Rabu, 16 November 2011

SIKAP INTELEKTUAL ISLAM TERHADAP ORIENTALIS (MAKALAH)


A.    PENDAHULUAN
Citra Barat yang negatif terhadap Islam, sangat diwarnai oleh permusuhan yang mendalam antara Barat dan Islam, yang diwarnai dengan kekalahannya di bidang politik pada masa zaman keemasan Islam dibawah bendera Turki Utsmani yang kemudian disusul oleh kejatuhan kota Andrianopel ketangan Turki Utsmani tahun 1366 diikuti Konstantinopel (ibu kota Byzantium) ke tangan umat Islam tahun 1453.[1]
Kajian tentang Timur (orient) termasuk tentang Islam, yang dilakukan oleh orang Barat telah bermula sejak beberapa abad yang lalu. Namun gerakan pengkajian ketimuran ini diberi nama orientalisme baru abad ke 18.[2]
Mengapa Barat tertarik mengkaji Timur dan Islam, mempunyai latar belakang sejarah panjang yang kompleks. Pertama adalah motif keagamaan. Barat yang disatu sisi mewakili Kristen memandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrinnya. Islam yang misinya menyempurnakan millah sebelumnya tentu banyak melontarkan koreksi terhadap agama itu. Itulah Islam dianggap “menabur angin” dan lalu menuai badai perseteruan dengan Kristen. Seorang intelektual atau cendekiawan berbeda dengan masyarakat umum. Sebagai seorang yang cerdik dan pandai, ia memiliki sikap mental dan kesadaran sosial yang tinggi untuk melakukan perubahan-perubahan konstruktif di tengah-tengah masyarakat. Tetapi, tidak mustahil pula jika mentalitas luhur seorang intelektual atau cendekiawan berubah menjadi abdi (hamba sahaya) kekuasaan yang justru kerap kali memenjarakan rakyat.
Terlepas dari perbedaan perspektif dalam memahami makna intelektual, kelompok cerdik, pandai dan terdidik ini meminjam definisi Seymour Martin Lipset, adalah mereka yang 'menciptakan, menyebarluaskan dan menjalankan kebudayaan'. Kelompok ini semestinya menjadi kreator, distributor, dan eksekutor proyek-proyek pembangunan dan pengembangan kebudayaan. Menurut Burhan Ghalyun, pemimpin muslim asal Syiria, seorang intelektual adalah pekerja sosial yang menggerakkan masyarakat secara dinamis.[3]
Islam bagi Barat adalah peradaban yang dimasa lalu telah tersebar dan menguasai peradaban dunia dengan begitu cepat. Barat sebagai peradaban yang baru bangkit dari kegelapan melihat Islam sebagai ancaman besar dan langsung bagi kekuasaan politik dan agama mereka. Barat sadar benar bahwa Islam bukan hanya sekedar istana-istana megah, bala tentara yang gagah berani atau bangunan-bangunan monumental, tapi peradaban yang memiki khazanah dan tradisi ilmu pengetahuan yang tinggi. Oleh sebab itu mereka perlu merebut khazanah ini untuk kemajuan mereka dan sekaligus untuk menaklukkan Islam. Sudah tentu itu semua dilakukan dengan cara-cara yang tidak fair. Motif politik ini kemudian berkembang menjadi motif bisnis atau perdagangan yang kemudian menjadi kolonialisme.
Bahkan tidak sedikit yang menulis bahwa Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi, dsb yang kesemuanya itu diambil dari doktrin kagamaan yang dibawanya.[4]Kajian Islam yang dilakukan para orientalis seringkali dipandang oleh kalangan Muslim tidak untuk memahami Islam secara benar, tetapi untuk mendeskreditkannya.

B.     PEMBAHASAN
Orientalisme atau kajian ketimuran, secara terminologis biasanya identik dengan paradigma berpikir. Atau lebih tepatnya pengkajian terhadap peradaban masyarakat timur secara umum, dan peradaban Islam dan masyarakat Arab secara khusus. Pada mulanya wilayah kajian orientalisme hanya terbatas pada kajian keislaman, peradaban Islam, bahasa dan sastra Arab. Kemudian wilayah kajian ini meluas dan mencakup seluruh aspek kajian ketimuran (The Orient), yakni mulai dari aspek bahasa ketimuran, agama-agama timur, adat istiadat, hingga budaya ketimuran. Fokus utama kajian orientalis adalah agama Islam dan bahasa Arab, karena keduanya merupakan faktor terbesar dari ketertarikan orientalis dan menggambarkan kontroversi gagasan, politik, teologi yang mewarnai kehidupan masa kini.[5]
Para orientalis umumnya adalah keturunan Yahudi, Nasrani dan setiap orang yang mengikuti jejak dan terinspirasi oleh mereka, yaitu generasi non-Yahudi dan non-Nasrani, termasuk kaum muslimin yang kebarat-baratan (westernist), yang keluar dari agama  Islam karena sependapat dengan gagasan dan ide-ide orientalis.
Oreintalisme merupakan bagian integral dari gerakan misionaris dan imperialisme kolonialisme. Keduanya – misionari dan imperialisme  merupakan bagian dari perang salib kontemporer dengan pola-pola modern yang menjadikan perang gagasan dan ide (al ghazwul al fikr) sebagai bentuk lain dari perang materialistik. Sikap ini merupakan strategi alternatif dari sistem militeristik dan imperialisme kolonialis yang secara resmi melakukan obligasi dan mengingkari kebenaran.[6]
Orientalisme awal mulanya didirikan oleh para pastor, pendeta, misionaris dan penginjil yang kemudian berlanjut kepada imperialisme dan kolonialisme guna menciptakan kapitalisme pemikiran sebagai bentuk penginjilan (misionari), dan menciptakan kekuatan pedang sebagai bentuk pola-pola misionarisme kolonialisme.[7]
Orientalisme muncul kepermukaan adalah bertaut rapat dengan latar belakang psiko-historis. Islam pada abad-abad lampau itu dicurigai, ditakuti, tapi diam-diam juga dicemburui dan dikagumi. Iklim bathiniah yang hamir mirip juga diidap oleh umat Islam setelah mereka menjadi umat yang kalah sejak sekitar empat abad yang lalu. Kajian orientalis akan berlangsung secara damai dan aman-aman saja manakala mereka berhadapan dengan Budhisme dan Hinduisme, sebab kedua warisan spiritual ini tidak pernah menggugat ego supremasi Barat. Islam bukan saja pernah menggugat, tapi juga memberi alternatif peradaban yang lebih ramah dan manusiawi. Barat baru belakangan ini saja mau mengakui fakta ini, dan itupun masih terbatas di kalangan ilmuwan tertentu. Mayoritas mutlak orang Barat sampai hari ini belum kenal Islam, kecuali sebagai kekuatan enigmatis dan teroris.[8]
Begitu besarnya perhatian Barat terhadap Timur khususnya Timur Islam, hingga menurut Edward W. Said dalam karyanya Oreintalisme, orisinilitas geneologis Sacy adalah bahwa ia telah memperlakukan Timur sebagai sesuatu yang harus dipugar, bukan hanya karena, tetapi juga walaupun dengan adanya kekacauan Timur modern dan kehadirannya yang sulit ditangkap. Sacy menempatkan orang-orang Arab Timur dalam tablo umum pengetahuan modern. Dari sini pula muncul asumsi bahwa orientalisme merupakan hak milik kecendikiaan Eropa meskipun bahan bakunya terlebih dahulu harus diciptakan kembali oleh sang orientalis sebelum ia naik panggung dan berjajar dengan Latinisme dan Hellenisme. Setiap orientalis menciptkan kembali “Timur-nya masing-masing” berdasarkan hukum-hukum dasar epistemologis untung-rugi yang untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Sacy.[9]
Orientalis lalu beranjak pada pernyataan bahwa agama Islam dan dakwah Islamiah adalah agama padang pasir yang tidak selaras dengan kehidupan civil society di era teknologi. Maksud dari perkataan ini adalah pencapaian hasil-hasil yang menyesatkan, yaitu bahwa sebab dikotomi antara Timur dan negara Islam dalam bentuknya yang spesifik adalah mempertahankan agama padang pasir yang nilai-nilai keagamaannya telah terealisasikan pada masa silam namun tidak relevan lagi pada masa kini (kontemporer).
Namun meski sering terkait dengan Islam dan kaum muslimin, Muthabaqani segera menambahkan, orientalisme tetap mengkaji bangsa-bangsa timur secara umum, seperti bangsa India, Asia Timur, Cina, Jepang dan Korea. Jadi, orientalisme memang tidak hanya mengkaji Islam dan kaum muslimin. Yang menarik dari definisi orientalisme Muthabaqani,[10] beliau memasukkan karya intelektual muslim yang dipengaruhi oleh orientalis, sebagai kegiatan orientalisme.
Ketika para orientalis mengutarakan berbagai pandangan seperti yang dipaparkan Mac Donald bahwa Islam akan menghadapi ancaman kepunahan, karena Islam tidak akan mampu menghalangi proses benturan dengan keperkasaan peradaban Barat, mereka sebenarnya tidak membicarakan apa yang disebut dengan subjek empiris kajian mereka, mereka sedang mengekspresikan harapan dan kekecewaan mereka sendiri. Harapan bahwa orang-orang dan masyarakat yang sedang mereka cari benar-benar eksis, dan kekecewaan anggota-anggota yang hidup ada dalam masyarakat tersebut.[11]
Manipulasi berbagai isu dalam beberapa karya orientalis mengantarkan mereka kepada pemetaan masyarakat muslim kedalam bererapa golongan, firqah dan kelompok, kemudian mereka menjadikannya sebagai solusi atas terjadinya skeptisisme. Sebagaimana dijadikannya mazhab-mazhab tharikat sebagai jalan berinteraksi dengan tasawuf yang biasanya diarahkan pada pola-pola praktek kependetaan dan pasrah diri. Mereka mengatakan bahwa tasawuf merupakan faktor utama penyebaran Islam. Tujuan dengan digalangnya propaganda tasawuf dan jalur-jalur sufi adalah mencegah kaum muslim melakukan jihad, terjadinya kemandekan wacana dan dan pemberangusan gerakan intelektual.[12]
Islam merupakan agama samawi terakhir yang diturunkan Allah kepada manusia melalui utusan terakhir-Nya Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi dan rasul, hal ini menjadikan ajaran Islam sebagai agama paripurna yang menyempurnakan segala aturan dari agama-agama samawi sebelumnya.
Kedatangan agama Islam yang didakwahkan Nabi Muhammad menampakkan kilaunya setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah dan seruannya diterima dengan baik di sana, cahaya Islam mulai menyala dan dalam waktu yang singkat menerangi kegelapan di jazirah Arabia, bahkan lambat laun menerangi daerah-daerah sekitarnya sehingga pada masa itu Madinah telah menjelma menjadi sebuah negara besar dengan seorang pemimpin besar tak kalah besarnya dengan Imperium Rumawi di Barat dan Imperium Persia di Timur.
Sebelum disampaikan paparan tentang kajian Islam yang dilakukan oleh para orientalis, perlu dibahas dengan ringkas relasi Barat-Islam yang terbentuk dari hasil interaksi sosial antara kaum imigran Muslim dengan penduduk lokal di negara-negara Barat. Paparan seperti itu dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa hubungan sosial Barat-Islam dalam suasana saling menghargai di negara non-Muslim adalah sebuah keniscayaan. Seperti diketahui bahwa Islam sudah menjadi sebuah fenomena sosial di negara-negara Barat. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Dr. H. Suaidi Asy’ari pada kuliah Pasca Sarjana IAIN STS Jambi semester I jurusan PAFI pada mata kuliah Orientalisme dan Oksidentalisme bahwasanya pada saat ini Barat tidak lagi memandang Islam sebagai suatu kajian yang mendiskreditkan Islam seperti yang terjadi pada waktu sebelumnya melainkan Barat saat ini menerima Islam dan mereka perduli terhadap pendidikan agama dan institusi-institusi baru ini terbuka untuk komunitas ilmiah.
Kajian Islam (Islamic Studies) merupakan disiplin modern yang sudah berusia sangat tua. Di masa lampau kajian Islam berasal dari tradisi panjang kaum muslim untuk membangun kesarjanaan guna memahami agama mereka sendiri.[13] Dalam memahami Islam, harus ditinjau dari dua aspek pokok yang saling berkaitan, yakni : pertama, aspek tekstual berupa aturan-aturan Islam secara normatif yang termuat dalam al-Qur’an dan Hadits yang keberadaannya absolut, aspek ini lazim disebut Islam normatif; kedua, aspek kontekstual berupa penerapan secara praktis dari Islam normatif yang diambil dari upaya penggalian terhadap nilai-nilai normatif melalui berbagai pendekatan di berbagai bidang yang melahirkan berbagai disiplin ilmu, antara lain ilmu tafsir, hadits, fiqh, ushul al-fiqh, kalam, tasawwuf  dan lain-lain yang keberadaannya masih bersifat relatif, aspek ini lazim juga disebut Islam historis atau budaya umat Islam.
Pemikiran kaum intelektual Islam fundamentalis dan pemikiran sebagian besar masyarakat muslim biasa (awam) masih didominasi oleh pandangan dunia (world view) dan citra Islam Tradisonal. Ini fakta yang sangat penting di zaman sekarang ketika pengaruh Islam semakin meningkat di seluruh dunia. Hal ini berarti bahwa terhadap masalah-masalah kontemporer, cara pandang kaum muslimin dapat berbeda dengan cara pandang para pengamat dan negarawan Barat. Seorang intelektual muslim terkemuka, Mohammed Arkoun menekankan masalah ini dengan menggunakan tiga kategori, yaitu: yang dapat dipikirkan, yang tidak dapat dipikirkan, dan yang tak terpikirkan (pensable, impensable, impense).[14]
Kita kaum intelektual harus senantiasa berhati-hati dalam menjaga sikap dasar kita, yaitu: a posteriori dan single standard. Terutama bagi kita kaum intelektual yang pernah dibesarkan dalam lingkungan sosio-kultural Islam. Ketajaman kritik kita terhadap umat berhubungan dengan general attitude-nya, jangan sampai menjerumuskan kita pada sikap a priori salah dalam menghadapi suatu masalah, sebagaimana kita juga menjauhkan diri dari sikap a priori membenarkan mereka. Kita harus benar-benar bisa menjauhkan diri dari nilai ganda (double standard), nilai ganda yang memihak umat Islam ataupun nilai ganda yang memihak bukan Islam.
Ada baiknya kita ingat bahwa mengucapkan asslamu’alaikum tidak terus berarti Islam; mengaji yang keras, sehingga didengar orang banyak tidak terus berarti Islam; menulis dengan huruf Arab tidak terus berarti Islam; sok ikhlas, sok khusyu' tidak terus berarti Islam; mengobral ayat-ayat Al-Quran tidak terus berarti Islam; pidato pakai shalawat tidak terus berarti Islam. Demikian pula; menyerang gadis pakai kerudung tidak terus berarti modern; meremehkan pentingnya sholat tidak terus berarti modern; membela atheisme tidak terus berarti modern; menolak formalitas tidak terus berarti modern; mengkritik umat Islam tidak terus berarti modern; membela orang-orang berdansa tidak terus lalu berarti modern.
Hal-hal tersebut di atas perlu dijaga agar kita jangan terjerumus pada sikap keislam-islaman atau kemodern-modernan. Yang demikian itu sama sekali tidak berarti saya a priori tidak membenarkan orang yang selalu mengucapkan salam, menulis Arab, mengobral ayat dan lain-lainnya. Demikian juga tidak berarti bahwa saya tidak membenarkan orang yang menyerang gadis berkerudung, menyerang umat Islam, menolak formalitas dan lain-lain. Ini penting dalam pembinaan berpikir bebas, membebaskan diri kita dari tirani dalam diri kita sendiri. Kita harus berani membebaskan diri dari dua tirani yang berdempet, yakni: 1. Tirani kesombongan: sok Islam tulen, sok ikhlas, sok modern, sok intelektual, sok moralis, sok suci, dan lain sebagainya; 2. Tirani ketakutan: konservatif, atheis, kolot, kafir, Mu'tazilat, disorientasi, lemah ideologi, imannya diragukan, sekularis, kebarat-baratan, dan lain-lainnya.
Masuknya sains modern ke dalam dunia Islam pada permulaan abad ke-19 diiringi bermacam-macam reaksi. Namun demikian, kandungan filosofisnyalah, dan bukan oleh sains modern itu sendiri, yang mempengaruhi pandangan-pandangan kaum intelektual Muslim. Karena itu, kita bisa mendengar sikap yang berbeda-beda di seantero dunia Islam. Di sini kita dapat membagi reaksi kaum intelektual tersebut ke dalam empat aliran besar:
(1)   Kelompok minoritas ulama yang enggan bersentuhan dengan sains modern, karena menganggap sains modern bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bagi mereka, masyarakat Islam harus mengikuti ajaran Islam dengan ketat dan mengharuskan umat Islam memiliki sainsnya sendiri.
(2)   Kelompok intelektual Islam yang mengadopsi habis-habisan sains modern dan mengkampanyekan pandangan dunia yang bersifat empiris. Menurut mereka, menguasai sains modern merupakan satu-satunya solusi untuk melepaskan dunia Islam dari stagnasi. Mereka memandang sains modern sebagai satu-satunya sumber pencerahan yang sejati.
(3)   Sejumlah ilmuan Muslim yang mengakui peran sentral sains modern terhadap kemajuan Barat dan menganjurkan asimilasi sains modern, meskipun tetap menaruh perhatian terhadap masalah-masalah keagamaan.
(4)   Terakhir, para filsuf Islam yang membedakan antara penemuan sains modern dengan pandangan filosofis sains modern tesrebut. Karena itu, meskipun mereka menganjurkan pencarian rahasia-rahasia semesta melalui ekperimentasi dan teori-teori ilmiah, mereka juga bersifat kritis terhadap berbagai penafsiran empiristik dan materialistik yang mengatasnamakan sains. Dalam pandangan mereka, pengetahuan ilmiah memang dapat mengungkapkan beberapa aspek dunia fisik, namun sains saja per se, tidak dapat memberikan gambaran sempurna tentang realitas. Sains harus dikombinasikan dengan pandang dunia Islam agar memperoleh gambaran komprehensif mengenai realitas.[15]
Penerimaan manusia terhadap otoritas Al Quran dan sunnah rasul sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan akan memberikan sinergitas bagi kerja-kerja akal serta memberikan kontribusi bagi proses pengayaan dan pembentukan pola berpikir. Al Quran merupakan kitab suci yang memiliki keragaman tema pembahasan yang menyangkut persoalan-persoalan yang berkenaan dengan kehidupan manusia. Al Quran mengandung muatan semangat intelektual dan metodologi yang komprehensif dalam menganalisis realitas dan problematika kehidupan manusia.
Islam (yang saya percaya bahwa adalah agama yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad SAW), adalah konstruksi keyakinan yang dibangun berdasarkan pendekatan intelektualitas berbasis pandangan yang rasional-filosofis. Oleh karena itu, superioritas akal mestilah dihargai, namun di sisi lain otoritas wahyu sebagai firman suci Ilahi sangat dihormati. ”Berpikir bebas” merupakan perwujudan dari pola pikir Qur’ani. Karena, tanpa pendekatan intelektual, Islam hanya akan menjadi sekumpulan doktrin yang bersifat kaku dan statis. Padahal, sejatinya Islam adalah agama yang sangat dinamis dan bersinergi dengan nalar sehat manusia.
Penerimaan otoritas Al Quran dan sabda nabi, akan membangkitkan akal dalam proses pengayaan dan pembangunan pola pikir, paradigma, dan epistemologi yang alami. Dengan kata lain, untaian doktrin yang termaktub dalam Al Quran dan hadis sangat berkesesuaian dengan alur nalar manusia yang rasional. Hal ini diyakini karena khasanah tema-tema pembahasan dalam Al Quran sangat beragam dan luas, memiliki alur logika, semangat dan metodologi yang komprehensif. Karena pijakan inilah, sebagai umat Islam, kita senantiasa harus bersikap kritis dan evaluatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang ada.
Ilmuisasi Islam mesti dipahami sebagai upaya untuk ”membingkai” universalitas Islam dalam sebuah skema konseptual, tata nilai, dan sikap hidup. Sebagai sebuah ”upaya”, maka proses ini mesti pula dipahami sebagai sebuah proses untuk memahami Islam dan mengkontekskannya dengan kondisi zaman yang berkembang. Oleh karena itu, pilihan terhadap pendekatan intelektual dalam memahami Islam menjadi sebuah perangkat epistemologis dan metodologis menjadi sebuah keniscayaan logis.
Secara normatif, pilihan epistemik (dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan)[16] yang menjadikan pendekatan dan tema intelektualitas sebagai basis epistemik dalam mengilmui Islam didasarkan pada firman Allah swt dalam Al Quran surat surat al-Isra ayat 36, yang berbunyi:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabannya (QS; 17: 36)[17]
Kerangka paradigma epistemik  ini menawarkan sebuah bentuk konsepsi dan keyakinan tentang Islam yang unik, menarik, dan holistik. Yaitu Islam yang dibangun di atas basis-basis teoritik yang ditelaah dalam kerangka rasional filosofis. Pilihan pada konstruk epistemologi rasional dalam memahami Islam, telah melahirkan keyakinan yang kuat akan superioritas Islam sebagai sebuah ajaran yang cakupannya melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Penerimaan terhadap Islam sebagai ajaran yang holistik, selain membawa implikasi intelektual, juga menuntut ketaatan yang maksimal pada seluruh ajaran Islam. Dan di saat yang sama melahirkan kesadaran untuk selalu bersikap kritis pada berbagai paham yang berkembang.
Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambah teks dalam al-Qur’an maupun teks dalam Hadits, melainkan hanya mengubah atau menyesuaikan paham atas keduanya sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dilakukan karena bagaimanapun hebatnya paham-paham yang dihasiilakan oleh para ulama atau pakar terdahulu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecendrungan ilmu pengetahuan, situasi sosial, dan lain sebagainya. Paham-paham tersebut mungkin masih banyak yang relevan dan masih dapat digunakan, tetapi mungkin banyak yang tidak sesuai lagi.
Selain itu pembaharuan dalam Islam dapat juga berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang terdapat di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki al-Qur’an dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Al-Qur’an misalnya mendorong umat agar menguasai pengetahuan modern serta teknologi secara seimbang, hidup bersatu rukun dan damai, bersikap dinamis, mencintai kebersihan dan lain sebagainya. Namun kenyataan ummat menunjukkan keadaan yang berbeda, sebagian besar ummat Islam hanya menguasai pengetahuan agama sedangkan ilmu pengetahuan modern tidak dikuasainya, hidup dalam keadaan pertentangan dan peperangan, bersikap diktator, kurang menghargai waktu dan lain sebagainya. Sikap dan pandangan hidup ummat demikian jelas tidak sejalan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, hal demikian harus diperbaharui dengn jalan kembali kepada dua sumber ajaran Islam yang utama itu. Dengan demikian, maka pembaharuan Islam mengandung maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup ummat agar sejalan dengan petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah.
Nurcholish Madjid dalam orasi peluncuran Ensiklopedi Islam untuk Pelajar pada awal September 2001 menyatakan, bangsa Indonesia – tegasnya umat Islam – baru menjadi konsumen, belum produsen. Menurut Cak Nur, kehadiran Islam yang relatif baru di Indonesia dibandingkan dengan negara lain, ditambah dengan lemahnya tradisi membaca, telah mengakibatkan bangsa ini dalam soal tradisi dan budaya, baru menjadi konsumen, belum produsen. Akibat lebih lanjut dari keadaan itu, intelectual content pada bangsa ini amat rendah dan jarang bisa menghasilkan karya bermutu.[18]
Secara ringkas, teori Taufik Abdullah tentang gelombang-gelombang dinamika sosial dan intelektual itu terdiri dari; pertama, gelombang penyebaran awal Islam di nusantara ketika Islam telah “lulus ujian” menghadapi pemikiran Persia, Hellenisme, India, dan lain-lain. Gelombang ini disebut Taufik Abdullah sebagai “dunia fana yang kosmopolitan”. Gelombang kedua, ketika Islam semakin menyebar dengan membawa pemikiran ortodoksi sehingga menghasilkan apa yang disebutnya sebagai “Islamisasi realitas”. Ketiga, gelombang akselerasi ortodoksi khususnya melalui “proses ortodoksi fikih”. Keempat, gelombang modernisasi dengan intelektualisme bercorak politis dan pan-Islamis, dan kelima, gelombang neo-modernisme kontemporer.[19]
Kaitan dengan misi agama yang dibawa oleh setiap agama wahyu, yang dibebankan kepada penganutnya masing-masing, Nurcholish Madjid menegaskan hal tersebut harus diberlakukan dengan semangat saling menghormati, menghargai dan toleransi. Menurutnya Nabi telah menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah adalah al hanafiyah al samhah, yaitu semangat mencari kebenaran yang lapang, toleransi, tidak sempit, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.[20]
Dalam kaitan ini, Nurcholish Madjid mengatakan harus mengintegrasikan nilai-nilai universal tersebut dengan sinaran situasi nyata ruang dan waktu yang partikular. Baginya, keyakinan bahwa Islam adalah ajaran yang universal, termasuk menjadi inti dari agama-agama, membawa implikasi bahwa ia dapat diberlakukan kepada semua tempat dan waktu. Kebenaran dapat ditemukan kepada setiap bangsa dan masa, kapan saja dimana saja.[21] Memandang penting untuk meletakkan sisi-sisi keuniversalan ajaran dalam kerangka dialog kultural dengan situasi dimana ia termanifestasikan oleh pemeluknya. Suatu kenyataan akan muncul ekspresi dan manifestasi keberagaman seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat yang beragam atau bervariasi sejalan dengan budaya dan watak manusia yang menerimanya.[22]
Dalam mewujudkan obsesinya, Hasan Hanafi mengawali wacananya dengan pembahasan metode-metode dasar tentang pemikiran sosio-legal dalam Islam, seperti terangkum dalam karyanya, Les method’s d’exegeses: Essai sur la science des fondement de la comprehension ‘ilm ushul al fiqh (1965). Dalam pembahasannya mengenai subyek ini ia menggunakan perspektif yang menggabungkan antara tafsir (makna tersurat/eksoteris) dan ta’wil (makna tersirat/esoteris) al Qur’an dengan pendekatan-pendekatan kontemporer dalam analisis-analisis filosofis. Seperti dikutip Esposito dan Voll (2001:76), Hasan Hanafi menggambarkan karyanya ini sebagai usaha untuk “merekonstruksi budaya Islam pada tingkat kesadaran dalam rangka menemukan subyektivitas… karya ini memberikan metode untuk menganalisis pengalaman-pengalaman yang hidup, dan menggambarkan proses-proses pseudo-morfologi linguistik”.[23]
Di Indonesia misalnya, sebagai suatu bangsa yang mempunyai tingkat heterogenitas tertinggi secara fisik (negara kepulauan) maupun dalam soal keragaman suku, bahasa, daerah, agama, dan adat istiadat, maka dengan sendirinya manifestasi dan ekspresi keberagamannya bervariasi sejaln dengan kondisi beragamnya budaya yang ada. Muncul antara yang kebarat-baratan, kearab-araban dan ketradisian-tradisian sebagai sesuatu yang sulit dihindari. Persoalannya apakah ekspresi dan manifestasi keberagaman yang merupakan hasil dialog kultural antara keuniversalan Islam dengan kekhasan suatu kawasan itu absah atau tidak, dan seberapa jauh tingkat keberlakuannya. Haruskah dianggap sebagai ekspresi dan manifestasi keagamaan yang serta merta mesti bernilai mutlak sehingga mesti pula berlaku di semua tempat.[24]
Nilai keberlakuan sebuah manifestasi atau ekspresi keagamaan tidaklah mutlak, tetapi diletakkan seberapa kuat relevansinya dengan tuntutan zaman dan tempat. Karena itu, dimungkinkan upaya meningkatkan atau mengubahnya atau menggantikannya sama sekali, dalam semangat kesadaran dan kenisbian spasial dan temporalnya ruang dan waktu. Ini menggambarkan apa yang disebut Nurcholish Madjid sebagai adanya suatu kontinuitas dan kezamanan (al Shalah wa al Mu’asharah), sekaligus tuntutan untuk senantiasa belajar dari masa lalu dalam rangka mempertahankan mana saja unsur-unsur positif dan membuang unsur-unsur negatif, kemudian menggunakannya untuk meningkatkan kecakapan mengambil apa saja unsur-unsur yang lebih baik dari masa kini dan masa depan yang diperkirakan. Dengan begitu, suatu pandangan memiliki tidak saja keabsahan yang diperlukan sebagai sumber dinamika pengembangannya tapi juga keterkaitan dengan tuntutan nyata menurut perkembangan zaman. Dan hanya dengan begitu Nurcholish Madjid, mengklaim tentang suatu sistem ajaran seperti Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan cocok untuk segala zaman dan tempat (shahih li kulli zaman wa makan).[25]
Dalam kirab suci juga disebutkan bahwa perbedaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit, harus diterima sebagai kenyataan yang positif, yang merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah.[26] Kesatuan asal umat manusia itu digambarkan dalam firman Allah “Tiadalah manusia itu melainkan semula umat yang tunggal kemudian mereka berselisih”.[27]

C.     Penutup
Islam adalah nama agama yang lahir dari sebab turunnya wahyu Ilahi kepada Nabi Muhammad saw, yang kemudian disebarkan dan difahami oleh akal dan intuisi manusia. Islam kemudian berkembang menjadi sebuah peradaban baru dengan struktur konseptualnya yang kokoh dan universal.
Bila kita telusuri lebih jauh tentang usaha-usaha orientalis yang menimbulkan kekacauan persepsi orang terhadap Islam, seperti menimbulkan kesangsian terhadap kerasulan Nabi Muhammad SAW, kebenaran al Qur’an sebagai wahyu Allah, kesamawian agama Islam, kebenaran hadits, keagungan fiqh Islam, dan kemampuan bahasa Arab, maka pada hakekatnya tidak terlepas dari tujuan ganda mereka: tujuan keagamaan (religi) dan tujuan penjajahan (imperial), yaitu ingin mencabut akar-akar umat Islam dari dada umat Islam sesuai dengan misi agama mereka.
Ketundukan pada aspek normatifitas Islam, didasarkan pada pendekatan intelektualitas dalam memahami Islam. Dengan kata lain, bersikap normatif merupakan konsekuensi logis dari pandangan intelektual. Atau, ”sikap normatif merupakan keniscayaan intelektual dan pandangan intelektual merupakan landasan dari pilihan hidup normatif”.
Secara epistemik keilmuan Islam berkarakteristik intelektual serta secara praksis implementasi ajaran Islam sangat menekankan aspek normatifitas Islam sebagai sikap hidup. Yaitu, pendekatan intelektual dalam memahami Islam, serta secara praksis diwujudkan dengan implementasi fiqh dan penekanan pada doktrin moralitas (akhlak) Islam yang sangat ketat pada seluruh aspek kehidupan.
Adalah sebuah kenyataan jika pada masa klasik para orientalis kebanyakan dari mereka tidak objektif dalam memandang pribadi Muhammad, karena memang bekas-bekas permusuhan dan kebencian terhadap Islam semenjak perang salib masih tetap tertanam di dada mereka.
Pada era dimana peradaban modern-sekular mencengkeram negeri-negeri muslim dengan kokohnya, Islamisasi pengetahuan sebagai fenomena proses pencarian identitas muslim di tengah kegalauan modernitas terus menjadi perdebatan panjang di kalangan intelektual muslim. Bukan persoalan ilmu Barat atau Arab, atau kebiasaan umat Islam yang sering melihat pada sisi “kita dan mereka”, tapi ada kesadaran dan kakuatan baru dikalangan intelektual muslim untuk merekonstruksi basis keilmuan yang selama ini diterima dari dunia Barat yang diasumsikan bersumber dari landasan yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan dan agama. Di sisi lainnya, kita sebagai intelektual muslim harus memandang bahwa masih banyak hal lain yang lebih penting dari sekedar merumuskan basis keilmuan Islam, karena darimana pun sumber ilmu tersebut, dia akan berproses dan dimodifikasi oleh masyarakat itu sendiri sesuai dengan nilai-nilai yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

 Azra, Azyumardi, 2002, Konflik Baru Antar Peradaban (Globalisasi, Radikalisme, & Pluralitas), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
 Depag RI, 2006, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Maghfiroh
 Detik. Com, Krisis Intelektual Islam, Selingkuh Kaum Cendekiawan dengan Kekuasaan Politik, posting by Internet. http://m.detik.com/read/2010/08/27/183739/1429788/987/krisis-intelektual-islam.
 Hamzah, Alirman, 2003, Citra Islam di Mata Barat (Sejarah dan Perkembangan Orientalisme), Padang : Suryani Indah.
 Ma’arif, A. Syafi’i, 1994, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung : Mizan, cet-II.
 Madjid, Nurcholish, 1993, Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang, Ulumul Qur’an, No. 1 vol. IV.
 Madjid, Nurcholish, 1995, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta : Paramadina.
 Munawar, Budhy-Rachman, 2006, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jakarta : Paramadina, CLS dan Mizan.
 Nanji, Azim, 2003, Peta Studi Islam (Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat), Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru.
 Safi’i, Muhammad, 2010, Book Report (Akar Gerakan Orientalisme (Dari Perang Fisik Menuju Perang Fikir). Book Report ini telah diseminarkan pada pasca sarjana IAIN STS Jambi jurusan PAFI semester I, pada mata kuliah Orientalisme dan Oksidentalisme.
 Said, Edward W, 2010, Orientalisme (Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur Sebagi Subjek), Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
 Tim Penyusun, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta : Pusat Bahasa.
 Watt, William Montogomery, 2003, Fundamentalis dan Modernitas, Bandung : Pustaka Setia.
 Wizan, Adnan M, 2003, Akar Gerakan Orientalisme, Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, cet-I.
 

[1] Alirman Hamzah, Citra Islam di Mata Barat (Sejarah dan Perkembangan Orientalisme), Padang : Suryani Indah, 2003, h. x.
[2] The Oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII, hal.200.
[3] Detik. Com, Krisis Intelektual Islam, Selingkuh Kaum Cendekiawan dengan Kekuasaan Politik, posting by Internet. http://m.detik.com/read/2010/08/27/183739/1429788/987/krisis-intelektual-islam.
[4] Alirman Hamzah, Citra Islam di Mata Barat (Sejarah dan Perkembangan Orientalisme), 2003, h. x.
[5] Muhammad Safi’i, Book Report (Akar Gerakan Orientalisme (Dari Perang Fisik Menuju Perang Fikir), 2010, h. 1. Book Report ini telah diseminarkan pada pasca sarjana IAIN STS Jambi jurusan PAFI semester I, pada mata kuliah Orientalisme dan Oksidentalisme.
[6] Muhammad Safi’i, Book Report (Akar Gerakan Orientalisme (Dari Perang Fisik Menuju Perang Fikir), 2010. h. 2.
[7] Muhammad Safi’i, Book Report (Akar Gerakan Orientalisme (Dari Perang Fisik Menuju Perang Fikir), 2010. h. 3
[8] A. Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung : Mizan, cet-II, 1994, h. 35.
[9] Edward W. Said, Orientalisme (Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur Sebagi Subjek), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, h. 197.
[10] Muthabaqani, Mazin bin Shalah, Al-Istisyraq, (www.saaid.net)
[11] Azim Nanji, Peta Studi Islam (Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat), , 2003, h.218.
[12] Adnan M. Wizan, Akar Gerakan Orientalisme, Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, cet-I, 2003, h. 48.
[13] Azim Nanji, Peta Studi Islam (Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat), Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003, h. vii.
[14] William Montogomery Watt, Fundamentalis dan Modernitas, Bandung : Pustaka Setia, 2003, h. 9.
[15] http://altanwir.wordpress.com/2008/07/15/sikap-dan-pandangan-filosofis-muthahari-terhadap-sains-modern/
[16] Asal kata Epistemologi, Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta : Pusat Bahasa, 2008, h. 398
[17] Depag RI, al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Maghfiroh, , 2006, h. 285.
[18] Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban (Globalisasi, Radikalisme, & Pluralitas), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002, h. 149
[19] Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban (Globalisasi, Radikalisme, & Pluralitas), 2002, h. 150.
[20] Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jakarta : Paramadina, CLS dan Mizan, 2006, h. 145.
[21] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta : Paramadina, 1995, h. xvii.
[22] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 1995, h. 38
[23] Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban (Globalisasi, Radikalisme, & Pluralitas), , 2002, h. 161.
[24] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 1995, h. 36.
[25] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 1995, h. 41
[26] QS. Ar Ruum/30 : 22.
[27] QS. Al Baqarah/2 : 213.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar