Jumat, 01 Februari 2013


Dampak Ekonomi Sosial Pertambangan Tradisional
1.         Tujuan Ekonomi Sosial
Kedalam tujuan ekonomi sosial, terdapat tiga unsur penting yang harus diperhatikan agar tujuan ekonomi dan tujuan sosial dapat dicapai secara bersamaan, yaitu distribusi pendapatan, kesempatan kerja (employment), dan bantuan bersasaran (targeted assistence)( diunduh 15-1-2012).
Pertumbuhan ekonomi harus disertai dengan upaya peningkatan kesempatan kerja dan upaya pemerataan hasil-hasil pembangunan.   Untuk
mencapai hal tersebut, segala bentuk rintangan yang menghalangi akses masyarakat untuk ikut serta dalam pembangunan, pemanfaatan sumberdaya, dan lain-lain, harus ditekan sekecil mungkin atau dihilangkan sama sekali.
Dalam konteks industri pertambangan, misalnya dengan memberikan kesempatan berusaha dan mengembangkan usaha bagi masyarakat kecil melalui pemberian pinjaman modal (peningkatan sumberdaya kapital), penyediaan berbagai fasilitas yang mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan lain-lain.
Keberpihakan terhadap kelompok masyarakat dipedesaan, wanita dan anak-anak, ataupun kelompok masyarakat lain yang selama ini diabaikan, perlu dilakukan sehingga tujuan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sekaligus pemerataan dan pengentasan kemiskinan dapat terealisasi. Intinya adalah bahwa pemberdayaan masyarakat adalah hal yang sangat penting untuk dilaksanakan dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan.
2.      Tujuan Ekonomi dan Tujuan Ekosistem
Kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan sebagian besar mempunyai relevansi terhadap konservasi sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Tanggapan dan percepatan pembangunan ekonomi membutuhkan pemeliharaan lingkungan hidup yang mendukung kegiatan ekonomi dan sosial yang dinamis, selain menentukan kebijaksaan juga ditingkat nasional membutuhkan program-program di tingkat lokal dan wilayah yang dapat dilaksanakan. Pembangunan nasional tidak akan tumbuh pesat apabila kehidupan ekonomi wilayah dan lokal tidak dinamis, stabil dan penuh ketidakpastian. Pembangunan juga tidak akan berjalan pesat apabila anggaran belanja pembangunan tidak akan mencukupi.
Kecenderungan yang terjadi dalam pembangunan ekonomi adalah tidak memperhitungkan nilai-nilai pemanfaatan sumberdaya yang tidak memiliki harga, seperti nilai-nilai yang terkandung dalam sumberdaya alam maupun beban sosial masyarakat akibat pemanfaatan sumberdaya. Tidak adanya penilaian terhadap sumberdaya ini selanjutnya menimbulkan eksternalitas-eksternalitas tersendiri (terutama eksternalitas negatif) yang sangat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat harus menanggung beban sosial yang timbul dalam setiap, pemanfaatan sumberdaya tanpa sedikitpun diberi “kompensasi”. Beban sosial terbesar yang harus ditanggung oleh masyarakat saat ini maupun masyarakat dimasa yang akan datang adalah penurunan kualitas kehidupan dan lingkungan, yang tentu saja dalam jangka panjang tidak menjamin pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, maka dalam program-program pembangunan wilayah dan pemukiman sekelompok masyarakat, harus memperhatikan tujuan ekosistem ini. Setiap program yang akan dilaksanakan harus dievaluasi dampaknya terhadap lingkungan. Selain itu, penilaian terhadap sumberdaya-sumberdaya yang dimanfaatkan (baik nilai ekstrinsik maupun intrinsiknya) sangat diperlukan untuk menghindari, setidaknya mengurangi, eksternalitas.
Jikalau eksternalitas telah terjadi, maka upaya-upaya internalisasi berbagai dampak keluar ini harus dilakukan, misalnya dengan bentuk-bentuk kompensasi. Dengan demikian, segala aktifitas yang ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ataupun efisiensi kapital (tujuan ekonomi) akan tetap memperhatikan pengelolaan yang berkelanjutan.
3.      Tujuan Sosial dan Tujuan Ekosistem
Untuk dapat mengelola sumberdaya secara berkelanjutan, kebijaksanaan lingkungan yang lebih menekankan pada konservasi dan perlindungan sumberdaya, perlu memperhitungkan mereka yang masih bergantung kepada sumberdaya tersebut, untuk mendukung kelangsungan hidupnya. Bila hal ini tidak diperhatikan, akan memberikan dampak yang buruk terhadap kemiskinan dan mempengaruhi keberhasilan jangka panjang dalam upaya konservasi sumberdaya dan lingkungan.
Selain itu, masalah hak kepemilikan merupakan faktor penentu dalam pemanfaatan sumberdaya yang efisien, merata dan berkelanjutan. Sumberdaya yang dimiliki oleh umum (tidak jelas hak kepemilikannya) telah mengarah pada sumberdaya akses terbuka (open access), dimana dalam keadaan ini, siapapun dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada tanpa sedikitpun mempunyai insentif untuk memelihara kelestariannya. Pengukuhan hak-hak kepemilikan akan memperjelas posisi kepemilikan suatu pihak sehingga pihak tersebut dapat mencapai kelestarian (upaya konservasi) dan mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya dari intervensi maupun ancaman dari pihak luar (http://repository.usu.ac.id/. Diunduh 15-1-2012)

Kearifan-kearifan lokal harus dipahami dan dijadikan sebagai dasar landasan dalam membuat program-program pengembangan wilayah tersebut. Untuk itu, masyarakat lokal, sebagai pihak yang menguasai pengetahuan tradisional yang dimilikinya harus diikutkan dalam upaya perumusan program-program tersebut. Jika hal ini dapat dilakukan dan terealisasi, maka partisipasi aktif dari masyarakat dalam pembangunan akan muncul dengan sendirinya.
4.      Pembangunan Sosial Ekonomi
Sukirno (1985:23) “Pengertian pembangunan ekonomi yang dijadikan pedoman dalam penelitian ini didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang”. Berdasarkan atas definisi ini dapat diketahui bahwa pembangunan ekonomi berarti adanya suatu proses pembangunan yang terjadi terus menerus yang bersifat menambah dan memperbaiki segala sesuatu menjadi lebih baik lagi. Adanya proses pembangunan itu diharapkan adanya kenaikan pendapatan riil masyarakat berlangsung untuk jangka panjang.
Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses pembangunan yang terjadi terus-menerus yang bersifat dinamis. Apapun yang dilakukan, hakikat dari sifat dan proses pembangunan itu mencerminkan adanya terobosan yang baru, jadi bukan merupakan gambaran ekonomi suatu saat saja.
Pembangunan ekonomi berkaitan pula dengan pendapatan perkapita riil, di sini ada dua aspek penting yang saling berkaitan yaitu pendapatan total atau yang lebih banyak dikenal dengan pendapatan nasional dan jumlah penduduk. Pendapatan perkapita berarti pendapatan total dibagi dengan jumlah penduduk (Diunduh 15-1-2012).

Pembangunan ekonomi dipandang sebagai proses multidimensional yang mencakup segala aspek dan kebijaksanaan yang komprehensif baik ekonomi maupun non ekonomi. Oleh sebab itu, sasaran pembangunan yang minimal dan pasti ada menurut Suryana (2000:40) adalah:
a.         Meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian atau pemerataan bahan pokok yang dibutuhkan untuk bisa hidup, seperti perumahan, kesehatan dan lingkungan.
b.        Mengangkat taraf hidup temasuk menambah dan mempertinggi pendapatan dan penyediaan lapangan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya manusiawi, yang semata-mata bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi, akan tetapi untuk meningkatkan kesadaran akan harga diri baik individu maupun nasional.
c.         Memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi semua individu dan nasional dengan cara membebaskan mereka dari sikap budak dan ketergantungan, tidak hanya hubungan dengan orang lain dan negara lain, tetapi dari sumber-sumber kebodohan dan penderitaan.

Lebih lanjut Suryana (2000:43) menyebutkan ada empat model pembangunan, yaitu:
Model pembangunan ekonomi yang beorientasi pada pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, penghapusan kemiskinan dan model pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar. Berdasarkan atas model pembangunan tersebut, semua itu bertujuan pada perbaikan kualitas hidup, peningkatan barang-barang dan jasa, penciptaan lapangan kerja baru dengan upah yang layak, dengan harapan tercapainya tingkat hidup minimal untuk semua rumah tangga yang kemudian sampai batas maksimal.

Tangdilintin (Diunduh 15-1-2012):
Pembangunan sosial muncul dan ramai diperdebatkan sejak awal tahun 1990-an. Topik perdebatan tidak hanya terbatas pada substansinya, tetapi juga menyangkut terminologi yang dianggap lebih tepat untuk mewakili gagasan baru itu. Ada beberapa terminologi yang ditawarkan, antara lain Pembangunan Alternatif, Pembangunan Berbasis Rakyat, Pembangunan Partisipatoris. Isu sentral dari gagasan tersebut adalah mencari alternatif bagi pembangunan yang berfokus pertumbuhan, yang menempatkan uang sebagai yang paling pokok (capital centered development), berubah menjadi pembangunan sebagai proses yang manusiawi (people centered development). Kenyataan bahwa pembangunan yang sangat berfokus pertumbuhan memang telah berhasil dengan gemilang mewujudkan kemakmuran, tetapi gagal mewujudkan kesejahteraan yang lebih merata, bahkan sebaliknya banyak membawa masalah yang sulit dicari pemecahannya. Wawasan yang lebih luas mengenai pembangunan sosial, mulai berkembang dan diterima secara luas pula pada tahun 1970-an, dengan berbagai varian pemikiran yang dipelopori oleh berbagai disiplin ilmu yang bebeda. Secara garis besar muncul berbagai pemikiran yang memberi makna yang berbeda terhadap pembangunan sosial. Ada yang sangat menyederhanakan sebagai identik dengan pelayanan (services), ada yang memberi makna sebagai pemenuhan kebutuhan dasar (basic need), pembangunan mandiri, pembangunan berkelanjutan, dan bahkan pembangunan etnis (ethnodevelopment).

Menurut Paiva (dalam Munandar, 2002:52), pembangunan sosial adalah:
“Development of the capacity of people to work continuosly for their own and society’s welfare.” Definisi ini mewakili pemikiran pemberdayaan individu yang akhirnya secara luas dikenal dengan people centered development. Pembangunan sosial sebagai paradigma alternatif, menempatkan masyarakat sebagai pusat dari proses pembangunan dan ekonomi sebagai cara untuk melayani kebutuhan manusia. Setiap orang, pemerintah, atau lembaga apapun harus   menghormati  arti  kehidupan manusia secara global                    

yang bertanggung jawab terhadap generasi berikutnya dan melindungi kelangsungan lingkungan hidup.

Menurut Margareth ( Diunduh 15-1-2012) menyebutkan:
Model pembangunan sosial pada dasarnya menekankan pentingnya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan kelompok marjinal, yakni peningkatan taraf hidup masyarakat yang kurang memiliki kemampuan ekonomi secara berkelanjutan. Tujuan tersebut dicapai melalui (1) upaya menumbuhkembangkan potensi diri (produktivitas masyarakat) yang lemah secara ekonomi sebagai suatu aset tenaga kerja, (2) menyediakan dan memberikan pelayanan sosial khususnya pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, perumahan, serta pelayanan yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan produktivitas dan partisipasi sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Upaya pertama mengarah pada penciptaan peluang bagi kelompok yang lemah secara ekonomi. Upaya yang kedua mengarah pada peningkatan kemampuan mereka dalam merebut dan memanfaatkan peluang yang telah diciptakan tadi. Untuk mewujudkan kedua hal ini diperlukan adanya intervensi pemerintah, misalnya melalui perundang-undangan yang mengatur quota (keterwakilan sosial) dalam bidang pendidikan dan pekerjaan bagi golongan penduduk yang lemah.

Pembangunan kesejahteraan sosial sejatinya menurut Suharto, (2005:67) adalah:
Segenap strategi dan aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, maupun sosial kemasyarakatan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui kebijakan dan program pelayanan sosial, penyembuhan sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat”.

Pembangunan melalui investasi sosial mempunyai dampak langsung berupa penciptaan lapangan kerja, prakarsa partisipasi dalam pembangunan yang lebih luas biarpun pada awalnya dalam lapangan pembangunan sosial yang sederhana. Investasi dalam pembangunan  sosial
akan meningkatkan produktivitas karena adanya rasa ikut memiliki serta kepercayaan melalui partisipasi yang lebih ikhlas. Karena partisipasi itu dilakukan dengan ikhlas, maka lebih mudah memberikan kepuasan berkat dipenuhinya hak-hak sosial ekonomi dan budaya yang sangat mendasar yang akhirnya akan menciptakan suatu yang mengharuskan negara memberikan dukungan fasilitasi yang kuat dalam proses pemberdayaan yang lebih adil dan merata, yang memihak kepada keluarga atau penduduk yang tertinggal.
Biarpun pendekatan baru ini memerlukan dukungan pertumbuhan ekonomi yang memadai, namun bukan tidak mungkin bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada awalnya tidak akan tercapai. Proses pemerataan akan mengharuskan kesempatan kerja diupayakan meluas secara horizontal sehingga keluarga dan penduduk yang tingkat produktifitasnya rendah harus diberikan kesempatan pemberdayaan untuk dapat bekerja agar rasa keadilan bisa ditegakkan. Karena penduduk yang kualitas dan produktifitasnya masih rendah harus diusahakan bekerja secara merata, tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi bisa tidak tercapai. Kegiatan ekonomi harus lebih dikuasi oleh pelaku yang terdiri dari rakyat biasa yang sedang berjuang untuk maju. Karenanya, ketika pemberdayaan atau kesempatan kerja diberikan kepada rakyat secara luas, pertumbuhan ekonomi tidak mungkin setinggi upaya yang berorientasi pertumbuhan tinggi. 

DAFTAR PUSTAKA

Munandar,Utami. 2002. Kreatifitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Suryana, 2000. Ekonomi Pembangunan: Problematika dan Pendekatan. Penerbit Jakarta: Salemba Empat Edisi Pertama.



Aturan Perundang-undangan Tentang Pertambangan Tradisional
Dalam kerangka hukum adat, ulayat adalah wilayah pengelolaan yang berada dalam penguasaan bersama. Dalam praktek, penguasaan ini di implementasikan oleh wakil-wakil mereka, misalnya ketua-ketua adat. UUD 1945 Pasal 33 yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, UUD 1945 pasal 33 memberikan landasan yuridis bagi UU No. 5 tahun 1960 Pasal 2 yang berbicara pertama kali tentang konseptualisasi hak menguasai negara dalam tingkatan yang lebih teknis dalam pengelolaan Sumber Daya Alam. UUD 1945 Pasal 33 memberikan penekanan pada penguasaan Negara terhadap Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sementara No. 5 Tahun 1960 pasal 2 UU lebih memperjelas ruang lingkup hak menguasai negara tersebut yaitu; 1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, 2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa dan 3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa atau dalam kalaimat lain dapat disimpulkan, komponen yang terkandung dalam hak menguasai negara tersebut adalah kekuasaan untuk mengatur, mengurus dan mengawasi.
Aturan pertambangan pertama yang diundangkan adalah:
UU No. 37 Prp Tahun 1960. Pertambangan rakyat diatur dalam pasal 1 yang menentukan bahwa semua bahan galian (a,b,c) yang diusahakan oleh rakyat secara kecil-kecilan dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri menurut adat kebiasaan daerah atau diusahakan secara koperasi. Aturan selanjutnya yaitu Keputusan Wakil Panglima Besar III Koti Operasi Ekonomi No. Kpts.20/WPB-KOTOE Tahun 1965 Tentang Penertiban Usaha-Usaha Dibidang Pertambangan Intan Dan Bahan Galian lain Yang Bersamaan Penguasaannya yang diikuti dengan Kepmen Pertambangan No. 206/M/Pertamb/65 Tentang Pelaksanaan Keputusan Wakil Panglima Besar III Koti Operasi Ekonomi No. Kpts.20/WPB-KOTOE Tahun 1965 Peneriban Usaha-Usaha Dibidang Pertambangan Intan Dan Bahan Galian lain Yang Bersamaan Penguasaannya. Pada tahun 1967 UU No. 11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan diundangkan. HMN dinyatakan dengan tegas pada pasal 1 UU No. 11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Pasal 1 ini menyatakan bahwa semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah kekayaan Nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat. (my.opera.com/andikosutanmancayo/blog, diunduh:1-2-2012).

UU No. 11 tahun 1967 mendefenisikan pertambangan rakyat sebagai:
Pertambangan Rakyat; adalah satu usaha pertambangan bahan-bahan galian dari semua golongan a, b dan c seperti yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri. Pertambangan Rakyat bertujuan memberikan kesempatan kepada rakyat setempat dalam mengusahakan bahan galian untuk turut serta membangun Negara di bidang pertambangan dengan bimbingan Pemerintah. Pertambangan Rakyat hanya dilakukan oleh Rakyat setempat yang memegang Kuasa Pertambangan (izin) Pertambangan Rakyat.

UU No. 11 Tahun 1967 dilaksanakan melalui PP No. 32 Tahun 1969. Dalam ketentuan ini ditentukan bahwa pertambangan rakyat dapat dilakukan setelah mendapat Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat yang dikeluarkan oleh menteri. Dimana Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri kepada Rakyat setempat untuk melaksanakan usaha pertambangan secara kecil-kecilan dan dengan luas wilayah yang sangat terbatas.
Selanjutnya beberapa ketentuan dikeluarkan untuk mengatur pertambangan rakyat ini diantaranya:
Kepmen Pertambangan No. 181/Kpts/M/Pertamb/69 tentang Tentang Pengaturan Pertambangan Rakyat Untuk Bahan galian timah Putih di Riau Daratan, Kepmen Pertambangan No. 188/Kpts/M/Pertamb/1969 tentang Pengaturan Pertambangan Rakyat Untuk Bahan Galian Emas Di Daerah Propinsi Bengkulu, Kepmen Pertambangan No. 77/Kpts/M/Pertamb/1973 tentang Pengaturan Pertambangan Rakyat Untuk Bahan Galian Emas Di Daerah Bolaangmongondow Propinsi Sulawesi Utara, Kepmen Pertambangan No. 763/Kpts/M/Pertamb/1974 tentang Pengaturan Izin Pertambangan Rakyat Untuk bahan galian Kaolin Di Daerah Karaha kab. Tasik Malaya Propinsi Jabar, Permen Pertambangan & Energi No. 01 P/201/M/PE/1986 Tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis Dan Vital (Golongan A & B) (my.opera.com/andikosutanmancayo/blog, diunduh:1-2-2012).

Dari semua ketentuan tersebut dapat ditarik catatan penting tentang kebijakan pemerintah yaitu :
1.   Berbagai pengaturan pertambangan rakyat dalam berbagai paraturan perundangan memberikan pembatasan keleluasaan rakyat menambang.
2.   Ketidakpastian usaha pertambangan rakyat karena kalau ada pemegang Kontrak Karya atau kontrak pertambangan lain, maka penambang rakyat harus menyingkir.
3. Sedangkan untuk diareal yang ada Kontrak Pertambangannya tetap dibuka kemungkinan pertambangan rakyat, dengan syarat adanya ijin pemegang kontrak pertambangan.
       4. Penertiban dan pembinaan yang dilakukan oleh Negara dengan imbalan sejumlah pungutan dari penambang. Meskipun pembinaan tersebut tidak jelas dan diserahkan kepada pemda setempat.


Pertambangan Tradisional
Pertambangan dilakukan oleh masyarakat secara tradisional dengan alat-alat sederhana. Istilah tambang rakyat secara resmi terdapat pada Pasal 2 huruf n, UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. Dalam pasal ini disebutkan bahwa Pertambangan Rakyat adalah satu usaha pertambangan bahan-bahan galian dari semua golongan a, b dan c yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri. Sementara itu untuk kata masyarakat lokal cendrung disandingkan dengan masyarakat adat dalam membedakan dua kelompok masyarakat yang tinggal dalam satu daerah. Masyarakat adat lebih dicirikan oleh aturan-aturan adat yang diwarisi secara turun temurun dengan rentang waktu yang sulit diukur. Sedangkan masyarakat lokal cendrung menggunakan ketentuan-ketentuan yang waktu pembuatannya lebih diketahui, sesuai dengan waktu kedatangan mereka kedaerah tersebut. Selain itu masyarakat lokal cendrung lebih plural dan beragam, jika dibandingkan dengan masyarakat adat (UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan).
Salah satu kekayaan alam Indonesia yang cukup berguna pemanfaatannya oleh masyarakat sekitar adalah tambang emas tradisional yang berada di bawah tanah milik masyarakat sekitar di Desa Bukit Perentak Kecamatan Pangkalan Jambu. Masyarakat sekitar memilih pekerjaan tersebut guna memenuhi kebutuhan hidup.
Menurut pantauan penulis di lokasi, dengan peralatan seadanya (tradisional) masyarakat melakukan penambangan dengan menggunakan mesin Robin untuk menemukan butiran-butiran kecil emas guna dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat penambang.
Sejauh ini khususnya di Indonesia belum ada kesepakatan pemahaman mengenai pengertian tambang rakyat, walaupun begitu sejumlah literatur menunjukkan bahwa kegiatan tambang rakyat pada pertambangan emas (baik emas primer maupun emas sekunder) di sejumlah negara, dapat dikelompokkan menjadi (Zulkarnain, 2007:43):
(a) Artisanal, yaitu penamaan yang ditujukan bagi individu/orang yang melakukan kegiatan penambangan emas secara manual semata-mata dengan menggunakan dulang, (b) PSSK, pertambangan skala sangat kecil (very small-scale mining), (c) PSK, pertambangan skala kecil (small-scale mining)

Pada kelompok 2 dan 3, kegiatan penambangan rakyat ini sudah mulai menggunakan peralatan mekanik. Perbedaan antara keduanya adalah pada skala produksi, kegiatan dan peralatan yang digunakan. Sedang untuk kelompok 1, kegiatan penambangan rakyat ini memiliki sejumlah ciri antara lain dengan (Zulkarnain, 2007:47):
(a) Obyek tambang umumnya merupakan sisa atau cadangan yang kecil, (b) Bergerak dengan modal yang kecil/pas-pasan, (c) Umumnya menyerap tenaga kerja yang banyak, (d) Miskin akses ke pasar dan rendah akan pelayanan sarana pendukung, (e) Memiliki standard keselamatan dan kesehatan yang rendah, (f) Memiliki dampak yang berarti terhadap lingkungan.
Hampir sebagian besar penambang yang masuk pada kelompok 1 dan 2, ditinjau secara aspek legalitas beroperasi secara illegal (Zulkarnain, 2007:47), terkait dengan sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Zulkarnain, Iskandar, dkk.,  2007. Dinamika dan Peran Pertambangan Rakyat di Indonesia. Jakarta: LIPI.
 

Pertambangan
Pengertian Pertambangan
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008:1606) defenisi dari pertambangan adalah:
Tambang n lombong (cebakan, parit, lubang di dl tanah) tempat menggali (mengambil) hasil dr dalam bumi berupa bijih logam batu bara, dsb; -- batu bara tempat penggalian bijih logam batu bara; -- emas 1 tempat penggalian emas; 2 ki sumber penghasilan yg besar dan menguntungkan; -- timah tempat penggalian timah; menambang v menggali (mengambil) barang tambang dr dl tanah; penambang n orang yg menambang (tt emas dsb): jumlah ~ emas liar makin meningkat tiap tahunnya; penambangan n proses, cara, perbuatan menambang; pertambangan n urusan (pekerjaan dsb) yg berkenaan dng tambang.

Menurut Saleng (2004:35) pengertian bahan galian  “ialah unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan termasuk batu-batu mulia seperti emas yang merupakan endapan-endapan alam. Kemudian karakteristiknya berupa: benda padat, cair dan gas yang keadaanya masih dalam bentuk endapan alam atau letakan alam yang melekat pada batuan induknya dan belum terjamah oleh manusia”.
Bahan galian menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan adalah “unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam bentuk batuan termasuk batu-batu mulia seperti emas yang merupakan endapan-endapan alam” (Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan).
Pertambangan di Indonesia telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah besar bangsa ini. Seberapa tua pemakaian besi dan mineral lainnya dalam kehidupan, setua itulah umur pertambangan dilakukan rakyat. Pertambangan dilakukan oleh masyarakat secara tradisional dengan alat-alat sederhana. Pada tahun 1651 emas dapat diperoleh secara resmi dari tangan VOC di pantai Pariaman, Minangkabau. Perdagangan emas ini berlangsung atas perjanjian bilateral antar Bandaharo di Sungai Tarab yang mengusai distribusi pengangkutan emas dari Saruaso, pedalaman Minangkabau . Dua orang Bandaharo yaitu Bandaharo Putih dan Bandaharo Kuning mengendalikan ekspor emas dari pedalaman Minangkabau, sampai pada akhir abad XVIII, bangsa eropa yang pertama yang menyelidiki sumberdaya alam di Tanah Datar, menyebutkan emas mulai habis didaerah tersebut. Sementara penambangan rakyat yang lebih muda umurnya dalam sejarah seperti penambangan yang dilakukan di daerah Kelian, Kalimantan. Usaha penambangan emas oleh masyarakat setempat di Kelian diperkirakan baru dimulai setelah tahun 1930. Sebab, para geolog Belanda yang melaporkan adanya penambangan batu bara sekitar enam kilometer dari muara Sungai Kelian pada awal tahun 1930-an tidak melaporkan adanya penambangan emas. Panjangnya lintasan sejarah yang dilalui oleh pertambangan dalam kehidupan rakyat, dapat dilihat pada aturan-aturan local (adat) dibanyak tempat, mengatur tentang pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pertambangan. Di Minangkabau (Sumbar) terdapat aturan tentang pengelolaan ulayat termasuk pertambangan yang harus dipatuhi oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan ulayat-sumberdaya tambang. Aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA) tersebut berbunyi: Karimbo Babungo Kayu, ka Sungai Babungo Pasia, Kaladang Babungo Ampiang, Katanah babungo ameh. Pepatah adat ini menggariskan bahwa setiap pemanfaatan SDA dalam territorial Minangkabau harus memberikan kontribusi kepada masyarakat adat setempat. Dalam konteks pertambangan, fee untuk masyarakat adat inilah yang disebut dengan “Bunga Emas” (Andiko, diunduh 24-12-2011).

Data-data di atas menunjukkan kepada kita bahwa pertambangan telah menjadi satu bentuk usaha yang sangat tua, dikelola secara mandiri dengan alat-alat sederhana dan diselenggarakan oleh komunitas-komunitas masyarakat mandiri dan telah berkembang jauh sebelum republik ini ada. Uraian-urain singkat diatas juga menunjukkan terdapat masyarakat-masyarakat didaerah yang karena mata pencaharian dan interaksi dengan pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus, melahirkan budaya pertambangan, meskipun pada saat ini dinamai dengan penambangan tradisional, penambang rakyat atau bahkan penambang tanpa ijin (PETI).

PUSTAKA

Diknas. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Saleng dan Manan, B. 2004. Hukum Pertambangan. Yogyakarta: UII Press.


ULAMA'
 Pengertian
“Kata ulama merupakan bentuk jamak dari kata Alimun menurut arti filosofis ulama adalah orang yang berilmu. Para filolog bahasa Arab (figh al-lughah al arabiyyah) memberikan pengertian bahwa orang yang mendalami ilmu di sebut alim. Sedangkan orang yang menguasai ilmu di sebut adib” (Suharman, 2002: 21).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008: 1174) “ulama adalah orang yang ahli dalam agama Islam”.
Lebih lanjut defenisi tentang ulama adalah:
Perkataan ulama itu adalah satu istilah dalam bahasa Arab. Ia adalah perkataan jamak (plural), yang berasal dari perkataan tunggalnya ‘alimun. Makna 'alimun' ialah ‘seorang alim’ atau ‘orang pandai’. Maka ulama ’ tentulah bermakna ‘orang-orang alim’. Boleh juga dikatakan ulama itu ialah para ilmuan atau para cerdik pandai, Kalau mengikut artinya dari segi bahasa, ulama itu ialah orang-orang alim dalam apa saja bidang ilmu. Sama ada ilmu dunia atau ilmu Akhirat; ilmu baik atau ilmu jahat. Tidak kira sama ada ilmu itu diamalkan atau tidak. Orang-orang yang mempunyai ilmu di bidang ekonomi misalnya, maka menurut istilah Arab (bahasa), mereka disebut ulama. Demikian juga orang-orang yang mengetahui ilmu ushuluddin, maka dari segi bahasa mereka itu adalah ulama.”.( http://cintasayangku.blogspot.com: 16-12-2011)

Dilihat dari sudut pandang masyarakat luas bahwa ulama itu adalah orang yang berpengetahuan dalam bidang agama yang biasa dipercayakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan. Ulama merupakan orang yang telah berpengetahuan tentang masalah agama, artinnya; ajaran tauhid orang yang biasa dikedepankan untuk menyelesikan persoalan keagamaan, yang mana mereka bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri dan orang lain, bahkan terhadap Allah SWT.
Pengertian ulama perspektif al-Qur’an yang dipahami lewat teks dan konteksnya adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah SWT, baik yangQauliyah (ajaran Qur’an atau agama) maupun yang Kauniyah (ilmu pengetahuan umum dan teknologi) yang bisa mengantarkan manusia kepada pengetahuan tentang kebenaran Allah dan memiliki sifat taat dan khasyyah (takut) pada-Nya, sesuai antara ilmu dan amalnya serta ikhlas dalam beramal. Sedangkan pengertian ulama perspektif Hadits lewat interpretasi para ulama salaf lebih sempit dari perspektif al-Qur’an di atas, karena hanya membatasi pada orang-orang yang mengusai ayat-ayat qauliayah saja. Padahal teks Haditsnya masih sangat umum dan masih memungkinkan untuk reinterpretasi yang berbeda. Maka penulis lebih mendukung pengertian ulama perspektif al-Qur’an, bahkan bila perlu wilayah kepemimpinan ulama tidak terbatas sebagai pemimpin spritual tapi juga pemimpin negara, minimal sebagai pemimpin non formal pada sebuah wilayah (Arfan, http://www.madadulhaqq.net/category/artikel-terbaru/: 16-12-2011).

Dari pengertian di atas dapat kita gambarkan bahwa ulama itu adalah orang yang memiliki pengetahuan orang yang dituakan dalam bidang keagamaan (agama Islam) Ulama itu memiliki karismatik, dicintai dan dipatuhi oleh umat yang menjadi pengikutnya, dan dengan sendirinya mempunyai wibawa dan pengaruh yang menentukan dalam mengendalikan umat. Kita semua menyadari betapa pentingnya peran ulama dalam kehidupan sosial untuk membangun umat dengan menyampaikan ajaran Islam pada umat manusia. Dengan demikian orientasi tugas pokok ulama adalah mengayomi umat terutama dalam masalah pendidikan agama Islam. Hal ini disebabkan tanggungjawab seorang ulama pada dasarnya sebagai orang yang berilmu harus menyampaikan ilmunya kepada umatnya.
Jadi pengertian ulama memang sangat spesifik, sehingga penggunaannya tidak boleh pada sembarang orang. Semua syaratnya jelas dan spesifik serta disetujui oleh umat Islam. Paling tidak, dia menguasai ilmu-ilmu tertentu, seperti ilmu Al-Quran, ilmu hadits, ilmu fiqih, ushul fiqih, qawaid fiqhiyah serta menguasai dalil-dalil hukum baik dari Quran dan sunnah. (Sarwat, http://www.ustsarwat.com: 16-12-2011)
Yaqub (2003:160) membagi pengertian ulama menjadi lima kategori yang harus dipenuhi oleh seorang ulama, antara lain:
1) Ulama yang menjadi ahli waris nabi itu pertama kali ditandai dengan sikapnya yang hanya takut kepada Allah. Dalam istilah al Qur’an disebut khasy-yah. Khasy-yah adalah rasa takut yang dibarengi dengan penghormatan dan ketaatan. Orang yang khasy-yah kepada Allah justru akan semakin mendekati Allah, bukan malah lari dan meninggalkannya. Karenanya, ulama ahli waris nabi selalu takut dan taat kepada Allah bukan berperilaku maksiat. 2) Sebelum memiliki sifat khasy-yah, ulama ahli waris nabi memiliki ilmu agama. Ia tidak sekedar mengetahui ilmu agama Islam untuk diamalkan oleh dirinya sendiri, tetapi juga mampu memberikannya kepada orang lain, minimal dapat menjawab pertanyaann-pertanyaan agama yang disampaikan kepadanya, 3) ulama ahli waris nabi adalah ia akrab dengan rakyat kecil, 4) zuhud adalah sikap untuk tidak mencintai dunia setelah dunia dikuasai. Banyak orang  miskin tetapi hatinya mencintai dunia, dan banyak orang kaya tetapi tidak tidak mencintai dunia, 5) ulama itu sudah berusia minimal empat puluh tahun. Menurut para ahli, usia empat puluh tahun itu adalah usia kematangan bagi seseorang. Pada usia itu ia sudah istiqomah (tenang jiwanya) dan mapan pribadinya, sehingga layak menjadi anutan kaummnya.

Berdasarkan uraian di atas dan pengertian inilah kita sekarang memberi gelaran ulama itu kepada seseorang. Yakni siapa saja yang alim walau dalam bidang ilmu apa pun, dipanggil ulama. Mungkin tidak salah kalau itu disandarkan pada arti lahir dari perkataan ulama itu.

DAFTAR PUSTAKA

 Depdiknas. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa.