemudahannya terkena musibah.
Penderitaan pada masa yang akan datang ada tiga macam: yang mustahil, keharusan dan kemunkinana. Pertama dan kedua tidak pantas bagi manusia berakal, karena penderitaan yang mustahil tidak pernah datang dan penderitaan yang bersifat keharusan tidak pernah berubah.
e.    Hubungan Psikologi dan Etika: Fakhr Al-Din Al-Razi (w. 1209)
1.   Kedudukan Manusia Di Alam Semesta
Karya etika Fakhr al-Din al-Razi yang berjudul kitab an-Nafs wa al-Ruh didahului dengan pembahasan panjang tentang tingkatan entitas-entitas makhluk  dan kedudukan manusia dalam skala wujud. Tingkatan pertama adalah malaikat yang memiliki intelek tetapi tidak mempunyai watak fisik atau nafsu. Tingkatan kedua adalah binatang yang lebih rendah yang memiliki watak fisik dan nafsu tetapi sama sekali tidak memiliki intelek. Tingkatan ketiga  adalah benda tak berjiwa yang mempunyai intelek, watak fisik maupun nafsu. Tingkatan keempat adalah manusia yang memiliki intelek, watak fisik dan nafsu.
Melalui penciptaan malaikat Tuhan mewujudkan kebijaksanaan dan kekuasaan-Nya, sedangkan melalui penciptaan manusia Ia mewujudkan kedermawanan dan kasih sayang-Nya.  Manusia dinyatakan sebagai khalifatullah dimuka bumi karena ia memiliki nafsu yang tidak dimiliki malaikat, ia berperan sebagai penghubung antara dunia Tuhan  dan dunia fisik.
2.    Jiwa dan Fakultas-fakultasnya
Jiwa ditunjukkan dalam kesadaran ego manusia seperti digambarkan dengan ekspresi saya kembali, saya mendengar, saya memahami. Kemudian kesatuan jiwa dipaparkan dengan sangat jelas dengan merujuk pada tiga fenomena: kesadaran diri, amarah dan keinginan. Jiwa dipandang sebagai sesuatu yang lain dari pada tubuh baik berdasarkan landasan rasional maupun kitab suci. Dalam (23:12,13,14) disebutkan bahwa penciptaan jiwa lebih dulu dari pada tubuh, bahkan dalam (17:85) dikatakan bahwa jiwa adalah kata perintah dari pada pencipta yang dimiliki oleh tubuh. Menurul al-Razi jiwa dihubungkan dengan tubuh melalui hati dan merupakan pusat pemahaman dan pertimbangan.
3.    Kritik Terhadap Hedonisme
Bagian dari Kitas al-Nafs wa al-Ruh dimulai dengan analisis tentang macam-macam kesenangan indrawi dan intelektual dan hubungan perbandingan satu dengan lainnya. Hakekat kesenangan indrawi dimiliki oleh manusia dan binatang. Kesenangan-kesenagan di dunia fana tidak akan pernah terwujud secara penuh. Salah satu sarana untuk mencapai kesenangan adalah kekayaan. Usaha mencari kekayaan kadang-kadang dikutuk dalam al-Qur’an dan kadang-kadang memperoleh penghargaan. Jika kekayaan digunakan dalam kebaikan, maka ini justru diperintahkan, namun jika kekayaan dikeluarkan demi memuaskan kesenangan-kesenangan jasmani semata maka inilah yang dilarang Tuhan. 
4.    Mencari Kedudukan Duniawi dan Keburukannya
Seperti halnya kekayaan, kedudukan duniawi kadang-kadang merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup dan kadang-kadang sebagai sarana untuk mencari kesenangan diri. Semua manusia mencintai kehormatan yang sepantasnya ataupun tidak karena kedudukan adalah awal dari kesempurnaan yang selalu dicintai untuk dimiliki disamping karena keduanya menjanjikan kehidupan yang baik.
Orang yang mencari kedudukan duniawi sering salah memahami, ketika ia benar-benar telah menguasai orang lain maka ia berhak mengatur kebutuhan, jabatan dan mempermainkan orang yang dikuasainya. Cinta kedudukan duniawi harus dibarengi dengan cinta kehormatan dan menjauhi perbuatan tercela, kehormatan atau pujian yang sempurna hanyalah milik Tuhan yang telah menganugerahkan kehormatan kepada manusia. Sedangkan kehormatan atau pujian yang tidak pada tempatnya merupakan kebodohan yang nyata.
Jika kecalaan berusaha dipadamkan maka manusia akan terbebas darinya sekaligus memperingatkannya untuk menghentikan perbuatan-perbuatan jahat darinya, oleh karena itu manusia perlu peringatan atau nasihat dari sesamanya.
f.    Sintesis Al-Ghazali
1.   Hubungan Etika dengan Ilmu-ilmu Lain
Pembahasan etika dalam kitab Ihya’ “Ulum al-Din tampaknya hanya merupakan draft awal dari pembahasan yang lebih luas dalam kitab al-Mizan. Oleh karena itu, kitab Mizan harus dipandang sebagai karya etika utama al-Ghazali. Pertama sekali al-Ghazali menempatkan para pembaca karyanya pada permasalahan etika. Kebahagiaan adaah sesuatu yang dicari oleh orang-orang terdahulu dan modern dan kebahagiaan hanya dapat dijangkau jika pengetahuan dikaitkan dengan perbuatan. Dengan kebahagiaan kita dapat memahami bahwa kesenangan ukhrawi itu tidak palsu penuh keberlimpahan tak terhingga, kesempurnaannya tidak pernah berkurang dan kemuliaannya tak terbandingkan sepanjang waktu.
Tentang pengetahuan, dari awal al-Ghazali menyatakan perbedaan penting antara “imitasi” dan “demonstrasi”. Imitasi dipandang sebagai bentuk kebutuhan dan orang yang mengikutinya dengan terpaksa tidak akan menentangnya, sedangkan usaha menghilangkan imitasi ini disebut “pengetahuan demonstratif”. Al-Ghazali menyatakan bahwa pengetahuan tentang entitas-entitas makhluk tidak harus dicari berdasarkan perkiraannya sendiri bahkan sejauh pengetahuan-pengetahaun itu berhubungan dengan kekuasaan Tuhan. Dengan penuh empati al-Ghazali menyebutkan bahwa etika adalah puncak ilmu praktis.
2.    Kekuatan dan Kebaikan Jiwa
Analisis al-Ghazali bahwa “jiwa manusia” memiliki kekuatan untuk mengetahui dan berbuat atau kekuatan teoritis dan praktis. Kekuatan praktis (al-‘amaliah) adalah fakultas  atau prinsip “yang menggerakkan tubuh manusia untuk melakukan perbuatan tertentu yang melibatkan refleksi dan kesengajaan yang diarahkan oleh kekuatan teoritis atau pengetahuan. Ketika “kekuatan-kekuatan untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah’ dapat ditaklukan oleh kekuatan praktis, maka sifat-sifat yang baik akan muncul dalam jiwa; sedangkan sebaliknya pada saat kekuatan praktis ditaklukkan oleh kekuatan-kekuatan untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah, maka sifat-sifat kejilah yang akan tampak.
 Ada tiga tahapan dalam proses perjuangan melawan nafsu (hawa’): (a) manusia yang ditundukkan oleh kekuatan nafsu sehingga nafsu menjadi objek penyembahan atau Tuhan; (b) manusia yang tetap berperang dengan nafsu, dan ini memungkinkan untuk kalah atau mendapatkan kemenangan. Kondisi ini merupakan tingkat tertinggi kemanusiaan selain daripada para nabi dan orang suci, dan (c) manusia yang mampu mengatasi nafsunya dan sekaligus menundukkannya. Ini adalah keberhasilan besar dan dengannya manusia akan merasakan “kenikmatan yang hadir”, kebebasan terlepas dari nafsu.
Sarana yang efektif untuk memerangi pertumbuhan kejahatan jiwa adalah metode terapi para ahli jiwa yang menerapkan symptom suatu penyakit dengan dihadapkan pada prinsip atau antidote yang menjadi lawannya sehingga berfungsi sebagai counterbalance dan dengannya dapat memperbaiki keseimbangan yang bermanfaat bagi kesehatannya.
3.    Tipe Kebaikan atau Kebahagiaan
Al-Ghazali menyamakan kebahagiaan dan kebaikan utama manusia. Berbeda dengan Aristoteles, ia membaginya kembali menjadi dua macam kebahagiaan utama: kebahagiaan ukhrawi dan duniawi.  Menurutnya yang pertama adalah kebahagiaan sejati sedangkan kebahagiaan duniawi adlah sebagai kebahagiaan yang bersifat metaforis. Ia mengatakan, kebahagiaan ukhrawi itu sendiri tidak dapat dicapai tanpa kebaikan-kebaikan lainnya yang merupakan sarana untuk meraih tujuan kebaikan ukhrawi.
Petunjuk Tuhan (hidayah) memperoleh tempat khusus dalam skema al-Ghazali. Baginya petunjuk Tuhan adalah pondasi bagi seluruh kebaikan seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadits. Ayat al-Quran (20:50) menyatakan, Tuhan telah memberikan watak kepada segala sesuatu dan kemudian memberikan petunjuk.
Al-Ghazali membagi kesenangan menjadi tiga: (a) kesenangan intelektual, (b) kesenangan biologis, dan (c) kesenangan sosial dan politik. Secara keseluruhan tabulasi al-Ghazali membagi kesenangan menjadi delapan macam: makan, minum,, seks, sandang, papan, bau-bauan, pendengaran dan penglihatan. Ada dua macam kesenangan yang dianggap keji dari sudut pandang etika dan agama , yaitu kesenangan perut dan seks; kedua kesenangan ini diikuti dengan kesenangan akan status sosial (jah), penumpukan harta, persaingan dan kompetisi.
4.    Mencari Tuhan
Basis etika al-Ghazali adalah tuntunan mistik bagi jiwa untuk selalu berusaha mencari Tuhan. Ide-ide tentang akhirat dan theosentrinya mencela: (a) ketololan manusia pada saat kehilangan atau tidak mendapatkan pemilikan duniawi, (b) perasaan duka cita  yang disebabkan oleh penderitaan duniawi, dan (c) kesombongan karena merasa kebal terhadap kekuatan Tuhan. Maka orang yang benar-benar mencari Tuhan (salik) tidak akan diributkan dengan kehilangan atau kemalangan dan tidak akan memikirkan segala hal melainkan kedekatan (qurb) dengan-Nya.
Ada tiga syarat yang tak terelakkan dalam rangka “menuju Tuhan”: kewaspadaan (hirs), ketetapan kehendak (iradah) dan pencarian terus menerus (thalab).



1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum mau bertanya lebih lanjut tentang moralitas skriptual ?
    apa punya file pdf buku Etika Dalam Islam karya Majid Fakhry

    BalasHapus