Minggu, 04 Desember 2011

ETIKA BERAGAMA DALAM QUR'AN (TOSHIHIKO IZUTSU


BOOK REEPORT AKU BELAJAR AKU BODOH 1
JUDUL ASLI         :    ETHICO-RELIGIOUS CONCEPTS IN THE QUR’AN
PENGARANG      :    TOSHIHIKO IZUTSU
PENTERJEMAH   :    MANSURUDDIN DJOELY
PENERBIT            :    PUSTAKA FIRDAUS
CETAKAN            :    KE-II
TAHUN                 :    1995
HAL                       :    419

A.    BIOGRAFI
Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo, Jepang, 1914 (Litt. D., Keio) adalah profesor pada lembaga studi kebudayaan dan linguistik, Universitas Keio, Tokyo, dan profesor tamu pada lembaga Studi Keislaman Universitas Mc. Gill, dimana ia menghabiskan enam bulan setiap tahun untuk mengajar Teologi dan Filsafat Islam. Karya-karyanya dalam bahasa Inggris: Language ang Magic: Studies in The Magical Function of Speech, Tokyo: Keio University, 1956; The Stuctur of The Ethical Terms in the Koran: a Semantical Analysis of the Koranic Weltaschauung, Tokyo: Keio University, 1964; dan The Concept of Believe in Islamic Theology, Tokyo: Keio Institute of Cultural and Lingustic Studies, 1965.

B.     PEMBAHASAN
1.      Jangkauan dan Fokus Pengkajian
Islam yang lahir pada abad ketujuh di Arabia tidak diragukan lagi mewakili salah satu pembaharuan agama yang paling radikal yang pernah muncul di Timur. Sedangkan Al Qur’an, sebagai catatan otentik paling dahulu dari peristiwa besar itu, menggambarkan dalam kaitan-kaitan yang kongkret dalam hidup, tentang bagaimana dalam periode krisis ini norma-norma kesukuan yang menghormati zaman purba terlibat ke dalam konflik dengan ideal-ideal kehidupan yang baru, mulai berjalan terhuyung-huyung, dan setelah serangkaian upaya perlawanan yang susah payah dan gagal, akhirnya menyerahkan hegemoni kekuasaan yang sedang bangkit. Arabia pada zaman tersebut, dari masa pra-Islam yang menyembah berhala sampai pada masa awal Islam, merupakan sesuatu yang penting dan khusus bagi seseorang yang berminat dalam problem-problem pemikiran etis karena dapat memberikan materi kasus yang baik sekali bagi pengkajian kelahiran dan pertumbuhan sebuah kode moral. Dalam apa yang dikenal dengan Zaman Kebodohan (jahiliyah), maka periode penyembahan berhala sebelum kedatangan Islam, kebiasaan-kebiasaan dan ide-ide yang asing yang berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan musyrik telah melanda bangsa Arab yang nomadik. Terhadap bagian terbesar kepercayaan ini, Islam menolaknya dengan positif, karena secara esensial bertentangan dengan wahyu ketuhanan. Namun banyak sekali dari unsur-unsur kepercayaan itu yang bisa diangkat dengan beberapa modifikasi dalam bentuk dan substansinya dan berhasil dipahami sebagai ide-ide moral yang tinggi, untuk gabungkan ke dalam kode etik Islam yang baru. Dengan teliti mengikuti transformasi semantik yang dialami kaitan-kaitan etis yang utama dalam bahasa Arab, selama periode sejarahnya yang paling kritis.
Ada tiga kategori konsep etis yang berlainan dalam al Qur’an, yakni: yang mengacu dan menggambarkan sifat etis dari Tuhan; yang menggambarkan berbagai aspek dari sikap manusia yang fundamental terhadap Tuhan; dan yang mengacu kepada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah tingkah laku yang mengatur hubungan etis di antara individu-individu yang memilikinya, dan hidup di dalamnya, sebagai komunitas agama Islam.
Kelompok pertama tersusun dari apa yang dinamakan Nama-nama Tuhan; kata-kata seperti ‘Pemurah’, ‘Penyayang’, ‘Pengampun’, ‘Adil’, ‘Agung’, menggambarkan aspek khusus dari Tuhan. Kelompok yang kedua berkaitan dengan hubungan etis mendasar antara manusia dan Tuhan. Kenyataan yang sebenarnya menurut konsep al Qur’an, adalah bahwa Tuhan merupakan sifat etis, dan bertindak atas manusia dengan cara etis membawa implikasi yang gawat, sehingga di pihak manusia diharapkan menanggapi dengan cara yang etis pula. Dan respon etis manusia terhadap perbuatan-perbuatan Tuhan dalam pandangan al Qur’an adalah agama.
Kelompok ketiga berkaitan dengan sikap etis dasar seorang manusia terhadap sesamanya dalam komunitas. Kehidupan sosial individu dikuasai dan diatur oleh seperangkat prinsip-prinsip moral tertentu dengan semua kata-kata jadiannya. Serangkaian ketentuan ini merupakan apa yang kita sebut sistem etika sosial, yang segera dikembangkan dalam periode post-al Qur’an, ke dalam sistem yurisprudensi Islam skala-besar.
Secara semantik ini berarti bahwa pada umumnya tidak ada konsep utama dalam al Qur’an yang benar-benar bebas dari konsep Tuhan, dan bahwa dalam lingkungan etika manusia setiap konsep kuncinya hanyalah refleksi yang suram – atau imitasi yang sangat tidak sempurna – dari sifat ketuhanan itu sendiri, atau yang mengacu kepada respons khusus yang diperoleh dari perbuatan-perbuatan ketuhanan.
2.      Metode Analisa dan Penerapannya
Ada berbagai cara bagi seseorang untuk mengetahui arti sebuah kata asing. Yang paling sederhana dan paling umum – tapi sayangnya kurang dapat diandalkan – adalah dengan mengatakan dalam bahasa orang itu sendiri dengan kata yang sama artinya.
Muruwah mewakili ide moralitas yang paling tinggi dalam masyarakat Badui, kebijaksanaan dari segala kebajikan, atau lebih mudahnya, semua kebajikan gurun pasir yang ideal dikombinasikan menjadi satu. Kata muruwah sejauh menyangkut bentuk luarnya, tampaknya secara mengagumkan sesuai dengan ‘man-ness’. Kata ini dibentuk dari kata ‘man’, seorang radikal (sebagai lawan dari perempuan) dan seorang formator yang ke dalamnya dimasukkan pengertian abstrak tentang kualitas dan kepemilikan. Jadi secara etimologis kata itu berarti ‘hak menjadi manusia’, dan orang dapat dibenarkan menggunakan kata bahasa Inggris ‘manliness’ sebagai bentuk pengertian yang sama untuk murwah.
Dalam kamus bahasa Arab, Taj al-‘Arus oleh al Zabidi, kata hilm didefenisikan sebagai ‘tindakan pengekangan jiwa seseorang dan menahan sifat seseorang dari emosi kekerasan suatu kemarahan’. Dalam Muhit al Muhit oleh al Bustani, hilm adalah ‘keadaan jiwa tetap tenang sehingga tidak dapat bergerak dengan mudah; dan tidak gentar menghadapi bencana apapun yang timbul’, keadaan tenang yang mantap meskipun terserang kemarahan’, dan lamban dalam membalas orang yang salah’.
Jahl sifat nafsu yang ganas yang cenderung mudah bergolak oleh profokasi yang paling kecilpun dan mendorong seseorang ke dalam semua jenis kenekatan; bahwa nafsu ini cenderung memanifestasikan dirinya dalam cara yang sangat ganjil, dalam rasa kehormatan yang angkuh mengkarakteristikkan bangsa Arab penyembah berhala, khususnya orang-orang Badui padang pasir; dan akhirnya bahwa dalam situasi spesifik secara al Qur’an, kata itu mengacu kepada sikap permusuhan yang ganjil dan keagresifan melawan kepercayaan Islam yang monoteistik, yang bagi pikiran orang-orang yang sezaman dengan Muhammad sukar sekali diterima secara etis, dan lebih lanjut mempersilahkan mereka meninggalkan adat yang dihormati sepanjang zaman dan pujaan-pujaan mereka.
3.      Konsepsi Pesimistis Kehidupan Duniawi
Barangkali gagasan yang paling mencolok tentang cita-cita moral Arab Kuno adalah bahwa Islam memprokalmirkan suatu moralitas baru yang seluruhnya didasarkan pada kehendak Tuhan yang absolut. Sedangkan tuntutan yang terpenting dari kehidupan moral sebelum Islam adalah tradisi kesukuan, atau “adat istiadat nenek moyang kita”.
Prinsip moralita yang diperjuangkan dengan gigih oleh Nabinya itu bersumber pada semangat keyakinannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedang semua adat istiadat dan tradisi suku-suku tidak lain kecuali urusan duniawi yang tidak bernilai “kesucian” apapun. Realisme sederhana yag digolongkan dalam pandangan dunia orang-orang Badui dengan cara yang amat khas sangat dikenal di kalangan mereka yang tertarik dengan sifat dasar kebudayaan Arab. Bagi pikiran Arab yang realistis, dunia ini dengan berbagai rona dan bentuknya merupakan satu-satunya dunia yang ada. Tiada suatupun yang lebih jauh dari pikiran tersebut ketimbang kepercayaan pada kehidupan yang abadi, kehidupan di akhirat. Tak mungkin terdapat suatu kehidupan di luar batas dunia ini.
“Keabadian” yang sering diceritakan dalam puisi masa sebelum Islam, dan yang niscaya merupakan salah satu problem kemanusiaan yang paling serius dikalangan orang Arab penyembah berhala menjelang kelahiran Islam, terutama dimaksudkan suatu kehidupan yang abadi di dunia ini juga. Dari khasanah sastra yang terlihat dengan jelas bahwa mereka menyadari semua harta benda yang mereka kumpulkan dari seluruh perbuatan mereka di dunia akhirnya akan tidak berarti dan sia-sia – kecuali jika ditemukan sesuatu yang akan dapat mengekalkan seluruh kehidupan di dunia ini.
Islam mengajarkan bahwa  dunia ini adalah fana dan sia-sia, dan oleh karena itu kamu jangan sekali-kali terpedaya olehnya; jika kamu benar-benar ingin mendapatkan kehidupan yang kekal dan menikmati kebahagiaan yang abadi kamu mesti menganut suatu prinsip tentang kehidupan dunia lain dengan cara yang sangat mendasar dalam kehidupan kamu. Jahiliyah mengajarkan bahwa segalanya sia-sia dalam dunia ini dan tidak ada sesuatupun yang bisa dijumpai disebaliknya, maka kamu harus menikmati kehidupan yang sementara ini dengan mereguk kenikmatan sejauh yang dapat dilakukan. Upaya mencari kenikmatan semata-matalah yang merupakan tujuan akhir yang mungkin dicapai bagi orang-orang yang mencintai dunia di zaman Jahiliyah.
Sikap mendasar manusia masa sekarang, dari sudut pandang al Qur’an, bukanlah hidup yang mengutamakan kesenangan duniawi seperti pada orang Arab masa pra-Islam, tetapi kesungguhan dalam mendekatkan diri dengan Hari Akhir. Siksaan hari kiamat yang sangat mengerikan sudah hampir tiba. Dan pada hari itu orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan harus mempertanggung jawabkan segala perbuatan mereka yang ceroboh selama di dunia.
4.      Semangat Solidaritas Kesukuan
Struktur sosial Arab sebelum Islam pada dasarnya bersifat kesukuan. Sebuah suku, atau sub-kelasnya, suatu marga, bagi orang-orang Arab sebelum Islam bukan hanya suatu unit atau basis kehidupan sosial yang tunggal, tetapi yang pertama dan terpenting adalah lambang sebuah prinsip perilaku paling tinggi, yang menyusun suatu pola yang komprehensif bagi keseluruhan kehidupan, baik dalam konteks kehidupan individu maupun masyarakat. Semangat kesukuan tak disangsikan lagi merupakan sumber pokok semua cita-cita moral yang atasnya masyarakat Arab dibina. Menghormati jalinan hubungan kekeluargaan yang berdasarkan ikatan darah melebihi segala apapun lainnya di dunia, dan bertindak demi kemuliaan suku, yang merupakan perjanjian suci yang harus dipatuhi oleh semua orang, yakni setiap individu yang menjadi anggota kelompok yang bersangkutan.
Kenyataan yang aktual, kaidah solidaritas kesukuan ini, sebagaimana setiap kaidah perilaku, kadang-kadang juga dilanggar, sekalipun para tokoh masyarakat padang pasir berkepribadian begitu kuat dan menentukan dalam memelihara loyalitas kepada ajaran-ajaran kesukuan.
Struktur sosial Jahiliyah pada dasarnya bersifat kesukuan, dalam pengertian bahwa cita-cita dari sebuah suku adalah Alpha dan Mega dari keberadaan manusia. Ikatan hubungan persaudaraan yang berdasarkan aliran darah, penghormatan yang hangat berbasiskan semua hal yang berkaitan dengan hubungan darah, ini, mensyaratkan orang harus berpihak kepada saudara sesukunya tanpa perlu memperhatikan apakah dia berada di pihak yang salah atau benar, mencintai sukunya sendiri, memandang rendah orang yang bukan berasal dari sukunya. Inilah yang menentukan ukuran akhir yang dengannya masyarakat Jahiliyah mengukur nilai-nilai moral seseorang.
Secara politis Muhammad sendiri diuntungkan dengan tidak menghiraukan luasnya peranan solidaritas kesukuan yang ada, bahkan sejak di kota Mekkah, terutama sekali sejak tahun pertama aktivitas kenabiannya. Muhammad melakukan sesuatu yang sangat berani denga berusaha untuk menghapuskan prinsip solidaritas kesukuan dan menggantikannya dengan kepercayaan Monotheistis. Ini memungkinkan lahirnya sebuah organisasi kemasyarakatan yang baru dengan sikap hidup ritualistis, sebagai manifestasi perintah eksternal yang musti dilaksanakan di dunia. Solidaritas kesukuan cenderung mengarahkan tindakan manusia ke arah pembelaan sanak saudaranya bahkan bila mereka bersekutu dengan musuh. Ini merupakan suatu fenomena yang sering terjadi di Arab setelah munculnya Islam.
Jadi Muhammad, ketika Hijrah ke Madinah, pertama sekali mencoba untuk menegakkan, sesuai dengan prinsip baru yang diajarkannya, persatuan yang melampaui batas kesukuan dari seluruh pengikutnya, dan mendeklarasikan bahwa orang-orang Muhajirin (takni mereka yang menyertainya sejak permulaan dalam menghadapi segala kesukarannya dan hijrah bersama dia dari Mekkah) dan orang-orang Anshar  (yakni, mereka yang baru saja memeluk Islam di Madinah) harus menganggap diri sebagai “saudara” seagama, dan bahwa persaudaraan ini harus mampu menghilangkan semua kebiasaan lama dan peranan dari persaudaraan karena hubungan darah. Orang beriman haruslah menjadi sahabat orang beriman lainnya dan orang kafir temannya adalah orang kafir pula, tinggalkanlah segala bentuk hubungan yang dikarenakan hubungan darah dan keturunan.
Unsur kelembutan dan kerendahan hati, sehubungan dengan kebajikan manusia, merupakan imbangan dari kebajikan Tuhan, menjadi hal yang sangat penting dari Etika Islam. Sebagian besar, walaupun tidak semua, dari kewajiban moral yang diakui Islam diperoleh dari amal baik ini. Kebajikan diperintahkan agar dilakukan setiap saat kepada setiap orang beriman. Kebajikan mesti mengarahkan prinsip dari semua hubungan manusia dalam masyarakat dan juga dalam keluarga. Maka orang mesti bersikap hormat dan lembut kepada orang tuanya dan senantiasa merawat mereka dengan baik.
5.      Islamisasi Nilai-nilai Kebajikan Arab Lama
a.       Kemurahan Hati
Dalam kehidupan masyarakat padang pasir, kemurahan hati menempati kedudukan yang sangat tinggi di antara sifat-sifat mulia. Dalam masyarakat padang pasir, dimana kebutuhan material yang paling dasar sangat langka, keramahtamahan dan suka menolong merupakan aspek sangat penting dalam mempertahankan hidup. Tetapi di sana ada sesuatu yang lebih dari itu. Kemurahan hati menurut orang-orang Arab penyembah berhala erat sekali kaitannya dengan konsepsi orang Jahiliyah tentang “kehormatan”. Bagi orang Arab penyembah berhala, berderma bukanlah sekedar manifestasi alamiah dari perasaan solidaritas kesukuannya. Yang banyak melakukan kebajikan dipandang paling bermartabat di padang pasir. Para pemuka Arab berlomba-lomba berbuat kebajikan. Nilai-nilai kebajikan begitu dalamnya berakar di hati orang Arab. Orang yang memiliki sifat mulia, menurut mereka, tidak perlu memperdulikan hari esok.
Islam menolak setiap kedermawanan yang bertolak dari keinginan untuk bersikap pamer. Dandisme atau ksatriaan yang dilakukan untuk kepentingan diri sendiri, menurut pandangan Islam, tidak lain kecuali nafsu setaniah. Yang utama bukanlah perbuatan berderma, tetapi motif yang melatar belakanginya. Semua tindakan yang secara lahiriah menunjukkan kedermawanan sama sekali tidak ada harganya apabila kedermawanan sama sekali tidak ada harganya apabila berpangkal pada kesombongan dan keangkuhan. Orang pemurah yang sebenarnya adalah yang “membelanjakan hartanya di jalan Allah”, yaitu karena dorongan keimanan, dan dilakukan pada dasar kesalehan, yang dapat menjadi pengendali dengan baik.
b.      Keberanian
Menjadi hal yang lazim di padang pasir bahwa keberanian atau kejantanan ditempatkan pada kedudukan yang sangat tinggi, melebihi nilai-nilai lainnya. Keberanian bukan hanya berkelahi dengan senjata, tapi juga lebih percaya diri dan agresif. Nilai-nilai kegagahan dan keberanian pada orang Arab penyembah berhala sering tak lebih baik daripada kekejaman dan kebuasan yang tidak berperikemanusiaan yang terjadi dalam permusuhan antar suku.
Islam tidak berbeda dengan Jahiliyah dalam menghargai keberanian dan mencemooh sikap pengecut. Islam sebagaimana di kalangan penyembah berhala, juga memberi penghormatan tertinggi kepada orang-orang yang tak pernah gentar menghadapi bahaya, yang dengan gagah dan berani menghadapi musuh pada setiap arena pertempuran.
Merupakan suatu aib yang keji bagi seseorang prajurit di masa Jahiliyah bila dituding sebagai orang yang kalah dalam pertempuran dan melarikan diri, dan aib itu juga menodai kehormatan sukunya itu sendiri. Demikian pula halnya dengan orang Islam, melarikan diri dari musuh ketika sedang bertempur di jalan Allah adalah pelanggaran yang sangat tercela terhadap agama dan Allah.
c.       Kesetiaan
Kesetiaan dan kepercayaan merupakan suatu ciri nilai yang paling tinggi dan paling nyata di padang pasir, nilai kesetiaan orang Jahiliyah umumnya secara kekerabatan karena hubungan darah. Hal tersebut umumnya berlaku dalam batas kesukuan, dalam lingkungan yang sempit inilah kesetiaan memegang kendali yang mutlak dan tertinggi. Hal itu mewujudkan sebagai penyucian diri paling tidak memihak demi kekerabatan, kesetiaan paling tinggi kepada teman-teman dan juga ketaatan paling utama dalam memegang teguh perjanjian. Seringkali janji itu sendiri dalam meluas keefektifan nilai-nilainya bahkan melampaui batas kesukuan.
Penyanjungan demikian tinggi terhadap kepercayaan dan kesetiaan diwarisi Islam dari orang Jahiliyah, dalam sosok budaya pengembaraannya yang asli. Dari al Qur’an sendiri maupun tradisi kerasulanlah nilai-nilai kesetiaan khas orang Arab padang pasir diambil oleh Islam sebagai suatu kode moralnya. Sebagaimana dengan gagasan-gagasan nomadic lainnya, Islam bukan hanya mengambil begitu saja nilai-nilai tersebut, tapi mengembangkannya secara khas, dan mengantarkannya ke alur kepercayaan monotheistis.
d.      Islam Sebagai Suatu Kebenaran
Jika wahyu yang diturunkan dengan perantaraan Muhammad merupakan suatu kebenaran, maka selanjutnya tentu saja bahwa Islam, agama yang didasarkan pada wahyu itu, adalah juga suatu Kebenaran. Berdasarkan pengertian ini, kata haqq secara terus menerus digunakan sebagai lawan kata dari bathil.
Akibat dari semua ini adalah bahwa karena kesucian yang ditafsirkan bagi kata “kebenaran”, haqq, di dalam al Qur’an, dan, oleh karena itu, semua penggunaan bahasa yang menyangkalnya dengan cara apapun dianggap penghujjahan yang terang-terangan terhadap Allah dan agama-Nya.
e.       Kesabaran
Sabr, “kesabaran”, “ketabahan”, atau “daya tahan”, merupakan suatu nilai yang menonjol dalam lingkungan hidup padang pasir di zaman Jahiliyyah. Kata ini adalah bagian dari shaja’ah, “berani”. Dipandang dari ilmu semantik, kata tersebut secara langsung bertentangan dengan kata jaza’, yaitu sifat tidak dapat menahan diri dan terlalu cepat bersikap bengis. Sabr itu sendiri berarti memiliki ketabahan dan kekuatan jiwa menghadapi kesengsaraan, penderitaan, dan kesulitan dalam kehidupan.
Nilai budaya suku pengembara lama ini, juga ditransformasikan oleh Islam ke dalam salah satu nilai utamanya, dengan melengkapinya dengan tuntutan keagamaan yang pasti: “Sabar di jalan Allah”. Sebagaimana di zaman Jahiliyah, teristimewa, sabr dalam Islam diperintahkan kepada setiap orang beriman yang sedang bertempur di medan melawan kaum kafir.

6.      Dasar Dikotomi Moral
Dalam pandangan al Qur’an, semua sifat manusia dibagi dalam dua kategori yang secara radikal saling bertentangan, mengingat kenyataan bahwa kategori-kategori tersebut sanat konkret dan secara semantik sungguh tepat untuk disebut dengan predikat “baik” dan “buruk”, atau “benar” dan “salah” – secara sederhana dapat kita namakan kelas yang memiliki sifat moral yang negatif secara berturut-turut. Standar penilaian terakhir yang dengannya pembagian ini dilaksanakan adalah kepercayaan yang semata-mata tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa, pencipta semua makhluk. Pada dasarnya, hampir seluruh lembaran al Qur’an mengajukan garis pokok dualisme mengenai nilai-nilai moral manusia; dasar dualisme tersebut menyangkut orang beriman dan orang yang tidak beriman. Dalam pengertian ini, sistem etika Islam merupakan suatu struktur yang sangat sederhana. Karena dengan standar nilai “kepercayaan” pokok tersebut, orang dengan mudah dapat menentukan kegolongan yang mana dari kedua kecenderungan seseorang dan tindakannya dapat dimasukkan.
Dengan kata lain, etika kehidupan di dunia ini tidaklah sederhana sebagai suatu sistem yang dapat mencukupi kebutuhan sendiri; sebaliknya strukturnya ditentukan oleh tujuan akhir (berkenaan dengan ilmu keakhiratan) yang untuknya dunia kini (al-dunya) dipersiapkan.
a.    Para Ahli Surga
Jika seseorang sungguh menginginkan termasuk ke dalam golongan “mereka yang diizinkan hidup di taman firdaus, suatu kehormatan yang tinggi”, ditegaskan bahwa pahala surga diperuntukkan bagi yang taat beribadah: “yang selalu menegakkan shalat dengan baik”. (al Maidah, 23-24).
Rasa syukur (shukr) dan taubat (taubah) adalah dua unsur yang mencolok sekali dalam kutipan ayat al Qur’an, yang dengan jelas menjabarkan ide-ide yang mencirikan “Ahli Surga”. Taubat atau penyeasalan merupakan imbangan manusia dari rahmat Tuhannya yang tak dapat diduga. Perlu diperhatikan disini bahwa kata yang sama taubah berarti bertaubat dari pihak Tuhan. Manusia menyeru kepada Tuhan dengan taubat, dan Tuhan melimpahkan kepada manusia dengan rahmat-Nya. Kebaikan dan rahmat Tuhan yang tanpa batas bahkan bagi mereka yang tidak beriman kepada-Nya karena terjerumus dalam godaan dosa yang sangat mengerikan. Jadi setiap yang beriman diperintahkan kembali kepada Tuhan melalui taubat yang tulus. Hal tersebut akan memungkinkan Tuhan mengampuni dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya, baik dengan sengaja atau tidak disengaja. Seseorang yang benar-benar telah bertaubat dengan sepenuh hati bahkan akan dibalas dengan pahala surga.
b.    Para Ahli Neraka
Para penghuni neraka terdiri dari mereka yang tidak memenuhi persyaratan sifat “positif” apapun, atau memiliki ciri-ciri yang secara langsung bertentangan dengan sifat-sifat yang baik. Kaum kafir akan dilemparkan ke api neraka sebagai balasan atas fusuq mereka. Yakni perilaku jelek mereka di dunia yang menentang firman Tuhan.
Empat macam dosa yang terutama menegaskan orang-orang yang berhak mendapat “ganjaran” siksaan yang amat pedih dalam neraka jahannam: (1) kufr, (2) tindakan yang merintangi orang berbuat yang baik menurut agama, (3) pelanggaran terhadap kehendak Tuhan, dan (4) meragukan kebenaran Tuhan dan berpaling kepada Tuhan yang lebih dari satu (politheisme).

7.      Struktur Inti konsep Kufr
Konsep kepercayaan atau keimanan, sebagai suatu nilai etiko religius tertinggi dalam al Qur’an, mungkin paling baik dianlisis tidak secara langsung tetapi dilihat dari sudut pandang kufr, yakni dari sisi negatifnya. Mengenai kufr telah banyak kita ketahui, karena telah sering dijelaskan tentangnya atau pengertiannya yang kompleks.
Kafir adalah orang yang setelah menerima kebajikan Tuhan tidak memperlihatkan rasa terima kasih dalam perilakunya, atau justru bersikap menentang akan rahmat yang diberikannya, menciptakan kebohongan terhadap Tuhan, Nabi-nabi-Nya, dan terhadap wahyu yang dikirimkan kepadanya. Dengan demikian kata kufr sangat sering digunakan sebagai lawan kata dari iman “percaya”. Kufr sebagi penolakan manusia terhadap al Khalik, mewujudkan dirinya dengan cara yang sangat khas dalam berbagai tindakan kesombongan, kecongkakan, kepongahan.
a.    Unsur yang menunjukkan rasa tak bersyukur dalam kufr
Pandangan sekular melihat kufr bukan sebagai suatu sikap manusia terhadap Tuhan, tetapi sebagai suatu hal yang sama sekali berbeda. Kufr dikemukakan sebagai suatu sikap yang benar-benar tidak mungkin bagi Tuhan untuk mengenakannya kepada manusia.
Sifat kufr manusia terutama menjadi jelas jika kita mengamati perilakunya pada saat mengalami kesukaran. Kata dasar tersebut muncul dalam bentuk kafur,  yang menurut al Baydawi, yang mengemukakan sikap yang melampaui batas dari kufr, dan menunjukkan tipe manusia yang melupakan semua kebajikan yang dinikmatinya, walaupun dia mengingat kesukaran sekecil apapun yang telah diterimanya.
b.    Kufr sebagai lawan dari iman
Asal kata KFR dalam al Qur’an secara semantik bersifat mendua yang berarti dapat digunakan dalam dua pengertian dasar: “tidak bersyukur” dan juga “tidak percaya”. Orang-orang kafir merupakan orang-orang yang sungguh-sungguh mendasarkan akal sehat dan bersikap masa bodoh dengan apa yang dinamakan wahyu.
c.    Hati orang kafir
Sebagai kebalikan dari suasana yang tenang dan tenteram ini, hati orang kafir seringkali digambarkan sebagai “mengeras seperti batu”. Qasat qulubuhum, hati mereka keras, atau telah membatu”, merupakan suatu perumpamaan bagi keadaan hati orang kafir yang dengan keras kepala menentang panggilan wahyu, sekalipun gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi-bumi jadi terbelah” (Ar Ra’d, 30/31). Karakterisitk kedua tentang hati orang kafir, adalah bahwa hati mereka “ditutupi” (fi akinnah), ada tabir pemisah (hijab) dengan wahyu. Orang kafir tidak dapat memetik keuntungan apapun dari agama yang diturunkan kepadanya. Mereka tetap buta dan tuli terhadap tanda-tanda Tuhan.

d.   Kufr dan syirk
Syirk tidak lebih dan tidak kurang sama dengan mengadakan kebohongan, yakni “mengadakan kebohongan terhadap Tuhan”, kemusyrikan politheisme akibat dari kemunculan arah “dari pada alasan-alasan yang jelas” yang sebenarnya hanya merupakan kebohongan belaka, dengan cara ini pula syirk sangat erat hubungannya dengan kufr.
e.    Hawa sebagai penyebab terjadinya dalal
Al Qur’n menyebutkan hawa (jamak ahwa’) sebagai penyebab utama dan perantara daripada dalal. Dia mengikuti hawa dalam hal-hal yang berkenaan dengan kepercayaan religius yang pasti menyimpang dari jalur yang benar. Dan mereka yang mengikuti orang yang mengikuti hawa’nya tak pelak lagi akan tersesat dari jalan Tuhan. Kata hawa’ itu berarti dapat dikatakan secara kasarnya, bersifat menyimpang dari jiwa manusia, yang lahir dari nafsu kebinatangan. Dalam konteks al Qur’an, kata tersebut selalu berarti suatu penyimpangan jahat yang besar kemungkinan menyesatkan manusia dari jalur yang benar. Maka dalam al Qur’an hawa’ merupakan pertentangan dari ‘ilm, “pengetahuan”, yakni memberikan pengetahuan tentang kebenaran.
f.     Sikap yang sombong
Unsur penting lainnya dalam struktur semantik dari konsep kufr adalah “kesombongan” atau “ keangkuhan”. “Kesombongan” pada sisi positifnya, bertentangan  dengan “kepercayaan” (iman), mereka yang “sombong” tidak dapat “meyakini”, dan sebaliknya orang yang tidak mempercayai “tanda-tanda” kekuasaan Tuhan berarti menunjukkan sifat yang sombong”. Berbagai aspek yang menyangkut gejala yang berkenaan dengan kesombongan manusia terhadap Allah:
1.      Bagha, perbuatan yang melanggar aturan yang berlaku dan tidak bijaksana terhadap orang lain, yang muncul akibat kesombongan diri.
2.      Batira, bersuka ria secara berlebih-lebihan, bersuka ria dengan cara demikian dapat menimbulkan sikap keangkaraan dan kesombongan.
3.      ‘Ata, keangkuhan dan diluar batas, menunjukkan sikap tinggi hati.
4.      Tagha, orang yang menekankan tanpa memperhatikan aturan dan terutama sekali tanpa menghiraukan petimbangan-pertimbangan agama dan moral, yang tidak menghendaki apapun yang menghalanginya dan keyakinan yang tidak terbatas kepada kemampuan dirinya.
5.      Istaghna’, membanggakan kekayaan yang dimiliki seseorang dan konsekuensinya “meyakini ketidakterbatasan akan kemampuan diri seseorang.
6.      Jabbar, menyatakan dirinya berada pada suatu tingkatan tertentu, menganggap dirinya cukup “kaya” dan mapan sehingga biasanya cenderung ingin menguasai pihak lain.
g.    Memperolok-olok wahyu
Pengungkapan paling lazim dari olok-olok ini dalam al Qur’an adalah ittikhadha huzu’an yang keduanya berasal dari kata dasar HZ.
h.    Suka membantah
Orang-orang kafir bersikap skeptis dan rasionalistis, mereka tidak mudah tunduk kepada firman-firman Tuhan yang dibawa oleh nabi, jika mereka menganggap kata-kata yang disampaikan tersebut bertentangan dengan apa yang dianggap benar oleh akal sehatnya. Oleh karena itu mereka cenderung terjerumus dalam “perbantahan” mengenai Tuhan dan misi kenabian Muhammad.

8.      Kufr dalam Bidang Semantik
a.    Fasiq
Siapa saja yang ingkar pada perintah tuhan dengan cara apapun dapat disebut fasiq, fasiq bersinonim dengan kafir, salah satu ayat yang menunjukkan bahwa kufr dan fisq memiliki arti yang persis sama: “dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar (yakhfuru), melainkan orang yang fasiq (fasiiqun, bentuk jamak dari kata fasiq)
b.    Fajir
Orang yang berperilaku buruk tetapi dia masih menjadi anggota masyarakat muslim
c.    Zalim
Bertingkah laku dengan cara tertentu hingga melampaui batas dan melanggar hak orang lain
d.   Mu’tadi
Seseorang yang melakukan sesuatu  yang melampaui batas yang diakui secara umum, yang bertindak agresif dan tidak adil terhadap orang lain.
e.    Musrif
Melampaui batasan yang seharusnya, menunjukkan sikap yang berlebih-lebihan.

9.      Kemunafikan religius
Pengakuan keimanan hanya di mulut saja padahal hatinya tidak beriman, tidk ada keselarasan antara perkataan dan perbuatan dalam hal yang berkenaan dengan keimanan religius yang merupakan salah satu gambaran yang khas dari fisq.
10.  Orang yang beriman
Inti dari sifat-sifat moral yang positif”percaya” merupakan sumber dan pencipta nilai-nilai keislaman yang sebenarnya, dan tidak ada nilai yang mungkin ada dalam Islam yang tidak berdasarkan kepada kepercayaan yang sungguh-sungguh kepada Tuhan dan wahyu-Nya.
Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah, gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya (haqqan). (al Anfaal, 2-4)

Defenisi verbal ini memperlihatkan bahwa “orang yang beriman dalam arti kata yang sesungguhnya” adalah orang yang benar-benar taat, yang hatinya senantiasa menyebut nama Allah sehingga mampu menimbulkan rasa kagum yang sangat kuat, dan yang sepanjang hidupnya ditentukan oleh suasana hati ketaatan yang mendalam.
Sifat yang fundamental dari perasaan berdosa dan kekhusukan terhadap Tuhan,  kepasrahan yang sepenuhnya terhadap kehendak Tuhan, rasa syukur yang diungkapkan dengan tulus terhadap rahmat yang diterima dari-Nya, semua unsur ini mencirikan keimanan Islam yang paling tinggi yang terwujud dalam perbuatan baik (salihat).
C.     PENUTUP
Buku ini secara keseluruhan materinya berdasarkan ide-ide fundamental yang masing-masing sistem linguistiknya – bahasa Arab dan bahasa Arab al Qur’an – mewakili sekelompok konsep yang sederajat. Jadi bahasa  Arab al Qur’an sesuai dengan, secara kolektif, yang dapat kita namakan dengan wawasan al Qur’an, yang di dalamnya terdapat wawasan yang lebih luas yang dipersempit oleh bahasa Arab Klasik. Dengan cara yang persis sama, bahasa etika dalam al Qur’an hanya mengungkapkan suatu bagian dari keseluruhan wawasan al Qur’an.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar