Minggu, 11 Desember 2011

MAKALAH ISLAM DI JAJAH EROPA 1800-2000


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Umat Islam mengalami puncak kejayaan kedua pada masa tiga kerajaan Besar berkuasa, yakni kerajaan Turki Utsmani, Safawi dan Mughal (India).Namun, seperti pada masa kekuasaan Islam terdahulu, lambat laun kekuatan Islam menurun. Bersamaan dengan kemunduran tiga kerajaan tersebut, bangsa Barat mulai menunjukkan usaha kebangkitannya.
Kebangkitan bangsa Barat bermuara pada khazanah ilmu pengetahuan dan metode berpikir yang dikembangkan umat Islam yakni rasional. Di antara jalur masuknya ilmu pengetahuan Islam ke Eropa yang terpenting adalah Spanyol. Ketika Spanyol Islam mengalami kejayaan, banyak orang-orang Eropa yang datang untuk belajar ke sana, kemudian menerjemahkan karya-karya ilmiah umat Islam. Hal ini dimulai sejak abad ke-12.
Gerakan renaisans bangsa Eropa melahirkan perubahan-perubahan besar. Abad ke-16 dan ke-17 merupakan abad yang paling penting bagi kebangkitan Eropa, sementara pada akhir abad ke-17 itu pula, dunia Islam mulai mengalami kemunduran. Banyak penemuan-penemuan dalam segala lapangan ilmu pengetahuan dan kehidupan yang diperoleh orang-orang Eropa. Perkembangan itu semakin cepat setelah ditemukan mesin uap, yang kemudian melahirkan revolusi industri di Eropa. Teknologi perkapalan dan militer berkembang dengan pesat. Sehingga, dengan kekuatan baru yang mereka miliki, Eropa menjadi penguasa lautan dan bebas melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan dari dan ke seluruh dunia, tanpa mendapat hambatan berarti dari lawan-lawan mereka yang masih menggunakan persenjataan sederhana dan tradisional.
Dalam pada itu, kemorosotan dunia Islam tidak terbatas pada bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, melainkan mereka juga ketinggalan dari Eropa dalam industri perang, padahal keunggulan Turki Utsmani di bidang ini pada masa-masa sebelumnya telah diakui oleh seluruh dunia.
Dengan organisasi dan persenjataan modern, pasukan perang Eropa mampu melancarkan pukulan telak terhadap daerah-daerah kekuasaan Islam. Kekuatan-kekuatan Eropa menjajah satu demi satu negara Islam. Perancis menduduki Aljazair pada tahun 1830, dan merebut Aden dari Inggris sembilan tahun kemudian. Tunisia ditaklukkan pada tahun 1881, Mesir pada tahun 1882, Sudan pada 1889.
Sementara itu, wilayah Islam di Asia Tengah juga tak luput dari penjajahan Barat. Umat Islam di Asia Tengah menjadi sasaran pendudukan Uni Soviet. Tulisan ini mencoba memaparkan keadaan dunia Islam pada masa penjajahan Barat.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas pada penulisan makalah ini, yaitu :
1.        Renaisans di Eropa
2.        Ekspansi Barat ke Timur Tengah
3.        Penajajahan Barat terhadap Indo-Pakistan dan Asia Tenggara
4.        Bangkitnya Nasionalisme di dunia Islam
5.        Negara-negara Islam memerdekakan diri

C.    Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
a.    Untuk mengetahui bagaimana renaisans di Eropa
b.    Ingin mengetahui sejarah ekspansi Barat ke Timur Tengah serta penjajahan Barat terhadap Indo-Pakistan dan Asia Tenggara
c.    Ingin mengetahui bangkitnya Nasionalisme di dunia Islam dan negara-negara Islam memerdekakan diri

 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Renaisans di Eropa
Eropa menghadapi tantangan yang sangat berat. Terutama kerajaan Utsmani yang perpusat di Turki. Mereka melakukan berbagai penelitian tentang rahasia alam, berusaha menaklukkan lautan, dan menjelajahi benua yang sebelumnya masih diliputi oleh kegelapan. Setelah Christoper Colombus menemukan benua Amerika (1492 M) dan Vasco Da Gama menemukan jalan ke timur melalui Tanjung Harapan (1498 M), benua Amerika dan kepulauan Hindia segera jatuh ke bawah kekuasaan Eropa.
Eropa menjadi maju dalam dunia perdagangan. L. Stoddard menggambarkan, dengan sekejap mata dinding laut itu berubah menjadi jalan raya dan eropa yang semula terpojok segera menjadi yang dipertuankan di laut dan dengan demikian, yang dipertuan di dunia. Perekonomian bangasa-bangsa Eropa pun semakin maju karena daerah-daerah baru terbuka baginya.[1]
Eropa menjadi penguasa lautan dan bebas melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan ke seluruh dunia. Perekonomian bangsa-bangasa Eropa semakin maju karena daerah-daerah baru telah terbuka, Eropa memperoleh kekayaan yang tak terhingga untuk meningkatkan kesejahteraan negerinya. Kemajuan Barat lambat laun mulai melampaui kemajuan Islam yang sejak lama telah mengalami kemunduran.
Eropa menjadi maju dalam dunia perdagangan, karena tidak tergantung lagi kepada jalur lama yang dikuasai umat Islam. Kemajuan Barat dipercepat oleh penemuan dan perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Penemuan mesin uap yang kemudian melahirkan revolusi industri di Eropa semakin memantapkan kemajuan mereka. Teknologi perkapalan dan militer berkembang dengan pesat.
Negeri-negeri Islam yang pertama kali jatuh ke bawah kekuatan Eropa adalah negeri-negeri yang jauh dari pusat kekuasaan kerajaan Utsmani, Negeri-negeri Islam yang pertama dapat dikuasai barat itu adalah negeri-negeri Islam di Asia Tenggara dan di anak benua India. Sementara, negeri-negeri Islam di Timur Tengah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Utsmani, baru diduduki Eropa pada masa berikutnya.

B.     Ekspansi Barat ke Timur Tengah
Islam mengalami masa kemunduran, dunia Islam kalah dan tersingkirkan oleh kekuatan penjajahan Eropa yang membawa semangat gold, glory, dan gospel. Semangat itu muncul sebagai ujung tombak gereja untuk mengulangi kejayaan mereka pada saat menaklukkan Islam melalui Perang Salib.[2]
Kemajuan-kemajuan Eropa dalam teknologi militer dan industri perang membuat kerajaan Utsmani menjadi kecil di hadapan Eropa. Akan tetapi nama besar Turki Utsmani masih membuat Eropa segan untuk menyerang atau menguasai wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Islam. Namun kekalahan besar Turki Utsmani dalam peperangan di Wina pada tahun 1683 M, membuka mata Barat bahwa Turki Utsmani telah benar-benar mengalami kemunduran jauh sekali.
Periode ini dimulai sejak terjadi perjanjian Carltouiz (Carlouiz), 26 Januari 1699 M antara Turki Utsmani dengan Austria, Rusia, Polandia, Venesia, dan Inggris. Isi perjanjian tersebut di antaranya adalah Austria dan Turki Utsmani terikat perjanjian selama 25 tahun yang menyatakan seluruh Hongaria (yang merupakan wilayah kekuasaan Turki Utsmani) kecuali Translvonia dan kota Banat, diserahkan sepenuhnya pada Austria. Sementara wilayah Camanik dan Podolia diserahkan pada Polandia. Rusia memperoleh wilayah-wilayah disekitar Laur Azov. Sementara itu, Venesia dengan diserahkannya Athena kepada Turki menjadi penguasa di seluruh Valmartia dan Maria. Dengan demikian perjanjian Carltouiz ini melumpuhkan Turki Utsmani menjadi negara yang kecil. Perjanjian itu terlaksana setahun kemudian (6 Januari 1700 M).[3]
Sejak kekalahan dalam peperangan Wina, kerajaan Turki Utsmani menyadari akan kemundurannya dan kemajuan Barat. Usaha-usaha pembaharuan mulai dilaksanakan dengan mengirim duta-duta ke negara Eropa, terutama Perancis, untuk mempelajari kemajuan mereka dari dekat. Pada tahun 1720 M, Celebi Muhamad diutus ke Paris dan diinstruksikan untuk mengunjungi pabrik-parbik, benteng-benteng pertahanan dan institusi-institusi lainnya. Ia kemudian memberi laporan tentang kemajuan teknik, organisasi angkatan perang modern, dan kemajuan lembaga-lembaga sosial lainnya. Laporan-laporan tersebut mendorong Sultan Ahmad III (1703 – 1730 M) untuk memulai pembaharuan. Untuk tujuan itu, didatangkanlah ahli-ahli militer Eropa, salah satunya adalah De Rochefort, Pada tahun 1717, ia datang ke Istambul dalam rangka membentuk korps artileri dan melatih tentara Utsmani dalam ilmu-ilmu kemiliteran modern.[4]
Usaha pembaruan yang dilakukan tidak terbatas pada bidang milliter. Dalam bidang-bidang lain pembaharuan juga dilaksanakan, seperti pembukaan percetakan di Istanbul pada tahun 1737 M, untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan. Demikian juga gerakan penerjemahan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Turki, sebagaimana telah dilakukan oleh para penguasa Abbasiyah ketika menerjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab.[5]
Meskipun demikian, usaha-usaha pembaharuan itu bukan saja gagal menahan kemunduran Turki Utsmani, tetapi juga tidak membawa hasil yang diharapkan. Penyebab kegagalan tersebut karena kelemahan raja-raja Turki Utsmani karena wewenangnya sudah menurun. Di samping itu, keuangan negara yang terus mengalami kebangkrutan, tidak mampu menunjang usaha pembaharuan. Faktor terpenting yang menyebabkan kegagalan usaha pembaharuan adalah karena ulama dan tentara Yenissari yang sejak abad ke-17 M menguasai suasana politik kerajaan Turki Utsmani menolak pembaharuan.
Usaha pembaruan Turki Utsmani baru mengalami kemajuan setelah Sultan Mahmud II membubarkan tentara Yenissari pada tahun 1826 M. Struktur kerajaan dirombak, lembaga-lembaga pendidikan moderen didirikan, buku-buku Barat diterjemahkan, siswa berbakat dikirim belajar ke Eropa, dan sekolah-sekolah kemiliteran didirikan. Akan tetapi, meski banyak mendatangkan kemajuan, hasil yang diperoleh dari gerakan pembaharuan tetap tidak berhasil menghentikan gerakan Barat terhadap dunia Islam. Selama abad ke-18, Barat menyerang wilayah kekuasaan Turki Utsmani di Eropa Timur. Akhir dari serangan itu adalah ditandatanganinya Perjanjian San Stefano (Maret 1878 M) dan perjanjian Berlin (Juli 1878 M), antara kerajaan Turki Utsmani dengan Rusia.[6]
Ketika perang dunia I meletus, Turki Utsmani bergabung dengan Jerman yang kemudian mengalami kekalahan. Akibat dari peristiwa itu kekuasaan kerajaan Turki semakin ambruk. Partai Persatuan dan Kemajuan memberontak kepada Sultan dan dapat menghapuskan kekhalifahan Utsmani, kemudian membentuk Turki modern.[7]
Penetrasi Barat ke pusat dunia Islam di Timur Tengah pertama-tama dilakukan oleh dua bangsa Eropa terkemuka, Inggris dan Perancis yang memang sedang bersaing. Inggris terlebih dahulu menanamkan pengaruhnya di India. Perancis merasa perlu memutuskan hubungan komunikasi antara Inggris di Barat dan India di Timur. Oleh karena itu pintu gerbang India, yaitu Mesir, harus berada dibawah kekuasaannya.[8]
Di pihak lain, satu demi satu daerah-daerah kekuasaan Turki Utsmani di Asia dan Afrika melepaskan diri dari Konstantinopel. Hal ini disebabkan timbulnya nasionalisme pada bangsa-bangsa yang ada di bawah kekuasaan Turki. Bangsa Armenia dan Yunani yang beragama Kristen berpaling ke Barat, memohon bantuan Barat untuk kemerdekaan tanah airnya, bangsa Kurdi di pegunugan dan Arab di padang pasir dan lembah-lembah juga bangkit untuk melepaskan diri dari cengkeraman penguasa Turki Utsmani.
  
C.    Penjajahan Barat Terhadap Indo-Pakistan dan Asia Tenggara
Invansi Eropa terhadap dunia Islam tidak pernah sama, tetapi selalu secara menyeluruh dan efektif. Penetrasi Barat terhadap dunia Islam di Timur Tengah pertama-tama dilakukan oleh dua bangsa Eropa terkemuka, Inggris dan Perancis. Inggris terlebih dahulu mencoba menguasai kerajaan Mughal India. Selama pertengahan terakhir abad ke-18, para pedagang Inggris telah memantapkan diri di Benggali. Rentang waktu antara 1798 – 1818, dengan perjanjian atau aksi militer, pemerintahan kolonial Inggris tersebar ke seluruh India, kecuali lembah Indus, yang baru menyerah pada tahun 1843 – 1849.[9]
Pada tahun 1799 M., Napoleon Bonaparte meninggalkan Mesir karena situasi politik yang terjadi di negara tersebut. Ia kemudian menunjuk jenderal Kleber menggantikan kedudukan Napoleon di Mesir. Dalam suatu pertempuran laut antara Inggris dan Perancis, jenderal Kleber kalah dan meninggalkan Mesir pada tahun 1801 M, dan di Mesir terjadi kekosongan kekuasaan. Kekosongan tersebut dimanfaatkan oleh seorang perwira Turki, Muhammad Ali dengan didukung oleh rakyat, berhasil megambil alih kekuasaan dan mendirikan dinasti. Pada masa itu Mesir sempat menegakkan kedaulatan dan melakukan beberapa pembaharuan, namun pada tahun 1882 M. dapat ditaklukkan kembali oleh Inggris.[10]
Faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke negara-negara muslim adalah ekonomi dan politik. kemajuan Eropa dalam bidang industri menyebabkannya membutuhkan bahan-bahan baku, di samping rempah-rempah. Mereka juga membutuhkan negeri-negeri tempat memasarkan hasil industri mereka. Untuk menunjang perekonomian tersebut, kekuatan politik diperlukan sekali. Akan tetapi persoalan agama seringkali terlibat dalam proses politik penjajahan Barat atas negeri-negeri muslim. Trauma Perang Salib masih membekas pada sebagian orang barat, terutama Portugis dan Spanyol, karena kedua negara ini dalam jangka waktu lama, berabad-abad berada di bawah kekuasaan Islam.[11]
India, pada masa kemajuan kerajaan Mughal adalah negeri yang kaya dengan hasil pertanian. Hal ini mengundang Eropa yang sedang mengalami kemajuan untuk berdagang ke sana. Di awal abad ke-17 M, Inggris dan Belanda mulai menginjakkan kaki di India. pada tahun 1611 M, Inggris mendapat izin menanamkan modal, dan pada tahun 1617 M belanda mendapat izin yang sama.
Kongsi dagang Inggris, British East India Company (BEIC), mulai berusaha menguasai wilayah India bagian timur, ketika merasa cukup kuat. Penguasa setempat mencoba mempertahankan kekuasaan dan berperang melawan Inggris. Namun, mereka tidak berhasil mengalahkan kekuatan Inggris. Pada tahun 1803 M, Delhi, ibukota kerajaan Mughal jatuh ke tangan Inggris dan berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Inggris. Tahun 1857 M, kerajaan Mughal dikuasai secara penuh, dan raja yang terakhir dipaksa meninggalkan istana. Sejak itu India berada di bawah kekuasaan Inggris yang menegakkan pemerintahannya di sana. Pada tahun 1879, Inggris berusaha menguasai Afghanistan dan pada tahun 1899, Kesultanan Muslim Baluchistan dimasukkan ke bawah kekuasaan India-Inggris.[12]
Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru berkembang, yang merupakan daerah penghasil rempah-rempah terkenal pada masa itu, menjadi ajang perebutan negara-negara Eropa. Kerajaan-kerajaan Islam di wilayah ini lebih lemah dibandingkan dengan kerajaan Mughal, sehingga lebih mudah ditaklukkan oleh bangsa Eropa.[13]
Kerajaan Islam Malaka yang berdiri pada awal abad ke-15 M di Semenanjung Malaya yang strategis merupakan kerajaan Islam kedua di Asia Tenggara setelah Samudera Pasai, ditaklukkan Portugis pada tahun 1511 M. Sejak itu peperangan-peperangan antara Portugis melawan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia seringkali berkobar. Pedagang-pedagang Portugis berupaya menguasai Maluku yang sangat kaya akan rempah-rempah.
Pada tahun 1521 M, Spanyol datang ke Maluku dengan tujuan dagang. Spanyol berhasil menguasai Filipina, termasuk di dalamnya beberapa kerajaan Islam, seperti Kesultanan Maguindanao, Buayan dan Kesultanan Sulu. Akhir abad ke-16 M, giliran Belanda, Inggris, Denmark dan Perancis, datang ke Asia Tenggara. Namun, Perancis dan Denmark tidak berhasil menguasai negeri di Asia Tenggara dan hanya datang untuk berdagang. Kekuasaan politik negara-negara Eropa di negara-negara Asia berlanjut terus hingga pertengahan abad ke-20.

D.    Bangkitnya Nasionalisme di Dunia Islam
Setelaj Perang Dunia I berakhir, tidak lama kemudian Kerajaan Utsmani (1923) lenyap dengan berdirinya Republik Turki, negeri yang independen, maka otomatis kekhalifahan tidak ada lagi. Negara-negara Arab yang semula berada di bawah Turki dikontrol oleh penjajah Inggris dan Perancis, kecuali jazirah Arab. Kontrol asing tersebut membawa pengaruh positif berupa perubahan administrasi dan kemajuan pendidikan, juga menumbuhkan nasionalisme, terutama dikalangan masyarakat yang berpendidikan. Pemerintah Inggris yang menempatkan Yahudi di Palestina juga menimbulkan situasi yang menyentuh rasa nasionalisme di dalam negeri-negeri Arab.[14]
Benturan-benturan antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa, mereka memang jauh tertinggal dari Eropa. Hal ini dirasakan dan disadari pertama kali oleh Turki, karena kerajaan inilah yang pertama dan utama dalam usaha menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banya belajar dari Eropa.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya didorong oleh dua faktor, yakni pertama: permurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam, seperti gerakan Wahhabiyah yang dipelopori oleh Muhammad bin Abd al-Wahhab di Saudi Arabia, Syah Waliyullah di India dan gerakan Sanusiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi dari Aljazair. Kedua: Menimba gagasan-gagasan pembaruan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Hal ini tercermin dalam pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa mereka. Pelajar-pelajar India juga banyak yang menuntut ilmu ke Inggris.[15]
Kesadaran nasionalisme tumbuh hampir di semua negeri muslim yang menghasilkan pembentukan negara-negara nasional. Tetapi persoalan mendasar yang dihadapi adalah keterbelakangan umat Islam, terutama menyangkut kemampuan menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat paling penting dalam mempertahankan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tanpa mengenyampingkan agama, politik dan ekonomi. Upaya kearah itu tidak lepas dari pembaharuan pemikiran yang dapat mengantarkan Islam terlepas dari cengkraman kolonialisme Barat.
Gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat itu masuk ke negeri-negeri muslim melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh banyaknya pelajar muslim yang menuntut ilmu Eropa atau lembaga-lembaga pendidikan “Barat” yang didirikan di negeri mereka. Gagasan kebangsaan ini pada mulanya banyak, mendapat tantangan dari pemuka-pemuka Islam karena dipandang tidak sejalan dengan semangat ukhuwah Islamiyah.[16]
Di Mesir, benih-benih nasionalisme tumbuh sejak masa al-Tahtawi dan Jamludin al-Afghani. Tokoh pergerakan terkenal yang memperjuangkan gagasan ini adalah Ahmad Urabi Pasha. Gagasan tersebut menyebar dan mendapat sambutan hangat, sehingga nasionalisme tersebut terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Hal itu terjadi di Mesir, Syiria, libanon, Palestina, Irak, Bahrain, dan Kuwait. Semangat persatuan Arab tersebut diperkuat pula oleh usaha barat untuk mendirikan negara Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab.[17]
Di India, sebagaimana di Turki dan Mesir, gagasan Pan-Islamisme yang dikenal dengan gerakan óilafaú juga mendapat pengikut. Syed Amir Ali adalah salah seorang pelopornya. Namun, gerakan ini pudar setelah usaha menghidupkan kembali khilafah yang dihapuskan Mustafa Kemal tidak memungkinkan lagi. Yang populer adalah gerakan nasionalisme, yang diwakili oleh Partai Kongres Nasional India. Akan tetapi, gagasan nasionalisme itu segera pula ditinggalkan sebagian besar tokoh-tokoh Islam, karena kaum muslim yang minoritas tertekan oleh kelompok Hindu yang mayoritas.[18]
Persatuan antar kedua komunitas besar Hindu dan Islam sulit diwujudkan. Oleh karena itu, umat Islam di anak benua India tidak lagi semangat menganut nasionalisme, tetapi Islamisme, yang dalam masyarakat India dikenal dengan nama komunalisme. Gagasan Komunalisme Islam disuarakan oleh Liga Muslimin yang merupakan saingan bagi Partai Kongres Nasional. Benih-benih gagasan Islamisme tersebut sebenarnya sudah ada sebelum Liga Muslimin berdiri, yang disuarakan oleh Sayyid Ahmad Khan, kemudian mengkristal pada masa Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.[19]
E.     Negara-negara Islam Memerdekakan Diri
Gelombang ekspansi Barat ke negara-negara muslim yang tidak dapat dibendung itu memaksa para pemuka Islam untuk mulai berpikir guna merebut kembali kemerdekaan yang dirampas. Salah seorang tokoh yang pikirannya banyak mengilhami gerakan-gerakan kemerdekaan adalah Sayyed Jamaluddin Al Afghani. Ia dilahirkan pada tahun 1839 di Afghanistan dan meninggal di Istambul 1897. Pemikiran dan pergerakan yang dipelopori Afghani ini disebut Pan-Islamisme, yang dalam pengertian luas berarti solidaritas antara seluruh umat muslim di dunia internasional. Tema perjuangan yang terus menerus dikobarkan oleh Afghani dalam kesempatan apa saja adalah semangat melawan kolonialisme dengan berpegang kepada tema-tema ajaran Islam sebagai stimulasinya. Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa diskursus tema-tema itu antara lain diseputar: Perjuangan melawan absolutisme para penguasa; Melengkapi sains dan teknologi modern; Kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya; Iman dan keyakinan aqidah; Perjuangan melawan kolonial asing; Persatuan Islam; Menginfuskan semangat perjuangan dan perlawanan kedalam tubuh masyarakat Islam yang sudah separo mati; dan Perjuangan melawan ketakutan terhadap Barat.
Disamping Afghani, terdapat dua orang ahli pikir Arab lainnya yang telah mempengaruhi hampir semua pemikiran politik Islam pada masa berikutnya. Dua pemikir itu adalah Muhammad Abduh(1849-1905) dan Rasyid Ridha(1865-1935). Mereka sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan guru mereka yakni Afghani, dan berkat mereka berdualah pengaruh Afghani diteruskan untuk mempengaruhi perkembangan nasionalisme Mesir. Seperti halnya Afghani dan Abduh, Ridha percaya bahwa Islam bersifat politis, sosial dan spiritual. Untuk membangkitkan sifat-sifat tersebut, umat Islam mesti kembali kepada Islam yang sebenarnya sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya atau para salafiah.
Negara berpenduduk mayoritas Muslim yang pertama kali memproklamasikan kemerdekaannya adalah Indonesia, yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia merdeka dari pendudukan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh Sekutu.[20] Disusul oleh Pakistan tanggal 15 Agustus 1947, ketika Inggris menyerahkan kedaulatannya di India kepada dua Dewan Konstitusi, satu untuk India dan satunya untuk Pakistan (waktu itu terdiri dari Pakistan dan Bangladesh sekarang). Presiden pertamanya adalah Ali Jinnah.[21]
Tahun 1922, Timur Tengah (Mesir) memperoleh kemerdekaan dari Inggris, namun pada tanggal 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya benar-benar merdeka. Pada tahun 1951 di Afrika, tepatnya Lybia merdeka, Sudan dan Maroko tahun 1956, Aljazair tahun 1962. Semuanya membebaskan diri dari Prancis. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Yaman Utara, Yaman selatan dan Emirat Arab memperoleh kemerdekaannya pula. Di Asia tenggara, Malaysia, yang saat itu termasuk Singapura mendapat kemerdekaan dari Inggris tahun 1957, dan Brunai Darussalam tahun 1984 M.[22]


BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Yang melatarbelakangi penjajahan Barat adalah faktor ekonomi dan politik. Bentuk-bentuk penjajahan barat terhadap dunia Islam berupa penyerangan, penaklukan, sehingga banyak wilayah-wilayah Islam yang jatuh ke negara-negara Barat. Juga berupa penindasan, penghisapan dan perbudakan.
Penjajahan Barat ternyata membawa implikasi yang sangat luas terhadap perkembangan peradaban Islam baik peradaban material yang berupa tehnologi baru, maupun peradaban mental. Penjajahan Barat juga memicu gerakan pembaharuan dalam Islam, yang mana bertujuan untuk memurnikan agama Islam dari pengaruh asing dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan Barat.

 
DAFTAR PUSTAKA


Amin, Ahmad. 1991. Islam dari Masa ke Masa. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hitti, Philip K. 2010. History of The Arabs. Jakarta: Serambi, diterjemahkan oleh Cecel Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi.
Karim, M. Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Yatim, Badri. 1993. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
http://noerhayati.wordpress.com/2008/06/02/penjajahan-barat-terhadap-dunia-islam/


[1] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2008. h. 174.
[2] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. 2007. h. 343.
[3] Ibid. h. 343.
[4] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. h. 178.
[5] Ibid. h. 179.
[6] Ibid.
[7] M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. h. 354.
[8]Philip K. Hitti. History of The Arabs. Jakarta: Serambi, diterjemahkan oleh Cecel Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. 2010.  h. 722.  
[9] Ahmad Amin. Islam dari Masa ke Masa. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1991. h. 174.
[10] Op.cit., h. 178
[11] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. h. 184.
[12] S.M. Ikram. Muslim Civilization in India. New York: Columbia University Press. 1977. h. 268.
[13] http://noerhayati.wordpress.com/2008/06/02/penjajahan-barat-terhadap-dunia-islam/
[14] M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. h. 346.
[15] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. h. 184.
[16] Ibid., h. 185
[17] Ibid., h. 186
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. h. 360.
[21] Op.cit. h. 188.
[22] Ibid., h. 188-189.

1 komentar: