Selasa, 29 November 2011

RENE DESCARTES DAN AL GHAZALI "RASIO DAN PENGETAHUAN"


OLEH FAJRI
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN STS Jambi (PAFI)
PENDAHULUAN

A. Rene Descartes (1596-1650 M)
Di desa La Haaye-lah tahun 1596 lahir jabang bayi Rene Descartes, filosof, dan seorang Ilmuan matematikus Perancis yang tersohor. Waktu mudanya dia sekolah Yesuit, College La Fleche. Begitu umurnya dua puluh dia dapat gelar ahli hukum dari Univeritas Polietiers walau tidak pernah mempraktekkan ilmunya samasekali. Meskipun Descartes peroleh pendidikan baik, tetapi dia yakin betul tak ada ilmu apapun yang bisa dipercaya tanpa metematik. Karena itu, bukannya dia meneruskan pendidikan formalnya, melainkan ambil keputusan kelana keliling Eropa dan melihat dunia dengan mata kepala sendiri. Berkat dasarnya berasal dari keluarga kaya, memungkinkan untuk dia mengembara kian kemari dengan leluasa dan longgar. Tak ada persoalan duit.
Dari tahun 1616 hingga 1628, Descartes betul-betul melompat ke sana kemari, dari satu negeri ke negeri lain. Dia masuk tiga dinas ketentaraan yang berbeda-beda (Belanda, Bavaria dan Honggaria), walaupun tampaknya dia tidak pernah ikut bertempur samasekali. Dikunjungi pula Italia, Polandia, Denmark dan negeri-negeri lainnya. Dalam tahun-tahun ini, dia menghimpun apa saja yang dianggapnya merupakan metode umum untuk menemukan kebenaran. Ketika umurnya tiga puluh dua tahun, Descartes memutuskan menggunakan metodenya dalam suatu percobaan membangun gambaran dunia yang sesungguhnya. Dia lantas menetap di Negeri Belanda dan tinggal di sana selama tidak kurang dari dua puluh satu tahun. (Dipilihnya Negeri Belanda karena negeri itu dianggapnya menyediakan kebebasan intelektual yang lebih besar ketimbang lain-lain negeri, dan karena dia ingin menjauhkan diri dari Paris yang kehidupan sosialnya tidak memberikan ketenangan cukup).[1]
 B. Al-Ghazali (1058-1111 M)
Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan pada pertengahan abad ke-5 H, bertepatan dengan tahun 450 H di Thus, sebuah kota di Khurasan. Tidak lama setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia. pada masa kecil, Al-Ghazali hidup dalam kemiskinan. Tetapi ia mendapat bimbingan seorang sufi, yang kelak memasukkannya ke satu sekolah penampungan anak-anak tak mampu.
Di Thus, Al-Ghazali belajar berbagai ilmu pengetahuan. Setelah itu, ia pergi ke Jurjan, kemudian ke Naisabur, pada saat Imam Haramain “Cahaya Agama”, Al-Juwaini, menjabat sebagai kepala Madrasah Nizhamiyyah. Di bawah asuhan Al-Juwaini ini, Ghazali mempelajari ilmu fiqh, ushul, mantiq dan kalam, hingga kematian memisahkan keduanya ketika Al-Juwaini meninggal dunia. Pada tahun 478 H, Ghazali keluar dari Naisabur menuju ke Mu’askar dan menetap disana sampai di angkat sebagai tenaga pengajar di Madrasah Nizhamiyyah di Baghdad pada tahun 484 H. di tempat ini Ghazali mencapai puncak prestisius dalam karis keilmuannya, sehingga kuliahnya dihadiri oleh tiga ratus ulama terkemuka.[2] Karena satu persoalan, ia keluar dari Madarah Nizhamiyyah menuju pengasingan di padang pasir selama sembilan tahun. Dalam rentang waktu itu, Ghazali berkunjung ke Syam, Hijaz dan Mesir untuk kemudian kembali ke Naisabur. Setelah itu ia kembali lagi ke Thus hingga menghembuskan nafas terakhirnya pada 14 Jumadil Akhir 505 H. Ghazali pergi meninggalkan alam fana ini, namun seolah ia mengucapkan kata-kata seperti yang pernah di ucapkan oleh Francis Bacon, filosof Inggris (wafat tahun 1626 M), “aku menghadapkan ruhku ke haribaan Tuhan. Meskipun jasadku dikubur dalam tanah, namun aku akan bangkit bersama namaku pada generasi-generasi mendatang serta pada seluruh umat manusia.”[3]
 Dia menghasilkan karya tulis yang jumlahnya mencapai ratusan buku. Sekitar 78 buah karya masih ada hingga sekarang dan kebanyakannya terdiri atas banyak jilid mengenai bermacam-macam topik, terutama yang berkenaan dengan tema-tema agama dan filsafat. Dia juga seorang guru, filosof, ahli debat, pembicara, pembaharu dan sufi yang sangat pioneer dalam semua bidang tersebut. Dengan menjadi seorang tokoh intelektual yang besar, dia meninggalkan berbagai kesan dan pengaruh abadinya dalam otak dan hati jutaan manusia yang berpikir di dunia. hal tersebut akan terus-menerus seperti itu hingga sampai keabadian. [4]
 PEMBAHASAN
 A. RASIO DAN PENGETAHUAN
 Aliran filsafat yang memasuki abad yang menentukan bagi perkembangan peradaban umat manusia adalah aliran rasionalisme. Aliran ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam dunia filsafat dan dunia pemikiran manusia hingga sekarang. Saingan terberatnya, bahkan terkesan saling berlawanan, adalah aliran empirisme. Secara singkat, aliran rasionalisme menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal yang dimiliki oleh manusia. Manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek pengetahuan.
Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalam memperoleh pengetahuan, pengalaman indra diperlukan untuk merangsang akal manusia dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja dengan baik. Akan tetapi, sampainya manusia kepada kebenaran adalah semata-mata dengan akal pikiran yang dimiliki manusia. Laporan indra, menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas, kacau dan bersifat menipu. Bahan ini kemudian dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berpikir.[5] Akal mengatur bahan itu sehingga dapatlah terbentuk pengetahuan yang benar. Jadi akal bekerja karena ada bahan-bahan yang diperoleh indra manusia. Akan tetapi akal dapat juga manghasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan indrawi samasekali. Jadi, akal dapat juga menghasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak.[6]
Dalam bahasa Indonesia, “Ilmu” seimbang artinya dengan “science” dan dibedakan pemakaiannya secara jelas dengan “pengetahuan”. Dengan kata lain Ilmu dan Pengetahuan mempunyai pengertian yang berbeda secara mendasar. Pengetahuan (knowledge) adalah hasil dari aktivitas mengetahui, yakni tersingkapnya suatu kenyataan kedalam jiwa hingga tidak ada keraguan terhadapnya.
Kita harus berhati-hati dalam menggunakan kata “pengetahuan” dan “ilmu” dari apa yang kita tangkap dalam jiwa. Pengetahuan sudah puas dengan “menangkap tanpa ragu” kenyataan sesuatu , sedangkan ilmu  menghendaki penjelasan lebih lanjut dari sekedar apa yang dituntut oleh pengetahuan.[7] Rasionalisme adalah seseorang yang sangat percaya pada akal sebagai sumber utama pengetahuan, dan mungkin juga percaya bahwa manusia mempunyai gagasan bawaan tertentu yang ada didalam pikiran dan mendahului seluruh pengalaman. Semakin jelas gagasan-gagasan semacam itu, semakin pasti bahwa mereka berkaitan dengan realitas.
 B. RASIO-PENGETAHUAN MENURUT RENE DESCARTES
Aliran Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes. Descartes meyakini bahwa dasar semua pengetahuan berada dalam pikiran. Dalam buku Discourse de la Methode, tahun 1637, ia menegaskan perlunya metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan. Yaitu dengan menyangsikan segalanya secara metodis. Jika suatu kebenaran mampu bertahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Akan tetapi, dalam rangka kesangsian yang metodis ini, ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan bahwa “aku ragu-ragu”. Jika mengnyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan kata lain, kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir (=menyadari) maka aku ada. itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab, kau mengerti itu dengan jelas, dan terpilah-pilah, “clearly and distinctly”, clara et distincta. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Hal itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.[8]
Descartes menerima tiga realitas atau substansi bawaan yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res extensa, “extention”) atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu). Pikiran adalah sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tidak dapat dibagi-bagi  menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari Tuhan sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa bergantung pada apa pun. Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian Tugas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang hanya memiliki realitas keluasan, manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedangkan manusia adalah mesin otomat yang sempurna karea dari pikirannya, ia memiliki kecerdasan. Mesin otomat zaman sekarang adalah computer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan.[9]
Rene Descartes menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandingannya, harus disusun oleh satu orang, sebagai bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metode yang umum. Yang harus dipandang sebagai hal yang benar adalah apa yang jelas dan terpilih-pilih. Ilmu pengetahuan harus mengikuti langkah ilmu pasti, karena ilmu pasti dapat dijadikan model mengenal secara dinamis. Munculnya rasionalisme  bisa dianggap sebagai awal perkembangan manusia modern. Segala sesuatu dapat diukur dengan pertimbangan rasio. Manusia menjadi besar dan tinggi martabatnya karena ia mampu menggunakan rasionya pada derajat tertinggi kemampuannya. Kebenaran adalah hal-hal yang berada dalam cakupan rasionalitas. Kesadaran manusia adalah  satu hal yang menyebabkan manusia berpikir, kemudian pemikiran tersebut menjadi jelas ketika berada dalam nalar-nalar realitas.[10] Kerasionalitasan tersebut yang mengungkapkan kebenaran-kebenaran dalam putusan rasional dapat dibuktikan dengan konsistensi logis dari proposisi-proposisi kebenaran tersebut. Apa yang dikatakan sesuai dengan kenyataan maka itulah kebenaran. Rasionalitas berbicara berdasarkan prinsip bahwa akal harus diberi peran utama dalam penjelasan.
Rene Descartes berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh oleh akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan akal, dapat diperoleh kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan ilmu pasti.[11] Rasionalisme dan idealisme merepotkan diri dengan struktur daya pengenal manusia, yang menjadi syarat dan penentu segala kepastian dan kebenaran. Empirisme pun sibuk dengan soal bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu dan mana nilai pengetahuan itu. Dua-duanya kemudian dianggap berat sebelah karena secara eksklusif menekankan daya pengenal manusia, seolah-olah manusia hanya intelek belaka. terhadap rasionalisme (dan empirisme) muncul reaksi yang disebut “eksistensialisme”.
Rasionalisme mendapat perlawanan yang keras dari aliran empirisme. Menurut empirisme, sumber ilmu pengetahuan berasal dari pengalaman, bukan dari rasio. Rasionalisme justru berpendapat sebaliknya. Pertentangan aliran tersebut berlanjut dengan lahirnya aliran-aliran lain seperti, Kritisme dan Positivisme. [12]
Menurut Descartes akal adalah sesuatu yang terbaik yang terdapat dalam diri manusia. Kebaikan, kebenaran yang utama terhadap kebatilan dan kekuatan dalam diri manusia terhadap hukum hidupnya merupakan hakekat capaian akal. Dan akal adalah fitrah setiap manusia. Dalam kehidupan, banyak sekali terdapat pertentangan mengenai pendapat dan argument, dan itu merupakan kewajaran. Namun, terlepas dari itu semua, akallah dibalik semuanya.[13] Jadi bukanlah sesuatu yang aneh apabila kita bisa mengetahui tentang suatu metode yang diwajibkan untuk kita laksanakan, karena hal tersebut merupakan keutamaan daripada akal.[14] Aku berpikir dan aku ada (ana afkar, izan fa ana maujud), ungkapan ini merupakan hasli dari berpikir seorang Descartes, apabila saya ada berarti saya mengetahui tentang diri saya dengan jalan berpikit tersebut, nah dengan diri itu maka dengan mudah bisa mengetahui kondisi badan, karena badan tidak mungkin bisa mengetahui dirinya tanpa diri itu sendiri. Dengan ini berarti ia sudah mengetahui dirinya jauh sebelum ia mengenal dirinya.[15]
 C. RASIO-PENGETAHUAN MENURUT GHAZALI
Bagi Al-Ghazali, selain akal dan indera, tidak mungkin bisa mewujudkan apa yang diharapkannya. Inilah yang ada dalam pikiran Al-Ghazali. Hanya saja, Ghazali juga belum merasa puas terhadap akal dan indera tanpa melakukan pengujian yang seksama untuk mencari kejelasan apakah keduanya dapat mewujudkan keyakinan yang ia harapkan? Jiwanya meragukan kedua perangkat tersebut, dan ia mengatakan: “rentang keraguan yang berkepanjangan berujung pada kondisi dimana jiwa saya tidak bisa menyerahkan jaminan keamanan terhadap indera. Darimana keyakinan bisa timbul dengan indera? Padahal indera terkuat adalah penglihatan. Sementara ia bisa melihat bayang-bayang dan menganggapnya tetap tanpa gerak serta menetapkan tidak adanya gerak pada bayang-bayang. Namun berdasarkan eksperimentasi dan kesaksian setelah beberapa saat, terbukti bahwa sebenarnya bahwa bayang-bayang itu bergerak. Ia hanya tidak bergerak secara simultan. Ia bergerak sangat perlahan, sedikit demi sedikit, sehingga tidak bisa dinilai sebagai sesuatu yang diam. Indera penglihatan jiga melihat bintang-bintang. Ia melihatnya sebagai sesuatu yang kecil seukuran uang dinar, namun kemudian bukti-bukti astronomis menunjukan bahwa ia berukuran lebih besar daripada bumi. Kasus benda inderawi tersebut dan yang sejenisnya, ditetapkan oleh “hakim” indera dengan keputusan-keputusannya, tetapi dibantah oleh “hakim” akal dengan koreksi yang tidak mungkin ditolak.[16]
Al-Ghazali memegang erat akal dengan penuh suka cita dan mencampakkan perangkat lainnya. Selama akal atau yang disebutnya “kepastian-kepastian rasional” bisa dipercaya untuk mendatangkan kepercayaan sempurna, ia bisa dijadikan perantara menuju “al-‘ilm al-yaqini” yang didambakannya.
Dengan ini, Ghazali telah keluar dari keraguan yang berkutat disekitar berbagai standar yang bisa dijadikan timbangan kebenaran. Saat ini ia telah menerima dengan penuh kerelaan “kepastian-kepastian rasional” sebagai standar. Adapun keraguan terhadap berbagai aliran, untuk mengetahui mana yang berjalan di rel kebenaran, ia belum bisa keluar darinya. Ia baru akal melakukan pengujian detail dan teliti terhadap aliran-aliran tersebut dalam terang cahaya standar ini. Ia menegaskan: setelah Allah mengobati saya dari penyakit ini, lalu saya dapat membatasi golongan-golongan pencari kebenaran menjadi empat kelompok.
1.      Para teolog (mutakallimun), yaitu kelompok yang mengaku sebagai rasionalis      (ahl ar-ra’yi wa an-nazhar)
2.      Penganut kebatinan (bathiniyyah), kelompok yang mengklaim sebagai pemegang pengajaran (ta’lim), dan kelompok yang mengkhususkan diri pada adopsi ajaran imam yang suci (al-imam al-ma’shum)
3.      Kelompok filosof, kelompok orang-orang yang mengklaim diri sebagai pemilik logika dan penalaran demonstrative.
4.      Golongan sufi, mereka yang mengaku kelompok elit yang terhormat (khawash al-hadrah) dan kelompok yang bisa menyaksikan dan menyingkap kebenaran hakiki (ahl al-musyahadah wa al-mukasyafah).[17]
 Al-Ghazali tidak menentukan keyakinannya dengan kekuatan yang ada pada orang lain, tapi justru ia bersandar pada kekuatan yang ada dalam keyakinannya. Al-Ghazali bukanlah apa-apa kalau tidak agung  intuisinya dan mendalam logikanya, dan meyakinkan serta tajam didalam pertempuran umumnya.[18] Namun perlu dicatat bahwa wawasan yang demikian luas tersebut tidak lahir dari proses sederhana. Fase penting dalam keseluruhan pengembaraan intelektual al-Ghazali adalah saat-saat ia mengalami keraguan filosofis. Tak seperti skeptisisme yang mengingkari realitas, keraguan ini justru hendak mencari asas terkuat untuk menopang kebenaran realitas. Ia menegaskan, “keraguan adalah peringkat pertama keyakinan.” Pernyataan yang termuat dalam al-Munqid min al-Dlalâl ini memberi isyarat kepada kita akan pentingnya proses dan independensi dalam mengarungi samudera keilmuan. “Kehausanku dan upayaku yang terus-menerus untuk memahami realitas segala sesuatu merupakan naluri dan fitrah yang ditakdirkan Allah pada diriku, bukan atas pilihan dan upayaku sendiri. Akhirnya, aku terbebas dari belenggu sikap mengikut (taqlîd), serta dari keyakinan-keyakinan warisan, padahal ketika itu aku masih sangat muda,” tuturnya.
 Berangkat dari kebebasan intelektual dan keraguan itu al-Gazali menelusuri validitas pengetahuan satu per satu. Pengetahuan inderawi, meski diperoleh secara mudah dan lahiriah, mendapat penolakan pertama kali dari al-Ghazali. Keterbatasan perangkat inderawi dalam menangkap pengetahuan menjadi problem serius untuk menyebutnya sebagai realitas apa adanya. Ia lantas bergeser pada upaya mengapresiasi rasio (‘aql). Posisi akal cukup urgen di sini karena dialah yang mampu membongkar berbagai tipu daya indera yang lahiriah itu. Bulan yang tampak oleh mata telanjang segede jempol mampu diluruskan oleh pikiran, bahwa tidaklah demikian adanya.
Apresiasi al-Ghazali terhadap akal juga terlihat ketika ia memasukkan logika sebagai prasyarat mutu keilmuan. “Barangsiapa tak menguasai logika maka dipertanyakan kompetensinya.” Memang, statemen ini membuatnya mesti ikhlas dikafirkan Ibn Taymiyah. Tapi, kerja kerasnya mencari hakekat pengetahuan sekian lama telah membawanya pada tahapan yakin dan tak tergoyahkan. Bagi al-Ghazali, ilmu yang sesungguhnya adalah ilmu yang menimbulkan keyakinan utuh (al-‘ilm al-yaqîn; pengetahuan primer), tak terbantahkan oleh apa pun, termasuk oleh mu’jizat. Ia mencontohkan pengetahuan primer tersebut sebagaimana kayakinan seseorang bahwa sepuluh lebih dari tiga; atau bahwa negasi dan afirmasi tidak dapat berkumpul dalam satu perkara; tidak ada sesuatu yang baru dan yang dahulu sekaligus pada saat yang sama; tidak ada sesuatu yang ada dan pada saat yang sama juga tidak ada; atau tak ada sesuatu yang niscaya dan sekaligus yang mustahil pada saat yang sama.[19]
D. ANALISIS KRITIS RASIONALISME
Analisis ini mempuyai dua pandangan, pertama Kelebihan dan kedua Kekurangan. Kelebihan rasionalisme adalah mampu menyusun sistem-sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia. Umpamanya logika, yang sudah ada sejak zaman Aristoteles, kemudian matematika dan kebenaran rasio diuji dengan verifikasi konsistensi logis. Kelebihan rasionalisme juga dalam hal menalar dan menjelaskan pemahaman-pemahaman yang rumit, kemudian rasionalisme memberikan kontribusi pada mereka yang tertarik untuk menggeluti masalah-masalah filosofi. Rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan akal budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua manusia. Adapun kekurangan rasionalisme adalah terhadap doktrin-doktrin filosofis rasio cenderung mementingkan subjek daripada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek-objek rasional secara peka. Kelemahan juga dalam memahami objek diluar cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan yang sangat tajam dari sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem-sistem filosofis yang subjektif tersebut.[20]
KESIMPULAN
Rene Descartes: akal adalah segalanya bagi diri manusia, akal merupakan suatu yang terpenting yang dimiliki manusia, dengan akallah manusia bisa mendapatkan kebenaran yang hakiki. Ia juga mengatakan bahwa dasar semua pengetahuan berada dalam pikiran. Rene Descartes menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandingannya, harus disusun oleh satu orang, sebagai bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metode yang umum. Yang harus dipandang sebagai hal yang benar adalah apa yang jelas dan terpilih-pilih. Ilmu pengetahuan harus mengikuti langkah ilmu pasti, karena ilmu pasti dapat dijadikan model mengenal secara dinamis. Munculnya rasionalisme  bisa dianggap sebagai awal perkembangan manusia modern. Segala sesuatu dapat diukur dengan pertimbangan rasio. Manusia menjadi besar dan tinggi martabatnya karena ia mampu menggunakan rasionya pada derajat tertinggi kemampuannya. Kebenaran adalah hal-hal yang berada dalam cakupan rasionalitas.    
Al-Ghazali: Dari poin diatas, jelas sekali al-Ghazâlî tidak betul-betul menolak rasio. Bahkan, dalam al-Risâlah al-Ladunniyyah ia tidak mendikotomisasikan antara syarî‘at dan akal. Di sana ia membagi ilmu dalam dua kategori; ilmu yang bersifat rasional (al-‘ilm al-‘aqlî) dan ilmu yang bersifat syar’i (al-‘ilm al-syar‘î). Tambahnya, “Tiap pengetahuan rasional selalu berkesesuaian dengan syarî‘at bagi orang yang mengetahuinya. Dan tiap pengetahuan syarî‘at senantiasa berkesesuaian dengan rasio bagi orang yang menyadarinya.”

KEPUSTAKAAN
 Michael H. Hart,  Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, , PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta Pusat 1982
Prof. Dr. Shafique Ali Khan,  Ghazali’s Philosophy of Education  diterjemahkan oleh. Drs. Sape’i. M. Ag, (Filsafat Pendidikan Ghazali), Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 2005
Imam Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, diterjemahkan oleh Ahmad Maimun, Cetakan Pertama, Bandung, Penerbit MARJA, 2010
Dr. M. Solihin, M.Ag, Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern, Cetakan Pertama, Bandung, CV Pustaka Setia, 2007
Drs. H. Mundiri, Logika, Jakarta, PT RayaGrapindo Persada, 2006
Abdullah Muhammad Abdullah Islamil, Dirosat Fi Al-Falsafah Al-Haditsah, Ushuluddin Dakwah Aqidah Filsafat Universitas Al-Azhar Zaqoziq Mesir, 2009
Google, Oleh Mahbib Khoiron, Situs Resmi Pesantren Cianjur Indonesia Versio


[1]   Michael H. Hart,  Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, , PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta Pusat 1982, hal. 227
[2] Imam Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, diterjemahkan oleh Ahmad Maimun, Cetakan Pertama, Bandung, Penerbit MARJA, 2010,  hal. 17
[3] Hal. 18
[4] Prof. Dr. Shafique Ali Khan,  Ghazali’s Philosophy of Education  diterjemahkan oleh. Drs. Sape’i. M. Ag, (Filsafat Pendidikan Ghazali), Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 2005, hal. 15
[5] Dr. M. Solihin, M.Ag, Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern, Cetakan Pertama, Bandung, CV Pustaka Setia, 2007, hal. 141
[6] Hal. 142
[7] Drs. H. Mundiri, Logika, Jakarta, PT RayaGrapindo Persada, 2006, Hal. 5
[8] Dr. M. Solihin, M.Ag, Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern, Cetakan Pertama, Bandung, CV Pustaka Setia, 2007, hal. 142
[9] Dr. M. Solihin, M.Ag, Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern, Cetakan Pertama, Bandung, CV Pustaka Setia, 2007, hal. 143
[10] Hal. 144
[11] Hal. 146
[12] Dr. M. Solihin, M.Ag, Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern, Cetakan Pertama, Bandung, CV Pustaka Setia, 2007, hal. 147
[13] Abdullah Muhammad Abdullah Islamil, Dirosat Fi Al-Falsafah Al-Haditsah, Ushuluddin Dakwah Aqidah Filsafat Universitas Al-Azhar Zaqoziq Mesir, 2009, hal. 199
[14] Hal. 202
[15] Hal. 244
[16] Imam Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, diterjemahkan oleh Ahmad Maimun, Cetakan Pertama, Bandung, Penerbit MARJA, 2010,  hal. 22
[17] Imam Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, diterjemahkan oleh Ahmad Maimun, Cetakan Pertama, Bandung, Penerbit MARJA, 2010,  hal. 24
[18] Prof. Dr. Shafique Ali Khan,  Ghazali’s Philosophy of Education  diterjemahkan oleh. Drs. Sape’i. M. Ag, (Filsafat Pendidikan Ghazali), Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 2005, hal. 41
[19]. Google, Oleh Mahbib Khoiron, Situs Resmi Pesantren Cianjur Indonesia Versio
[20] Dr. M. Solihin, M.Ag, Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern, Cetakan Pertama, Bandung, CV Pustaka Setia, 2007, hal. 155

Tidak ada komentar:

Posting Komentar