Rabu, 07 Desember 2011

HAMKA


Biografi
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Ia dilahirkan pada tanggal 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Hindia Belanda (saat itu). Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia. Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.[1]
 Dr. Z. Yasin: HAMKA; IA YANG MUDAH TERHARU
Di zaman revolusi saya sudah mengenal nama Buya Hamka selaku penulis dan ulama, terutama buku-buku roman yang bernafaskan pergaulan hidup orang beragama.orang beragama Islam dan dihubungkan dengan pergaulan anak muda dalam segala iradat naluriyahnya. Buku-buku tulisannya laku dalam masyarakat karena menggambarkan pergaulan nyata yang diuraikan dengan hidup dan disusuri oleh falsafah agama, adat istiadat, dan budi nurani yang terpuji. Tuhan menjadikan segala sesuatu dengan memberikan berbagai pengaruh yang pada dirinya akan melahirkan hasil-hasil yang positif, bagaimanapun akibat negatif yang ditimbulkannya untuk sementara waktu. Dengan demikian seluruh kehidupan memperoleh langkah maju ke tingkat yang lebih tinggi. Ayat Al-quran yang menjadi pegangan beliau dalam hal itu adalah yang artinya: “Bersebelahan dengan kesukaran itu ada kemudahan, dan bersebelahan dengan kemudahan ada kesukaran”.
Dengan dalil itu pertama-tama beliau menerjemahkan kesukaran-kesukaran yang ditimbulkan oleh Perang Dunia II dengan serbuan jepang yang diiringi dengan penderitaan hidup pada akhir Perang Dunia, telah memberikan kemudahan sehingga dimungkinkannya Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Jadi bersama-sama dengan kesukaran-kesukaran telah menimbulkan bersebelahan dengan itu dipupuknya kemudahan-kemudahan untuk akhirnya diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia. Kecuali itu beliau melihat dan memasukkan dasar falsafah ini kepada adanya dwi-tunggal Soekarno-Hatta yang memproklamasikan kemerdekaan.
Buya Hamka adalah seorang yang ahli berbahasa arab secara mendalam, dengan demikian tafsir al-Quran yang ditulisnya 30 juz itu ditulisnya dengan gaya bahasa dan pemilihan kata-kata yang memmantapkan pemahaman seseorang mengenai ayat-ayat yang ditafsirkannya itu.
Patut juga dicatat bahwa Hamka adalah seorang yang mudah terharu, baik karena sesuatu yang menggembirakan, apalagi menyaksikan sesuatu yang menyedihkan. Tetapi dalam kesedihan itu beliau tidak habis disitu saja biasanya dilanjutkan dengan usaha-usaha untuk memecahkan hal-hal yangn menjadi sebab keharusan suka dan duka  itu. Dan beliau senantiasa berpendirian, bahwa bila ada orang yang mengalami kedukaan maka beliau merasa wajib untuk meringankan kedukaan itu dengan jalan menunjukan diri dan perhatiansama-sama ikut dalam kedukaan itu. [2]

S.I. Poeradisastra: HAMKA, DALAM KARYA SASTRA PUN BERDAKWAH DAN BERKHOTBAH
Sastra pada pokoknya adalah potret penghayatan emosional manusia, apapun jenis (genre) sastra itu: puisi, prosa berkisah, bahkan esai sekalipun. Karena itu setiap karya sastra adalah buah interaksi daya cipta antara emosi oknum dengan lingkungan masyarakat dan budaya ddidalam gaya bahasa yang mampu membangkitkan keharuan seni dan bersifat komunikatif.
Hamka, meskipun hanya mendapat pendidikan formal kurang dari dua tahun SR (sekolah rakyat), tujuh tahun pendidikan agama dari berbagai guru, namun berkat pendidikan pribadi dari ayahnya ia mendapat pengetahuan ke-Islaman yang cukup untuk belajar selanjutnya belajar sendiri. Kecaman geram terhadap kebiasaan usang yang tetap dipertahankan itulah merupakan tema berulang-ulang didalam berbagai karya Hamka (merantau ke Deli dan dijemput mamaknya). Kecaman Hamka lainya adalah keangkuhan keluarga bangsawan kalau martabat wanita lebih tinggi ketimbang pria: keluarga Zainab terhadap Hamid didalam Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan keluarga Hayati terhadap Zainudin di dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Sesuai dengan iman Islam bagi Hamka sesama muslim hanya dibedakan Allah hanya sesuai dengan tingkat taqwanya masing-masing kepada Allah.
Lingkungan Islamnya membuat Hamka bertolak dari nawaitu mengarang karna sastra sebagai amal ibadah seorang Muslim. Ia tak pernah jera bertabligh, berdakwah di dalam semua kekhasan Hamka, tetapi sekaligus juga merupakan kelemahannya yang gawat. Keinginannya berdakwah kadang-kadang menguras darah insani dari tokoh-tokohnya. Sebagai orang Indonesia Hamka merupakan produk peradaban pra-kota dan pra-industri, padahal roman, novel, dan cerpen merupakan produk tipikal peradaban industrial dan kota, karena usaha penerbitan merupakan industri tipografi yang memberi pelayanan jasa hiburan dan lapangan kerja bagi kaum pekerjanya. Masa formatif dan produktif Hamka sebagai pengarang di lewatkan di dalam masyarakat setengah desa dan setengah kota dengan cirri-ciri agraris non-sekuler yang kuat. Karena itu pada umumnya tokoh-tokoh Hamka bukan penduduk kota yang bergulat dan bergumul dengan masalah-masalah kota dengan kemiskinan structural lapisan bawah dan kebudayaan mestizo lapisan menengahnya yang serba bingung karena keterbantuan sosialnya. Tokoh-tokoh Hamka adalah orang-orang golongan menengah lapisan bawah dari lingkungan budaya bumiputra yang pada umumnya taat beragama.
Melalui bahasa Arab Hamka berkenalan dengan karya-karya Aristoteles, Plato, Pytagoras, Plotinus, Ptolemaios, dan lain-lain. Tetapi Aischilos, Aristophanes, Homeros, Herodotos, Hesiodos tidak merupakan kerangka referensinya. Ia mengenal sastra Arab dengan tempo kecepatan yang lamban dan tradisi sastra yang berbeda mengenai gaya berkisah, citra-citra dan tamsil-tamsilnya. Komposisi dan kepekatan tradisi sastra Barat modern yang berkembang terutama karena pengaruh film dan jurnalistik bagi Hamka sebagaimana bagi para pengarang Indonesia sebelum Belenggu karangan  Armijin Pane belum dikuasai oleh para pengarang kita. [3]

GAYA BAHASA HAMKA
Bagaimanakah dengan gaya bahasa Hamka? Marilah kita bicarakan. Dengan catatan bahwa bahasa Hamka adalah bahasa masa lalu. Sedang kita sekarang ini hidup di zaman yang sudah berbeda dibanding dengan masa Hamka, tatkala ia sedang kuat-kuatnya berkarya. Pembicaraan mengenai gaya bahasa Hamka, kita batasi pada karya-karyanya yang tergolong sastra saja.
Adapun buku-buku yang tergolong sastra dari karya Hamka adalah, 1. Merantau ke Deli, 2.Di Bawah Lindungan Ka’bah, 3. Di Lembah Kehidupan, 4.Tenggelamna Kapal van der Wijck, 5. Margaretta Gauthier (terjemahan). Gaya bahasa Hamka adalah biasa-biasa saja. Artinya ia menggunakan bahasa harian, yang setiap orang akan mengerti atau menegkap maknanya. Bahasa yang betul-betul komunikatif. Mari kita kutif beberapa baris kalimat dari Merantau ke Deli:
 a. kita kutip dari halaman terdepan (9):
“Ramai dan riuh rendah orang di kebun. Hari sekarang malam satu, malam tanggal bulan yang baru, orang-orang kontrak berlarian dari dalam kantor setelah menerima gajinya masing-masing, gaji yang diharapkan ari awal ke ujung bulan, yang menyebabkan setiap hari mereka memeras keringat dengan tiada mengingat payah dan lelah. Yang harus mereka terima 30 x 45 sen, telah dipotong pula pinjaman tanggal 15 dan telah dipotong belasting, sisanya itulah yang sekarang masuk ke dalam saku mereka, namun wajah mereka masing-masing kelihatan berseri-seri.”
Apa yang bisa kita rasakan dan pikirkan dari cuplikan tersebut di atas? Nampaklah, bahwa kadang-kadang senang dengan kalimat pendek. Lihat kalimat pertama. Tetapi ia lebih suka menggunakan kalimat yang panjang-panjang, meskipun kalimatnya bisa dipotong-potong dan masing-masing merupakan kalimat yang berdiri sendiri kengkap dengan artinya. Gejala lain yang tampak ialah, bahwa Hamka mempunyai gaya bahasa yang cukup memikat pembaca, sebab dengan beberapa kalimat saja kita sudah tertarik, dan ia sudah berhasil langsung membawa kita (pembaca) memasuki dunia imajinasinya.
b. Kita kutip dari halaman tengah (83) dari buku yang sama:
“Telah dirasai oleh Leman nikmatnya beristri baru dan masih perawan. Kadang-kadang dia menyesal mengapa nikmat seindah indah baru sekarang dirasainya, sesudah habis saja masa mudanya terbuang-buang selama ini, apalagi menurut orang-orang yang telah biasa kawin, yang kedua dan ketiga itu, sekali perkawinan, sepuluh tahun umur surut kebelakang”.
Dari kutipan di atas jelas bahwa Hamka masih tetap komunikatif sekali, mudah ditangkap dan dipahaminya. Dengan cekatan pula ia menyampaikan alam pikiran para manusia sederhana tentang perkawinan, yang jelas bukan atau tidak merupakan keyakinan Hamka sendiri, ia hanya melukiskan belaka, hanya menjurubicarai taraf kecerdasan rakyat pada waktu itu.
 Setelah kita membicarakan gaya bahasa dari “Merantau ke Deli” marilah kita meninjau bahasa bukunya yang lain yang berjudul “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Ini juga salahsatu buku Hamka yang banyak digemari masyarakat pada zamannya.
a. Kita kutip halaman permulaan
“Harga getah di Jambi, dan seluruh tanah ini sedang naik, negri Mekah baru saja pindah dari tangan Syarief Husin ke tangan Ibnu Saud, Raja Hejaz dan Nejd dan daerah taklukannya, yang kemudian ditukar namanya menjadi kerajaan ‘Arabiyah Saaudiyah’. Setahun sebelum itu telah naik haji pula dua orang kenamaan dari negeri kita”.
Ternyata, seperti yang bisa kita baca, bahasa Hamka disini agak kacau balau. Pertama kalimatnya panjang-panjang, kedua ia menggabungkan dua hal yang sangat jauh kaitannya dalam satu kalimat, satu tarikan nafas yang membuat nafas kita tersengal-sengal. Coba pikirkan, “Haraga getah di Jambi dan diseluruh tanah ini sedang naik, negeri Mekah baru saja pindah dari tangan…” dan seterusnya. Dalam hal gaya bercerita, Hamka masih tetap langsung memasuki ke dunia persoalannya, dan juga tetap mudah dicerna karena kata-kata sehari-hari yang dipergunakannya.
 b. Kita kutip halaman tengah (37)
“Lama saya termenung mendengarkan pembicaraan ibu itu, pertama karena amat dalam penyelidikannya kepada faham hidup ini, kedua memikirkan kekuatan jiwanya yang timbul, seakan-akan ada malaikat yang memmimpin dia sedang berbicara, yang tidak disangka-sangka akan sejelas itu. Beberapa saat antaranya sayapun menjawab: terimakasiih ibu, nasehat ibu masuk benar kedalam hatiku, semuanya benar belaka, sebenarnya sudah lama pula anakanda merasa yang demikian, sehiingga dengan hati sendiri anakanda merasa yang demikian, sehingga dengan hati sendiri anakanda berjanji hendak melupakannya”.
 Dari kutipan ini masih nampak Hamka menggunakan kalimat-kalimat yang panjang juga. Tentu panjang dan pendek kalimat itu tidak merupakan penggunaan yang baik atau tidak dari dari suatu bahasa. tetapi itu jelas menyangkut masalah pernafasan pembaca dan ikut berpengaruh juga terhadap perasaan pembaca. Selain itu bahasa dialog dalam tulisan Hamka sangat terasa seperti bahasa tulisan. Artinya memang mudah tertangkap bahasa. Tetapi suasana yang dilukiskanna, karena memakai gaya bahasa tulisan, jadi kurang segar, kurang hidup.
Kiranya untuk membicarakan gaya bahasa Hamka kita cukupkan dulu, dengan mangambil kutipan-kutipan kalimat dari dua buku beliau. Pada hakikatnya gaya bahasa Hamka dalam bukunya yang lain, yang tergolong sastra tidak jauh bedanya. Sekarang kita beranjak membicarakan tema dan jiwa karya Hamka. Seperti dalam judul ini dikatakan, Hamka adalah sastrawan yang bisa kita golongkan dalam jenis pengarang yang menganut paham realisme. Tetapi bukan Realisme sosial yang dibentuk di Negara Uni Soviet. Hamka jelas berwatak religius baik sebagai insane maupun sastrawan. Karena itu disini kita bisa menyebutnya dengan “Realisme Religius” [4]

K.H. Zainal Abidin Ahmad: WARTAWAN ITU BERNAMA HAMKA
Datanglah sa’atnya hamka memegang peranan didalam dunia persuratkabaran, beliau diminta datang ke Medan untuk memimpin mejalah “Pedoman masyarakat”, adalah diluar perhitungan kami berdua, bahwa sesudah berpisah 10 tahun lamanya sejak sama-sama belajar di Padang Panjang, datang masa berkumpul kembali di Medan, dalam lapangan pekerjaan yang sama. Beliau memimpin Panji Masyarakat, dan setahun sebelum beliau datang ke Medan, kami sudah menerbitkan dan memimpin majalah Panji Islam. H. Muhammad Said memberi catatan tentang kedua majalah tersebut: “Dua buah majalah popular telah terbit di Medan antara tahun 1934 dan 1935: pertama Panji Islam, sepuluh hari sekali dibawah pimpinan Zainal Abidin Ahmad dan kedua Pedoman Masyarakat pada tahun 1935, mulanya dibawah pimpinan H. Asbiran Ya’cub, kemudian Hamka dan Yunan Nasution. Dengan menyadari segala kekurangan dilapangan pendidikan sekolah, kami berjuang mengisi lapangan kewartawanan yang sangat luar tiada bertepi itu. Betapapu, ternyata kami harus mengakui Buya Hamka mencapai prestasi yang patut dibanggakan dilapangan kewartawanan ini. Buya Hamka meneruskan kewartawananya sampai kepada akhir hayatnya. “sejauh dapat dilihat, ada tiga penerbitan Hamka sampai memastikan dirinya dan meninggalkan dampak mendalam di masyarakat yaitu:
1.      Majalah “Pedoman Masyarakat” di Medan, di zaman penjajahan Hindia Belandaa;
2.      Majalah “Gema Islam” di zaman Orde Lama, ketika berlaku sistim demokrasi terpimpin; dan
3.      Majalah “Panji Masyarakat” sekarang ini.
 Masing-masing penerbitan itu harus dinilai dalam zetting atau lingkungan historisnya yang tersendiri pula. Namun, apapun sifat penilaian itu, satu hal tetap konstan didalamnya, ialah peranan Hamka sebagai wartawan, dan peranan itu sungguh besar. Peranan sebagai juru ulas atau komentator zamannya, sebagai pendidik masyarakat, sebagai juru kunci atau penjaga nilai-nilai budaya dan ajaran agamanya, sebagai penghibur terhadap mereka yang tertimpa duka nestapa dan memerlukan pegangan dan pedoman hidup. Semua peranan itu dilaksanakan Hamka menurut situasi dan kondisi yang berbeda-beda, tetapi dengan selalu setia kepada integritas pribadinya, karena beliau dibimbing kepada keimanan kepada Tuhan, dan disitulah letak kelebihan Hamka, dan karena itulah beliau menjadi wartawan yang besar.[5]

Wasiat Hamka Tentang Bahasa Persatuan Indonesia
Di dalam bukunya “Kenang-kenangan Hidup” Hamka bicara tentang Sumpah Pemuda 1928. sumpah itu bukanlah dimaksud membuat atau menciptakan suatu bahasa yang baru yang diberi nama bahasa persatuan, tetapi menetapkan suatu bahasa yang sudah terpakai ratusan tahun lamanya pada gugusan pulau-pulau Melayu dan Semenanjung Tanah Melayu, yang dapat disebutkan seluruh Nusantara. Kerajaan Melayu yang tertua adalah kerajaan Sriwijaya, tumbuh sejak abad ke-6 M. yaitu abad lahirnya Nabi Muhammad s.a.w. bahasa Melayu sudah terpakai dalam kerajaan, dan setelah dipelajari prasasti-prasasti Kadukan Bukit dan Tulang Tua ternyata memakai bahasa melayu.
Perkembangan berjalan terus sampai Sumpah Pemuda tahun 1928, dan Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. berdirinya dua Negara pada gugusan nusantara, tidaklah dapat memisahkan, apalagi memecahkan persatuan bahasa, meskipun memakai nama yang berbeda, yaitu bahasa Indonesia di Indonesia dan bahasa Melayu di Malaysia. Penjajahan asing yang bercokol berabad-abad ternyata tidak bisa melemahkan, apalagi akan menghapuskan bahasa melayu yang menjadi bahasa persatuan itu. Juga di Filipina dengan penjajahan Spanyol dan kemudian Amerika, meskipun pada mulanya telah melumpuhkan sama sakali bahasa nasionalnya, Tagalog, toh beberapa tahun akhir ini muncul kembali. Begitu juga Mesir yang dijajah Napoleon dari Perancis, dalam waktu pendek telah mengubrak-abrik bahasa Arab, namun bahasa Aran berdiri teguh mengalahkan bahasa-bahasa lain yang tadinya mendesak kedudukannya. Didalam persoalan itu Hamka meninggalkan wasiat, sebagai digariskan dalam “Kenang-kenangan Hidup” jilid II. Ada tiga pokok masalah yang dikemukakannya:
  1. Penggantian Huruf (aksara) ke Latin, sedang tadinya adalah huruf Arab yang dulu dinamakan “huruf jawi”. Langkah ini dimulai oleh Indonesia, sedangkan Malaysia yang pada mulanya tetap bertahan pada huruf asli “huruf jawi”, akhirnya mengikuti langkah Indonesia.
  2. Berkisarnya dari memakai kata-kata Arab untuk memperkaya bahasa nasional ke kata-kata bahasa bekas-bekas penjajah. Perkisaran itu di Indonesia sudah lama berjalan, semenjak zaman belanda. Adapun di Malaysia pada mulanya mendahulukan mencari bahasa Arab. Misalnya iqtishad untuk ekonomi, siasat untuk politik, tahniah untuk ucapan selamat, dan ta’ziah untuk melayat kematian. Tetapi semenjak pergantian hurup jawi ke huruf Latin (Rum), perkembangan ini berbuah haluan. Hamka memberikan pandangan yang agak tajam: usaha hendak mengganti bahasa Melayu, seumpama pelancongan dengan pariwisata, atau ta’ziah dengan bela sungkawa, nampaknya hendaknya melepaskan dendam terpendam.
  3. Kita harus awas memperhatikan ekspansi kultur, serta sebuan kebudayaan dari segi bahasa, yang tujuannya terakhir tidak lain ialah hendak memperlemah agama kita.[6]
Kesimpulan secara keseluruhan bahwa Hamka adalah benar-benar pribadi yang komunikatif dan luwes. Iaa juga seorang pembaharu seperti ayahandanya. Hamka juga merupakan lambing pembebasan dalam kemacetan. Banyak hal telah dilakukannya untuk menghilangkan penyakit dogmatis dan fanatisme dalam agama Islam. Sebagai pemimpin Majels Ulama Indonesia (sebelum mengundurkan diri), Hamka selalu mendasari kebijaksanaanya dengan dasar kasih sayang. Betapa ia sebenarnya amat mendambakan kerukunan dan perdamaian, juga kebersamaan. Ia seorang pribadi yang tidak pernah pilih kasih, dan ia mencintai semua orang dengan cukup adil.


[1] Google, Haji Abdul Malik Karim Amrullah- Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
[2] Taufiq Abdullah, Haji Zaenal Abidin Ahmad, Leon Agusta, Dr, Haji A. Mukti Ali, Djohan Effendi, Hajah Siti Rahayu Effendi, Usman Effendi, Emnast (Mochtar Nasution, Haji Emzita, Haji Islmael Hasan, H Harmoko, Fahmi Idris, E.Z Muttaqien, HAMKA, hal 118
[3] Taufiq Abdullah, Haji Zaenal Abidin Ahmad, Leon Agusta, Dr, Haji A. Mukti Ali, Djohan Effendi, Hajah Siti Rahayu Effendi, Usman Effendi, Emnast (Mochtar Nasution, Haji Emzita, Haji Islmael Hasan, H Harmoko, Fahmi Idris, E.Z Muttaqien, HAMKA, hal 123
[4] Taufiq Abdullah, Haji Zaenal Abidin Ahmad, Leon Agusta, Dr, Haji A. Mukti Ali, Djohan Effendi, Hajah Siti Rahayu Effendi, Usman Effendi, Emnast (Mochtar Nasution, Haji Emzita, Haji Islmael Hasan, H Harmoko, Fahmi Idris, E.Z Muttaqien, HAMKA, hal 151
[5] Taufiq Abdullah, Haji Zaenal Abidin Ahmad, Leon Agusta, Dr, Haji A. Mukti Ali, Djohan Effendi, Hajah Siti Rahayu Effendi, Usman Effendi, Emnast (Mochtar Nasution, Haji Emzita, Haji Islmael Hasan, H Harmoko, Fahmi Idris, E.Z Muttaqien, HAMKA, hal 186
[6] Taufiq Abdullah, Haji Zaenal Abidin Ahmad, Leon Agusta, Dr, Haji A. Mukti Ali, Djohan Effendi, Hajah Siti Rahayu Effendi, Usman Effendi, Emnast (Mochtar Nasution, Haji Emzita, Haji Islmael Hasan, H Harmoko, Fahmi Idris, E.Z Muttaqien, HAMKA, hal 189

Tidak ada komentar:

Posting Komentar