Rabu, 07 Desember 2011

FILSAFAT AL KINDI


A.    PENDAHULUAN
Eksistensi Tuhan dianggap sebagai syarat penting untuk mempercayai dan meyakini akan keesaan Tuhan, seperti para filosof-filosof Islam yang mencoba memberikan diskripsi ataupun pandangan terhadap eksistensi Tuhan.
Eksistensi yang sebenarnya yang ada, tidak akan tidak ada untuk selamanya, bahkan ia selalu ada. Ia adalah pencipta yang maha kuasa, dan maha bijaksana. Para filosof Islam mencoba mengkaitkan dengan keesaan akal dan keesaan Tuhan, seperti yang di angkat oleh Al-Kindi. Yang nantinya menjadi awal tersendiri bagi kemajemukan dan pemahaman para penganut agama di Indonesia khususnya Islam di Indonesia. Hasil-hasil pemikiran tentang kemajuan Tuhan yang di komparasikan dengan realita-realita yang ada, ”Esa adalah akal yang mengetahui dirinya”.
Peradaban Islam memang pernah jaya dan akan jaya kembali. Di masa keemasannya, ilmuwan Islam menguasai dunia lewat berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Nyaris tidak ada cabang ilmu yang tidak dikuasai, bahkan hingga ke teknologi militer sekalipun. Namun barangkali tidak ada yang menyangka bahwa Islam sudah memiliki sosok dan kitab pemecah kode sejak berabad-abad lalu.
B.     Biografi Al-Kindi
Nama Al-Kindi adalah Nisbat pada suku yang menjadi asal cikal bakalnya, yaitu Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah yang sejak dulu menempati daerah selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang sukup tinggi. Nama lengkap Abu Yusuf – Ya’Kub Ibnu Ishak Al-Sabbah, Ibnu Imron, Ibnu Al-Asha’ath, Ibnu Kays, Al-kindi. Beliau bisa disebut Ya’Kub, lahir pada tahun 185 H (801 M) di Kufah. orang tuanya bernama Ishaq As-shahbbah, Ishaq As-shahbbah adalah Gubernur di Kuffah pada masa Pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari Bani Abbas. Ia seorang penganut M’tazilah dan kemudian belajar filsafat. Zaman dialah terjadi penerjemahan buku-buku Yunani kedalam Bahasa Arab dan diduga ia juga aktif menerjemahkan buku-buku tersebut, namun demikian, ia lebih banyak membuat kesimpulan dari terjemahan-terjemahan tersebut.[1]
Pendidikan Al-Kindi dimulai dari belajar baca tulis, berhitung, dan menghafal Alqur’an. Memasuki masa remaja ia belajar bahasa dan sastra Arab, fiqih dan ilmu kalam. Kemudian ia mencurahkan perhatiannya belajar ilmu kimia dan berbagai ilmu lainnya termasuk falsafat yang berkembang di Kufah dan mendapat dukungan dari Khalifah Al-Ma’mun. Untuk pengembangan ilmunya dan filsafat, ia belajar bahasa Suryani dan Yunani, karena kedua ilmu tersebut banyak menggunakan kedua bahasa dimaksud. Selain itu ia juga menyuruh orang untuk menerjemahkan buku-buku dari berbagai bahasa untuk dikoleksi dalam perpustakaan pribadinya (Maktabah Al-Kindiyah). Ia bekerja di Istana selama Khalifah Al-Mamun dan Al-Muktashim. Ia wafat pada 260 H/873 M.[2]
Hasil karya Al-Kindi meliputi berbagai ilmu seperti Filsafat, Logika, psikologi, astronomi, kedokteran, kimia, matematika, politik, optika, dan lain-lain. Namun demikian, sejauh ini para sarjana tidak langsung menemukan buku-bukunya. Mereka hanya menjumpai risalah-risalahnya dalam terjemahan bahasa latin pada abad pertengahan. Sebagai contoh Abu Ridah telah menyunting risalahnya dengan judul Risalah Al-Kindi Al-Falsafiyah.[3]
C.    Ajaran Al-Kindi
Filsafat, menurut Al-Kindi adalah batas mengerahui hakekat sesuatu sejarah batas kemampuan manusia. Tujuan filosof dalam teori adalah mengetahui kebenaran, dan dalam praktek adalah mengamalkan Kebenaran/kebajikan. Filsafat yang paling luhur dan mulia adalah filsafat pertama, (Tuhan), yang merupakan sebab (‘’illah) bagi setiap kebenaran/realitas. Oleh karena itu filosof yang paling sempurna dan mulia harus mampu mencapai pengetahuan yang mulia itu. Mengetahui  ‘illah itu lebih mulia dari mengetahui akibat/ma’mulnya,  karena kita hanya mengetahui sesuatu dengan sempurna bila mengetahui ‘illahnya. Maka pengetahuan tentang ‘illah tersimpul semua aspek lain dari filsafat. Dia ‘illah Pertama, Tuhan adalah paling mulia, awal dari jenis, awal dalam tertib ilmiah, dan mendahului zaman, karena dia adalah ‘illah bagi zaman.[4]
Sikap Al-Kindi terhadap filosof Yunani yang belum beragama Islam dan pemikiran mereka, adalah kewajiban kita untuk tidak mencela orang yang telah memberi manfaat besar bagi kita. Seandainya para filosof itu tidak berhasil mencapai sebagian kebenaran, adalah saudara yang telah memberikan buah pikiran bagi kita, sehingga menjadi jalan dan alat untuk mengetahui banyak hal yang belum mereka capai. Para filosof juga menyadari bahwa tak seorang pun dapat mencapai kebenaran yang sempurna dengan upaya sendiri. Masing-masing pihak mungkin hanya dapat memperolehnya sedikit, tetapi bila dihimpun butir-butir yang sedikit itu niscaya akan menjadi bukit.[5]
Selanjutnya, menurut Al-Kindi sewajarnya kita tidak usah malu menyambut dan menerima kebenaran dari mana pun asalnya, walaupun dari bangsa atau umat yang jauh berbeda dengan kita. Sesungguhnya tidak ada yang lebih utama bagi penuntut kebenaran dari pada kebenaran. Adalah tidak wajar merendahkan serta meremehkan orang yang mengatakan dan mengajarkannya. Tak ada seorang pun yang rendah dengan sebab kebenaran, bahkan semua orang akan menjadi mulia oleh kebenaran.
Terhadap orang yang menentang filsafat, Al-Kindi menilai bahwa mereka berarti mengingkari kebenaran, dan karena itu termasuk golongan kafir. Sesungguhnya dalam keadaan apapun orang tidak bisa menolak filsafat. Jika ia mengakui filsafat, maka ia akan memperlajarinya. Jika ia menolak filsafat, ia juga harus berfilsafat untuk membuat argumen tentang kebenaran dirinya. Argumen tersebut juga termasuk dalam filsafat, yakni ilmu tentang hakekat sesuatu. Bahwa disadari atau tidak hasil pemikiran ada yang bertentangan dengan ajaran Alquran.
Al-Kindi adalah filosof Islam yang mempercayai kepada kemampuan akal unuk memperoleh pengetahuan yang benar, Al-Kindi berupaya mempertemukan ajaran-ajaran Islam pada filsafat Yunani apalagi dalam masalah keesaan Tuhan. Ia bependapat bahwa Allah Esa tak terbilang, sama sekali tidak menyamai lakhluknya, kekal tak akan fana. Ia adalah esa yang sebenarnya karena ia esa dengan sendirinya karena tidak mengambil keesaan-nya dari selain diri-nya. Dan esa karena bilangan yang tidak bisa menerima beberapa dan bagaimana, dan bersama-sama entitas-entitas (yang lain) tidak masuk kedalam klasifikasi Genus atau Spesies, ia adalah penggerak pertama yang tidak bergerak, sebab pertama yang tak bersebab dan eksistensi yang sebenarnya yang ada.[6]
Tidak akan tidak ada untuk selamanya, bahkan ia selalu ada. ia adalah pencipta yang maha kuasa dan maha bijak. Jadi Al-Kindi menetapakan bahwa Al-Ba’ri (Tuhan) punya sifat-sifat zat, Af’al dan negasi, seperti yang si sebutkan di dalam asar dan apa yang di pegangi oleh Mu’tazilah tetapi ia mengembalikan semua itu kepada zat untuk menggemakan ide monoteisme. Karena sifat-sifat itu bukan sesuatu yang bisa dibedakan dan dipisahkan dari zat. Tuhan adalah wujud yang hak, ia ada dari semula dan ada pula untuk selama-lama-nya, Tuhan adalah wujud yang sempurna, yang tidak didahului oleh wujud lain. Wujud-nya tidak berakhir dan tidak ada wujud selain dari pada-nya dan mustahil dia tidak ada.[7]
 - Pembuktian ada-nya Tuhan
1. Barunya alam
2. Keragaman dalam wujud
3. Kerapian alam[8]
Bila setiap benda mempunyai dua hakikat, yaitu hakikat juz’i yang disebut al-‘aniyah, dan hakikat sebagai kully yang disebut al-Mahiyah yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan species, maka tidak demikian dengan Tuhan. Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti ‘aniyah atau mahiyah. Ia tidak mempunyai ‘aniyah kerena ia tidak tersusun dari materi (hayula) dan bentuk (shurah). Ia sudah mempunyai mahiyah karena ia tidak merupakan genus (al-jins) atau species (al-nau). Dalam membuktikan adanya Tuhan, Al-Kindi mengajukan tiga argumen sebagai berikut: (1) Menunjukan baharunya alam. Ia mempertanyakan apakah mungkin sesuatu dalam alam ini menjadi sebab bagi dirinya sendiri atau tidak? Menurutnya, ini pasti tidak mungkin, karena segala sesuatu dalam alam ini mesti ada sebab yang mendahuluinya. Dengan demikian, alam ini sebab ada-Nya. Hal ini berarti, alam ini ada permulaannya, baik dari segi gerak maupun zaman. Dari segi gerak, karena gerak pada wataknya mengikuti wujud jisim, tidak mungkin adanya gerak jika tidak ada jisim yang bergerak. Dengan demikian, gerak juga baharu dan ada titik awalnya. Sedangkan dari segi zaman, karena zaman adalah ukuran gerak dan juga baharu seperti gerak. Jadi, jisim, gerak dan zaman tidak dapat saling mendahului dalam wujud, dan semuanya itu ada secara bersamaan. Ini berarti alam ini baharu dan karena itu perlu ada Penciptanya (al-muhdits)  (2) Bukti keragaman dan kesatuan. Keragaman yang terdapat dalam kenyataan empiris ini, tidak mungkin ada tanpa adanya kesatuan, dan kesatuan tidak mungkin ada tanpa adanya keragaman. Keterkaitan segala kenyataan empiris ini dalam keragaman dan kesatuan bukanlah karena kebetulan, tetapi ada sebabnya. Sebab ini bukan jenis zat kenyataan tersebut, karena jika demikian tidak ada kesudahannya. Yakni sebab-sebab yang tidak akan berakhir, dan ini tidak mungkin. Dengan demikian ada sebab lain yang membuat keterkaitan kenyataan empiris ini dalam keragaman dan kesatuan , yakni suatu zat yang lebih tinggi dan luhur serta lebih mendahului adanya (qadim), karena sebab harus mendahului musabab, Dia-lah Allah SWT.11 (3)  Bukti adanya pengendalian (Tadbir). Selanjutnya, Al-Kindi menjelaskan bahwa alam empiris ini hanya mungkin diatur dan dikendalikan oleh Yang Maha Tahu yang tidak terlihat. Yang Maha Tahu ini tidak mungkin diketahui kecuali melalui adanya pengaturan dan pengendalian yang terdapat dalam alam ini sebagai gejala dan sebagai bukti atas kepastian adanya Pengatur dan Pengendali (Mudabbir).[9]
Tuhan dalam filsafat Al-Kindi tidaklah mempunyai hakikat dalam arti a’niyah maupun ma’hiyah, Tuhan bukanlah benda, dan tidak temasuk benda yang ada dalam alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, Tuhan juga tidak mempunyai haikat dalam bentuk ma’hiyah. Karena Tuhan tidak merupakan Genus atau Spesies. Tuhan tidak ada yang serupa dengan-nya, Ia adalah unik, ia adalah yang benar pertama.[10]
1.        Epistemologi
Al-Kindi menyebutkan adanya tiga macam pengetahuan manusia. Yaitu: (a). Pengetahuan Inderawi, (b). Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang disebut pengetahuan rasional dan (c). Pengetahuan yang di peroleh langsung dari Tuhan yang disebut pengetahuan Isyarat atau aluminatif.[11]
2.        Pengetahuan Inderawi
Pengetahuan Inderawi terjadi secara langsung ketika orang mengamati terhadap objek-objek material, kemudian dalam proses tenpa tenggang waktu dan tanpa berupaya berpindah ke imajinasi (musyawwirah), di teruskan ke tempat penampungannya yang di sebit hafizhah (pecollection). Pengetahuan yang di peroleh dengam jalan ini tidak tetap: Karena objek yang diamati pun tidak tetap. Selalu dalam keadaan menjadi, berubah setiap saat, bergerak, berlebih-berkurang kualitasnya dan berubah pula kualitasnya.
3.        Pengetahuan Rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dari jalan mengunakan akal bersifat universal, tidak parsial, dan bersifat immaterial, objek pengetahuan rasional bukan individu, tetapi Genus dan spesies, orang mengamati manusia sebagai yang berbadan tegak dengan dua kali, pendek, jengkung, semua ini akan menghasilkan pengetahuan inderawi. Tetapi orang yang mengamati manusia, menyelidiki hakekatnya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk berfikir (rasional animal). Telah memperoleh pengetahuan rasional yang abstrak universal, mencakup semua individu manusia, manusia yang telah di tajrid (dipisahkan) dari yang inderawi tidak mempunyai gambar yang tertulis dalam perasaan. Watak ilmulah yang menentukan metodenya sendiri. Adalah satu kesalahan jika menggunakan metode ilmu alam untuk matematika atau metafisika.[12]
Akal yang bersifat potensial tidak akan menjadi aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar, yang mempunyai wujud tersendiri di luar jiwa manusia. Akal tersebut adalah akal yang selamanya aktualis (al-‘aql al-ladzi bi al-fi’i abadan), dan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.         Ia merupakan Akal Pertama
b.        Ia selamanya dalam aktualitas
c.         Ia merupakan species dan genus
d.        Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir.
e.         Ia tidak sama dengan akal potensial tetapi lain dari padanya.[13]
4.        Pengetahuan Isyaraqi
Al-Kindi mengatakan bahwa pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tentang Genus dan Spesies. Banyak filosof yang membatasi jalan memperoleh pengetahuan pada dua macam jalan ini. Al-Kindi sebagaimana halnya banyak filosof Isyaraqi. Mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan Isyaqi (Iluminasi). Yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran nur Ilahi. Puncak dari jalan ini ialah yang diperoleh para Nabi untuk membawakan tentang ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umatnya. Para Nabi memperoleh pengetahuan yang berasal dari wahyu Tuhan tanpa upaya, tanpa pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semata-mata, Tuhan mensucikan mereka dan diterangkan-nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran memperoleh jalan wahyu. Pengetahuan dari jalan wahyu ini merupakan kekuasaan bagi para Nabi yang membedakan dengan manusia-manusia lainnya. Karena pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya. Karena hal itu memang di luar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dengan penuh ketaatan dan ketundukan terhadap kehendaknya. Membenarkan semua yang dibawa Nabi.
Menurut Al-Kindi, jiwa itu kekal dan tidak hancur bersama hancurnya badan. Jiwa tidak hancur karena subtansinya dari Tuhan. Ketika jiwa berada dalam badan, ia tidak boleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Baru setelah ia berpisah dengan badan, ia akan memperoleh kesenangan yang sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah berpisah dengan badan, jiwa pergi ke Alam Kebenaran atau Alam Akal (al-‘alam a- haq, al-‘alam al-aql) didalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Tempat inilah kebahagiaan abadi yang akan dirasakan oleh jiwa yang suci
Jiwa yang tidak suci, setelah berpisah dengan badan, ia tidak akan langsung masuk ke Alam kekal, tetapi ia akan mengembara untuk jangka waktu tertentu untuk membersihkan diri. Mula-mula jiwa bermukim di Bulan, kemudian di Mercuri dan terus ke Falaq yang lebih tinggi lagi guna pembersihannya setahap demi setahap. Setelah jiwa benar-benar bersih, jiwa itu baru memasuki Alam Kebenaran atau Alam Kekal.[14]
5.        Metafisika
Sebagaimana telah disebutkan dimuka, Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat yang tertinggi martabat-nya adalah filsafat pertama yang membicarakan tentang Causa Prima. Filsafat metafisika Al-Kindi ditulis dalam beberapa makalahnya. Khususnya dalam dua makalah yaitu tentang filsafat, pertama dan tentang ke esaan Tuhan dan berakhirnya alam. Dalam dua makalah ini Al-Kindi membahas dengan panjang lebar tentang hakikat Tuhan dan sifat-sifat Tuhan.
Tentang hakikat Tuhan, Al-Kindi mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang haq (sebenarnya) yang tidak pernah tiada sebelum-nya dan tidak akan pernah tiada selama-lamanya, Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak pernah didahului wujud lain, dan wujudnya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada wujud lain melainkan perantaranya. Untuk membuktikan tentang wujud Tuhan, Al-Kindi berpijak pada adanya gerak, keanekaan, dan keteraturan alam sebagaimana argumentasi yang sering dikemukakan oleh filosof Yunani. Sehubungan dengan dalil gerak, Al-Kindi mengajukan pertanyaan sekaligus memberikan jawaban-nya dalam ungkapan berikut:
”Mungkinkah sesuatu menjadi sebab adanya adanya sendiri, ataukah hal itu tidak mungkin? Jawaban-nya: Yang demikian itu tidak mungkin, dengan demikian, alam ini adalah baru, ada permulaan dalam waktu, demikian pula alam ini ada akhirnya, oleh karena-nya alam ini harus ada yang menciptakannya. Dari segi filsafat, argument Al-Kindi itu sejalan dengan argumen Aristoteles tentang Causa Prima dan penggerak pertama. Penggerak yang tidak bergerak. Dari segi agama, argumen Al-Kindi itu sejalan dengan argument ilmu Kalam. Alam berubah-ubah, semua yang berubah-ubah adalah baru. Maka alam adalah ciptaan yang mengharuskan ada penciptaan-nya. Yang menciptakan dari tiada.[15]
Tentang dalil kealam wujud, Al-Kindi mengatakan bahwa tidak mungkin keanekaan alam wujud ini tanpa ada kesatuan. Demikian pula sebaliknya tidak mungkin ada kesatuan tanpa keanekaan alam inderawi atau yang dapat dipandang sebagai inderawi, karena dalam wujud semuanya mempunyai kesamaan keanekaan dan kesatuan. Maka sudah pastilah hal ini terjadi karena ada sebab. Bukan karena kebetulan, dan sebab ini bukan alam wujud yang mempunyai persamaan dan kebenaran dan keseragaman itu sendiri. Jika tidak demikian akan terjadi hubungan sebab-akibat yang tidak berkesudahan, dan hal ini tidak mungkin terjadi, oleh karenanya, sebab itu adalah di luar wujud itu sendiri. Eksistensinya lebih tinggi, lebih mulia. Dan lebih dulu adanya. Sebab ini tidak lain adalah Tuhan. Mengenai dalil keteraturan alam wujud sebagai bukti adanya Tuhan. Al-Kindi mengatakan bahwa keteraturan alam inderawi tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya dzat yang tidak terlihat, dan dzat yang tidak terlihat itu tidak mungkin di ketahui adanya kecuali dengan adanya keteraturan dan bekas-bekas yang menunjukkan adanya yang terdapat dalam alam ini. Argumen demikian ini di sebut argumen teologik yang pernah juga digunakan Aristoteles, tetapi juga bisa diperoleh dari adanya ayat-ayat Al-Qu’an.
Tentang sifat-sifat Tuhan, Al-Kindi berpendirian seperti golongan meu’tazilah, yang menonjolkan ke esaan sebagai satu-satu-nya sifat Tuhan.
6.        Etika 
Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia, yang dimaksud dengan defenisi adalah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna. Filsafat diberikan definisi juga sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu, mematikan hawa adalah jalan untuk memperoleh keutamaan, kenikmatan. Hidup lahiriyah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh kenikmatan lahiriyah berarti meninggalkan penggunaan akal.
Pertanyaan yang dapat diajukan ialah bagaimana cara untuk menjadi manusia yang memiliki keutamaan yang sempurna itu, bagaimana cara untuk mematikan hawa nafsu agar dapat mencapai keutamaan itu. Jawabanya ialah: ketahuilah keutamaan ada bertingkahlakulah sesuai tuntutan keutamaan itu. Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusiawi tidak lain adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji, keutamaan ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama merupakan asas dalam jiwa. tetapi bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal). Bagian ini di bagi menjadi tiga pula. Yaitu kebijaksanaan (hikmah), keberanian (saja’ah), dan kesucian (iffah). Kebijaksanaan adalah keutamaan daya pikir, yang kebijaksaan teoritis ialah mengetahui segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki dan kebijaksanaan praksis ialah menggunakan kenyataan-kenyataan yang wajib dipergunakan keberanian merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai dan menolak sesuatu yang memang harus di tolak, kesucian adalah memperolah sesuatu yang memang harus diperolah guna mendidik dan memelihara badan serta manahan diri dari yang tidak diperlukan untuk itu.[16]
D.    Penutup
Al-Kindi adalah seorang filosuf Islam yang berupaya memadukan ajaran-ajaran Islam dengan filsafat Yunani. Sebagai filosuf, Al-Kindi mempercayai kemampuan akal untuk mendapatkan pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi pada saat yang sama ia juga mengakui bahwa akal mempunyai keterbatasan dalam mencapai pengetahuan metafisik. Karena itulah al-Kindi mengatakan bahwa keberadaan nabi sangat diperlukan untuk mengajarkan hal-hal di luar jangkauan akal manusia yang diperoleh dari wahyu tuhan. Dari sini dapat diketahui bahwa al-Kindi tidak sependapat dengan para filosuf Yunani dalam hal-hal yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang diyakininya. Contohnya menurut al-Kindi alam berasal dari ciptaan tuhan yang semula tiada, sedangkan Aristoteles berpendapat bahwa alam tidak diciptakan dan bersifat abadi. Karena itulah al-Kindi tidak termasuk filosuf yang dikritik al-Ghozali dalam kitabnya Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Para Filosuf).
Al-Kindi mempunyai pandangan tersendiri tentang pengetahuan, menurutnya pengetahuan manusia itu pada dasarnya terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu :
Ø  Pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan indera disebut pengetahuan inderawi,
Ø  Pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan akal disebut pengetahuan rasional,
Ø  Pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan disebut dengan pengetahuan isyraqi atau iluminatif.
 
DAFTAR PUSTAKA

Daudy Ahmad.1986. Kuliah Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.
Juhaya, S Praja. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Bandung, Yayasan Piara. 1997
Jujun, S Suria Sumantri. 1997. Ilmu dan Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Madkur, Ibrahim. 1985. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Mustofa, H.A. 1997. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
P. Hardono, Hadi. 1994. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Bandung: Kanisius.
http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Kindi
 

[1] S. Praja Juhaya. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Bandung: Penerbit Yayasan Piara. 1997. h. 48. Dalam sumber lain menerangkan bahwa: Al-Kindi (يعقوب بن اسحاق الكندي) (lahir: 801 - wafat: 873), bisa dikatakan merupakan filsuf pertama yang lahir dari kalangan Islam. Semasa hidupnya, selain bisa berbahasa Arab, ia mahir berbahasa Yunani pula. Banyak karya-karya para filsuf Yunani diterjemahkannya dalam bahasa Arab; antara lain karya Aristoteles dan Plotinus. Sayangnya ada sebuah karya Plotinus yang diterjemahkannya sebagai karangan Aristoteles dan berjudulkan Teologi menurut Aristoteles, sehingga di kemudian hari ada sedikit kebingungan.
Al-Kindi berasal dari kalangan bangsawan, dari Irak. Ia berasal dari suku Kindah, hidup di Basra dan meninggal di Bagdad pada tahun 873. Ia merupakan seorang tokoh besar dari bangsa Arab yang menjadi pengikut Aristoteles, yang telah memengaruhi konsep al Kindi dalam berbagai doktrin pemikiran dalam bidang sains dan psikologi.
Al Kindi menuliskan banyak karya dalam berbagai bidang, geometri, astronomi, astrologi, aritmatika, musik(yang dibangunnya dari berbagai prinip aritmatis), fisika, medis, psikologi, meteorologi, dan politik.
Ia membedakan antara intelek aktif dengan intelek pasif yang diaktualkan dari bentuk intelek itu sendiri. Argumen diskursif dan tindakan demonstratif ia anggap sebagai pengaruh dari intelek ketiga dan yang keempat. Dalam ontologi dia mencoba mengambil parameter dari kategori-kategori yang ada, yang ia kenalkan dalam lima bagian: zat(materi), bentuk, gerak, tempat, waktu, yang ia sebut sebagai substansi primer.
Al Kindi mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis, yang kemudian diselesaikan oleh Ibnu Sina (Avicenna) seabad kemudian. Ia juga tokoh pertama yang berhadapan dengan berbagai aksi kejam dan penyiksaan yang dilancarkan oleh para bangsawan religius-ortodoks terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid'ah, dan dalam keadaan yang sedemikian tragis (terhadap para pemikir besar Islam) al Kindi dapat membebaskan diri dari upaya kejam para bangsawan ortodoks itu. Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Kindi
[2] Muhammad Al-Bahy, Al-Janib Al-Ilahimin Al-Fikr Al-Islamy, Kairo: Dar Al-Kitab Al-Araby, 1967, h. 295
[3] M.M Syarif (Ed). Para Filosof Muslim, terjemahan. Bandung : Mizan, 1985, h. 5-6
[4] Karnal Al-Yazijy. Al-Nushus Al-Falsafiyah Al-Muyassarah. Beirut : Dar Al-‘ilm li al-Malayin, 1963. h.67-68
[5] Ibid. h. 68-69
[6] Ibid. h. 50
[7] Ibid.
[8] Ibid. h. 51
[9] Ahmad Daudy. Kuliah Filsafat. Jakarta : Bulan Bintang. 1986. h.1617
[10] H.A. Mustofa. Filsafat Islam. Bandung: Penerbit Pustaka Setia. 1997. h. 87
[11] Hadi P. Hardono. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Bandung: Kanesius. 1994. h. 87
[12] Ibrahim Madkur. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Sinar Grafika Offset. 1895. h. 67
[13] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), h.19-20
[14] Ibid. h. 18
[15] Jujun, S. Suria Sumantri. Ilmu dan Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1997. H. 107
[16] S. Praja Juhaya. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Bandung: Penerbit Yayasan Piara. 1997. h. 50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar