Minggu, 27 November 2011

SEKULARISASI DAN PLURALISASI ISLAM DI INDONESIA


A.                PENDAHULUAN
Munculnya gerakan Islam liberal di Indonesia, menghangatkan kembali diskursus sekularisasi dan sekularisme. Lahirnya berbagai pemikiran dan gerakan baru dalam upaya memajukan Islam menelorkan beberapa konsep pemikiran yang sampai hari ini masih terus hangat dan terus diperdebatkan. Bahkan sekularisasi-sekularisme menjadi isu dan wacana sentral yang diasongkan oleh para tokoh yang berkompeten untuk menjernihkan terjadinya pro dan kontra.
Pemikir Barat terkenal yang menjelaskan istilah sekularisasi dan sekularisme adalah Harvey Cox.   Menurut Cox, dunia ini tidak lebih rendah dari dari dunia agamis. Oleh karena itu, sekularisasi adalah proses penduniawian hal-hal yang memang bersifat duniawi. Penjelasan Cox ini identik dengan penjelasan Nurcholish Madjid tentang sekularisasi dan penduniawian. Menurut Nurcholish, konsep tentang dunia sebagai tempat hidup bernilai rendah dan hina bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh curiga kepada kehidupan duniawi ini, apalagi lari dari realitas kehidupan duniawi.  1* ( Adnin Armas, 2004, hal. 11).
Sekularisasi-sekularisme dimanapun dia ‘hinggap’ (baik di Kristen, Islam maupun Yahudi) memiliki satu misi marginalisasi perasan Tuhan dan agama. Dari sinilah muncul faham “relativisme kebenaran”. Kebenaran tidak ada yang absolut (mutlak), semuanya relatif. Jika alam (alam tabi’i, nature) tidak dianggap sebagai bukti adanya Tuhan, lantas alam akan dianggap sebagai apa? Padahal dalam konsep Al-Qur’an, alam adalah bukti kebesaran, keagungan dan kemahakuasaan Allah Swt. Keterkaitan Allah dengan alam, dalam konsep sekularisasi-sekularisme, akan hilang. Manusia adalah segala-galanya. Dialah raja yang bisa berbuat apa saja terhadap alam. Begitu jauhkah orang memaknai sekularisasi?
Pada penilaian sisi lain, salah satu imbas negatif dari globalisasi (globalization) adalah munculnya tren-tren pemikiran baru. Salah satunya adalah faham “relativisme kebenaran”. Tren yang muncul –dari faham ini--kemudian adalah “Pluralisme Agama”. Satu faham dimana setiap pemeluk agama tidak memiliki hak untuk mengklaim bahwa agamanya yang benar, atau “paling” benar. Tren ini banyak menyita perhatian, dari praktisi hukum hingga –khususunya-- para teolog.
Pemahaman pluralisme agama muncul pada masa yang disebut dengan Pencerahan (Enlightment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah suatu paham yang dikenal dengan “liberalisme”, yang komposisinya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme. 2*(http.ulul4lb4b. multiply.com).
Bagaimana jika kedua faham ini menyusup ke Indonesia yang nota benenya berpenduduk mayoritas muslim dengan multi dimensi yang bervariatif, budaya, penyebaran wilayah, suku, ras, bahkan pribumi dan non-pribumi? Amat unik untuk dikaji. Karena itu makalah sederhana ini mengajak kita untuk mengkaji masalah tersebut secara sederhana pula untuk didiskusikan bersama sebagai upaya berbagi pengetahuan dan meningkatkan kepedulian sesame umat.
B.                 PENGARUH PERADABAN SEKULARISASI DALAM  ISLAM
Kata sekular (secular) berasal dari Latin saeculum (dunia, abad). Beberapa pengertian dari istilah ini adalah temporal, duniawi dan berkaitan dengan benda-benda yang tidak dianggap sakral, jauh dari muatan keagamaan, tidak rohani. Sekularisasi berasal dari bahasa Latin saeculum artinya waktu, abad. Istilah yang dipakai suatu proses, yang beralur, sehingga masyarakat golongan negara menjadi makin duniawi, semakin jauh dari ajaran agama. Di Eropa hal ini terlihat di masa apa yang disebut aufklarung. Di negeri Islam terlihat contoh yang kongkrit di Turki, dimana Kemal Attaturk setelah dia berkuasa dia melakukan sekularisasi, yaitu melepaskan ajaran atau kebiasaan agama Islam di dalam semua kegiatan pemerintah. 3*(http.ulul4lb4b.multiply.com, 27/01/2008).
Sekularisasi-sekularisme adalah dua istilah yang lahir dari ‘rahim’ peradaban Barat. Istilah “sekularisme” pertama kali diperkenalkan oleh Geroge Jacob Holyoake (1817-1906), seorang sarjana Inggris, sebagai sebuah gagasan alternatif untuk mengatasi ketegangan panjang antara otoritas agama dan otoritas negara di Eropa. Dengan sekularisme, masing-masing agama dan negara memiliki otoritasnya sendiri-sendiri: negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja.
Menurut Nurcholish Madjid, konsep tentang dunia sebagai tempat hidup bernilai rendah dan hina bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh curiga kepada kehidupan duniawi ini, apalagi lari dari realitas kehidupan duniawi. Jadi, sekularisasi bermakna proses penduniawian. 4*(Adnin Armas,  2004,  hal. 11)
Dalam Islam, sekularisasi-sekularisme adalah hal yang tidak dapat diterima. Politik dalam Islam tetap bagian dari agama. Maka, tidak adalah istilah pemisahan politik dari agama. Beberapa pemikir Muslim liberal, seperti Gamal Al-Banna (adik kandung Hasan Al-Banna) menolak konsep ini. Dalam bukunya al-Islâm Dîn wa Ummah, wa Laysa Dînan wa Dawlatan (Dâr al-Fikr al-Islâmiy, 2004) menyatakan bahwa Islam hanya membicarakan konsep keumatan, bukan konsep kenegaraan. Karena di dalam negara terdapat pembahasan politik. Kristen dan Bible mungkin mendukung konsep ini. Sementara dalam Islam dan Al-Qur’an (juga Sunnah) sangat tidak mungkin untuk dicarikan justifikasinya. Maka, dalam Kristen muncul slogan Bible, ‘Berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan, dan berikan kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar’.
Di Indonesia, Nurchulish Madjid masih dijadikan icon sekularisasi Indonesia. Dan gagasannya ini masih terus digulirkan dan dibela habis-habisan, meskupin ide sekularisasinya telah ‘digugurkan’, karena kemungkinan besar menjiplak dari Cox, seperti yang dijelaskan oleh Adnin Armas. Islam menolak sekularisasi-sekularisme, karena keduanya menolak peran Tuhan dalam kehidupan dunia (profan). Tuhan hanya berperan dalam hal-hal yang ‘berbau agama’ (sakral). Ini adalah konsep pemikiran Barat. Karen Amstrong, mantan biarawati dan penulis simpatik tentang Islam, mencatat hal ini dengan apik.
Pada awal abad kesembilan belas, ateisme benar-benar telah menjadi agenda. Kemajuan sains dan teknologi melahirkan semangat autonomi dan independensi baru yang mendorong sebagian orang untuk mendeklarasikan kebebasan dari Tuhan. Inilah abad ketika Ludwig Feurbach, Karl Marx, Charles Darwin, Friedrich Nietsche, dan Sigmund Frued menyusun tafsiran filosofis dan ilmiah tentang realitas tanpa menyisakan tempat buat Tuhan. Bahkan pada akhir abad itu, sejumlah besar orang mulai merasakan bahwa sekiranya Tuhan belum mati, maka adalah tugas manusia yang rasional dan teremansipasi untuk membunuhnya. Gagasan tentang Tuhan yang telah ditempa selama berabad-abad di kalangan Kristen Barat kini terasa tidak lagi memadai, dan Zaman Akal tampaknya telah menang atas abad-abad penuh takhyul dan fanatisme.” 5*(Karen Amsrong, 2004, hal. 446)
Islam tidak pernah menganggap ‘Tuhan telah mati’. Atau, Islam tidak pernah mengajarkan agar Tuhan dihabisi perannya dalam kancah kehidupan nyata, baik yang bersifat duniawi maupun religius.
Jika alam tidak dianggap sebagai bukti adanya Tuhan, lantas alam akan dianggap sebagai apa? Padahal dalam konsep Al-Qur’an, alam adalah bukti kebesaran, keagungan dan kemahakuasaan Allah Swt. Keterkaitan Allah dengan alam, dalam konsep sekularisasi-sekularisme, akan hilang. Manusia adalah segala-galanya. Dialah raja yang bisa berbuat apa saja terhadap alam.
Dengan demikian, sekularisasi-sekularisme lahir dari ‘rahim peradaban Eropa’ (Barat). Dia dihadirkan untuk menolak peran Tuhan dan agama. Semestinya, agama-agama yang ada (Yahudi, Kristen dan Islam) ramai-ramai menolak konsep liberal ini. Kehidupan duniawi tanpa peran Tuhan adalah absurd dilakukan. Sejatinya, sekularisasi-sekularisme adalah ‘alienisasi manusia’ dari nilai-nilai ketuhanan dan agama. Maka, keduanya harus dianggap sebagai ‘parasit agama-agama’.
 C.                PEMIKIRAN SEKULARISASI ISLAM DI INDONESIA
Konsep umat menggambarkan suatu masyarakat beriman adalah umat yang bercorak universal. Setiap muslim yang sadar merasakan benar bahwa ia adalah sebagai anggota umat. Identitasnya sebagai muslim banyak ditentukan oleh keterikatan spritualnya dengan persaudaraan universal itu. Secara teori umat percaya bahwa ajaran Islam meliputi seluruh dimensi kemanusiaan. Dengan kata lain apa yang disebut sekuler, di mata seorang muslim tidak dapat dilepaskan dari persoalan imannya. Dari sudut pandang ini cita-cita kekuasaan (politik) menyatu dengan wawasan moral sebagai pencaran iman seseorang muslim. Politik dengan demikian tidak dapat dipisahkan dari ajaran etika yang bersumber dari wahyu. Bahkan kekuasaan politik merupakan kenderaan untuk merealisasikan pesan-pesan wahyu. 6*(Ahmad Syafi’i  Maarif, 1996, hal. 10)
 Bukankah Nurchulish Madjid pernah menuturkan bahwa dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan merobah kaum muslimin menjadi kaum sekularis. Tapi dimaksudkan untuk menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan ummat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowi- kannya. Orang yang menolak sekularisasi lebih baik mati saja. Karena sekularisasi adalah inherent dengan kehidupan manusia sekarang di dunia ini (saeculum berarti jaman atau keadaan sekarang, juga berarti dunia ini). Konsep sekularisasi ditinjauan dari prinsipil, konsep `Negara Islam' adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya spiritual dan pribadi. 7*(http.groups. yahoo.com).
Luthfi Assyaukanie pada sisi lain juga mengatakan bahwa sekarang telah terjadi perubahan pola pikir kaum muslim Indonesia. Pada 1950-an hampir semua kaum muslim dari latar belakang santri dan religius pasti mendukung konsep negara Islam yang ideologis. Kini mereka tak lagi seperti itu. Lihat saja perbandingan pemilihan umum 1955, 1999, dan 2004. Pada 1955 semua partai politik Islam membentuk blok mendukung gagasan, ideologi dan negara Islam. Termasuk dicantumkannya Piagam Jakarta dalam Pembukaan UUD 1945 dan penerapan syariat Islam secara formal. Di sana ada Masyumi, NU, PSII, dan lain-lain. Mereka meraih 43 persen suara. Hampir semua tokoh Islam juga sangat didominasi pemikiran politik Islam yang masih “konservatif” . Termasuk tokoh “modernis” seperti Pak Roem, Pak Syafrudin, dan Pak Natsir.
Berbeda pada pemilu di era Orde Baru. Pemilu di masa itu tidak demokratis. Tidak ada partai Islam yang benar-benar memperjuangkan ideologi Islam saat itu karena begitu kuatnya negara.
Partai-partai Islam kembali memperjuangkan ideologinya seperti pada 1955. Dan kita lihat hasil pemilu 1999, suara partai Islam yang diwakili oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulang Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), dan lain-lain hanya mencapai kurang dari 14 persen. Pada pemilu 2004 jumlah suara mereka meningkat sedikit menjadi 17 persen. Kenaikan itu terutama berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dulu bernama PK. Tapi kenaikan itu bisa dijelaskan lagi-lagi dengan kerangka bahwa terjadi sekularisasi dalam pemikiran politik Islam di Indonesia.
PKS cuma meraih sedikit suara dalam Pemilu 1999. Mereka tak lolos electoral threshold karena itu harus mengubah nama dan tanda gambar. Tapi bukan cuma itu. Jika melihat arsip menjelang Pemilu 2004, PKS juga mengubah strategi dan taktik agar bisa menggenjot suara. Bandingkan hasil  kampanye mereka pada pemilu 1999 dan 2004. Pada 1999 kental sekali warna ideologi Islamnya. Agenda utamanya syariat Islam, Piagam Jakarta, dan lain-lain. Menjelang Pemilu 2004 petinggi PKS seperti Hidayat Nur Wahid amat mewanti-wanti agar jangan menggunakan simbol-simbol Islam di ruang publik. Karena itu agenda mereka saat kampanye adalah clean government dan anti-korupsi. Jadi kalau mau selamat, jangan gunakan isu Islam. Begitu Anda gunakan isu Islam, Anda akan terjerumus. Itu yang terjadi dan ini menarik sekali. 8*(http.pormadi. wordpress.com, 06/11/2007)
Hubungan akomodatif antara Islam dan negara berlangsung melalui dua arah, arah negara kepada Islam, negara mengakomodasi kepentingan Islam. Arah Islam kepada negara, Islam memberikan dukungan terhadap berbagai kebijakan negara. Dalam hubungan yang demikian akomodasi kepentingan Islam dan negara tidak mengubah kepolitikan Orde Baru dan pernanan politik umat Islam secara substansial. Perjuangan umat Islam lebih merupaka gerakan etika daripada gerakan politik yang melakukan pressure terhadap kekuasaan. Gerakan etika menggunakan symbol amar ma’ruf nahi munkar. PPP yang berfungsi seperti pada era 1970-an, stelah decade 1980-an tidak mampu lagi menciptakan citra sebagai wadah penyalur aspirasi politik umat Islam. Selain karena factor-faktor internal dalam dirinya, juga –terutama--  karena desakan-desakan eksternal yang sulit dihindari. 9*(Abdul Azis Thaba, 1996,hal. 350)
Apa yang membuat masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam enggan pada penerapan Islam yang formal? Di situ ada peran argumen bahwa Islam bisa diperjuangkan tanpa formalisasi. Jargon yang diucapkan Nurcholish Madjid, yaitu Islam Yes, Partai Islam No, terus berkembang di sejumlah kelompok Islam. Ada semacam promosi besar-besaran bahwa tidak apa-apa bila kita tidak mendukung partai Islam. Lambat-laun, setelah lewat 30 tahun, mereka berpikir, kalau begitu kita memilih partai sekuler pun tidak masalah. Terjadilah proses sekularisasi, yaitu menjauhkan cara berpikir masyarakat muslim dari ideologisasi Islam.
Apakah secara substansial PKS tidak berubah? Bukankah pimpinannya mengatakan mereka tidak mendukung Piagam Jakarta tapi Piagam Madinah? Mereka tak mau lagi ikut bertarung dalam isu-isu ideologis karena pasti kalah. Ketika Sidang Istimewa MPR 2002 melakukan voting untuk memasukkan Piagam Jakarta, PKS tidak mau bergabung dengan PPP dan PBB. Mereka bicara Piagam Madinah cuma agar tidak dituduh mendukung kaum nasionalis sekuler.
Sekarang orang Islam juga tak lagi alergi bicara tentang demokrasi dan pluralism. Pada 1950-an, pembicaraan tentang demokrasi, pluralisme, dan sekularisme hanya milik orang nasionalis sekuler. Sedangkan kelompok Islam tak terlalu peduli pada isu itu. Belakangan Nurchilish Madjid dengan percaya diri mengatakan bahwa konsep-konsep yang biasa dibicarakan kaum nasionalis justru sangat Islamis. Kelompok seperti Paramadina sekarang sangat familiar dan menjadi pelopor pembicaraan isu semacam itu.
Perkembangan sejarah dunia modern menunjukkan bahwa kejayaan suatu bangsa tidak terletak dalam berapa besar angka jumlah warganya, juga bukan dalam berapa banyak kekayaan alam yang terkandung dalam perut bumi wilayahnya sendiri. Kejayaan suatu bangsa lebih ditentukan oleh hasil kerja nyata para warganya dalam mengolah dan memanfaatkan kekayaan alam yang ada di seluruh muka bumi ini bahkan di angkasa luar sebagaimana telah mulai dirintis, dan oleh tingkat mutu yang dapat diwujudkan dalam hasil kerja nyata itu. (Nurcholish Madjid, 2009, hal. 119). Dan realita itu sekarang dan masa akan datang terus dirajut secara berkesinambungan kalau Islam di Indoesia tidak ma uterus tertinggal kereta api negeri sendiri.
Kaum santri pembaru ini tidak cuma selapis tipis elite Islam saja. Pada level masyarakat sekarang memang terjadi Islamisasi tetapi diam-diam mereka bisa menerima konsep politik yang sekuler yang diterapkan negara dan dikampanyekan para pembaru muslim. Sejak abad ke-19 para pembaru muslim selalu memiliki agenda yang sama dengan pemerintah dan negara Barat secara umum, yaitu modernisasi, kemajuan, demokrasi, dan pluralisme. Karena itu pembaru muslim selalu dikecam sebagai antek Barat dan antek pemerintah. Jadi, kendati sekarang banyak perempuan memakai kerudung, bukan berarti mereka menerima ide negara Islam, (http.pormadi.wordpress. com, 06/11/2007). melainkan mereka berusaha membuktikan dan  mengaplikasikan ajaran-ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas penduduknya penganut Islam.
Namun kita tak tahu seberapa kuat keyakinan itu. Bukankah mereka gampang beralih, mendukung negara Islam bila waktunya tepat? Agak sulit karena secara konseptual konsep politik Islam itu tak bisa dipertahankan. Wacana pemikiran politik Islam terus berkembang. Pada awal abad ke-20 hampir tidak ada muslim yang berani menolak gagasan khilafah. Satu-satunya ulama yang berani menentang adalah Ali Abdul Razik. Dia sampai disidang oleh para ulama Al-Azhar. Ketika Razik masuk ruang sidang dan memberikan salam, tidak ada satu pun ulama yang menjawab karena dia sudah dianggap kafir. Tapi 70 tahun kemudian tak ada negara muslim yang menginginkan khilafah. Hanya kelompok seperti Hizbut Tahrir yang masih menginginkannya.
Jadi, ada sintesis dalam pemikiran politik Islam? Sintesis tak bisa dihindari. Setelah konsep khilafah, muncul konsep negara Islam yang sebetulnya berasal dari konsep nation-state. Orang yang pertama kali memperkenalkan konsep ini adalah Rasyid Ridha. Maksudnya sebetulnya cuma jembatan. Kalau belum bisa menerima konsep nation-state yang netral, ya, kita pakai saja konsep Islamic state. Istilah negara Islam itu sendiri cacat secara konseptual. 10*(http.pormadi.wordpress. com, 06/11/2007).
Perjalanan masa lalu jelas menggambarkan bahwa suatu pemikiran dan perkembangan secara fleksibel untuk menuju sekulerasi umat Islam . Apabila ia berakar dan mampu menjawab persoalan-persoalan nyata yang dihadapi masyarakat multi dimensial, maka faham itu bisa teraplikasi.  Kesaksikan sekarang ini merupakan perkembangan wajar sebagai hasil dari langkah-langkah yang sudah ditempuh masa lalu. Setelah  umat Islam dengan segala keberaniannya telah melepaskan suatu wadah politik. Dengan lapang dada menerima apa-apa yang menjadi keputusan pemerintah dan dapat berharap mengisinya dengan nilai-nilai agama. Mereka ingin agar pihak-pihak lain yang selama ini curiga terhadap Islam dapat mempercayai ulama-ulama dan tokoh-tokoh Islam lainnya. Pada akhirnya hidup berdampingan menuju masyarakat madani yang diimpikan. 11*(Badri Yatim, 2008, hal. 275).
Yang jelas sekulerasi Islam bukan hanya di Indonesia, terus berkembang mengikuti arah zaman, namun benteng pertahanan para remaja muslim perlu juga lebih diperkuat. Lantaran sekulerasi yang kebablasan senantiasa mengintip sebagai tujuan pihak lain yang menjadi musuh dalam selimut.
D.                PENGARUH PERADABAN PLURALISASI DALAM ISLAM
Qosim Nursheha Dzulhadi mengatakan bahwa pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut dengan Pencerahan (Enlightment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah suatu paham yang dikenal dengan “liberalisme”, yang komposisinya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme. 12*(http.ulul4lb4b. multiply. com,  23/03/2008).
Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh dalam peta sejarah peradaban agama-agama dunia, kecenderungan sikap beragama yang pluralistik, dengan pemahaman yang dikenal sekarang, sejatinya sama sekali bukan barang baru. Cikal bakal pluralisme agama ini muncul di India pada akhir abad ke-15 dalam gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya, yaitu Guru Nanak (1469-1538) pendiri “Sikhisme”. Hanya saja, pengaruh gagasan ini belum mampu menerobos batas-batas geografis regional, sehingga hanya populer di anak benua India. Ketika arus globalisasi telah semakin menipiskan pagar-pagar kultural Barat-Timur dan mulai maraknya interaksi kultural antar kebudayaan dan agama dunia, kemudian di lain pihak timbulnya kegairahan baru dalam meneliti dan mengkaji agama-agama Timur, khususnya Islam, yang disertai dengan berkembangnya pendekatan-pendekatan baru kajian agama (scientific study of religion), mulailah gagasan pluralisme agama berkembang secara pelan tapi pasti, dan mendapat tempat di hati para intelektual hampir secara universal.
Yang perlu digarisbawahi di sini, gagasan pluralisme agama sebenarnya bukan hasil dominasi pemikir Barat, namun juga mempunyai akar yang cukup kuat dalam pemikiran agama Timur, khususnya dari India, sebagaimana yang muncul pada gerakan-gerakan pembaruan sosio-religius di wilayah ini. Sementara itu, dalam diskursus pemikiran Islam, pluralisme agama, masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama yang muncul lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam. Pendapat ini disepakati oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia Kedua, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.
Kemudian di lain pihak gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam melalui karya-karya pemikir mistik Barat Muslim, seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad). Karya-karya mereka ini sangat sarat dengan pemikiran dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana pluralisme agama di kalangan Islam.
Pluralisme agama merupakah faham yang tidak menemukan legitimasinya di dalam Islam. Menurut Abdilhussein Khisrobenah, al-ta‘addud al-dîniyyah (religious pluralism) adalah satu mazhab yang mengorbankan orisinilitas (al-ashâlah) demi kepentingan banyak aliran (al-katsrah). Konsep ini juga terbagi ke dalam berbagai macam orientasi, seperti pluralisme moral (al-ta‘addudiyyah al-akhlâqiyyah), politik (al-siyâsiyyah), sosial (al-ijtimâ‘iyyah) dan agama (al-dîniyyah).
Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menghampiri kita dalam pluralisme agama ini adalah apakah seluruh agama dan aqidah (al-adyân wa al-‘aqâ’id) dalam dalam satu kebenaran (haqq)? Tidak diragukan lagi bahwa tesa faham pembatasan (exdusirism, al-inhishâriyyah) merupakan awal yang yang dihadapi oleh seorang pemikir ketika bersinggungan dengan seluruh agama yang ada. Setiap agama meyakini bahwa kebahagiaan dan kebenaran (al-sa‘âdah wa al-haqq) terbatas dalam aqidahnya saja.
Klaim-klaim seperti di atas sebenarnya lahir dari perasaan superior. Ini sebenarnya alami. Karena setiap pemeluk satu agama, pasti menganggap agamanya paling benar, dan yang lain salah. Klaim kebenaran dan keutamaan (afdhaliyyah), misalnya, terdapat di dalam tiga agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam). Umat Yahudi sendiri diakui oleh Allah sebagai umat yang dimuliakan. Kaum Yahudi mengklaim diri mereka sebagai bangsa Allah yang terpilih (sya‘b Allâh al-mukhtâr, the choosen people). Klaim ini lah yang disebut oleh Roger Garaudi sebagai “mitos” tak berdasar. 13*(http.ulul4lb4b.multiply.com23/03/2008)
Agama Kristen juga mengklaim sebagai agama yang “paling” benar. Bahkan menurut doktrin Gereja (sebelum Konsili Vatikan II) tidak ada keselamatan “di luar Gereja”, extra ecclesiam nulla salus. Meskipun pada Konsili Vatikan II, Gereja merubah teologinya menjadi “teologi inklusif”. Teologi “inklusif” inilah kemudian diadopsi oleh beberapa pemikir Muslim, untuk merubah teologi Islam. Padahal, teologi Islam itu “inklusif” sekaligus “ekslusif”. Artinya, teologi Islam adalah “teologi akomodatif”. Teologi Islam bukan teologi “ekstrim” (bayna al-ifrâth wa al-tafrîth).
Islam juga oleh Allah diakui sebagai “umat terbaik” (khayra ummatin) yang dilahirkan untuk seluruh manusia (ukrijat li al-nâsi). Predikat “baik” (khayriyyah) ini pun bukan “harga gratis”. Ia memiliki empat syarat penting: (1) menyuruh kepada yang baik (amr bi al-ma‘rûf); (2) mencegah –manusia lain—dari segala bentuk kemungkaran (al-nahy ‘an al-munkar); dan (3) beriman kepada Allah (tu’minûna bi Allâh). Dengan begitu, umat Islam akan memperoleh “kemenangan”.
E.                 PEMIKIRAN PLURALISASI ISLAM DI INDONESIA
Perhelatan politik nasional, Islam akhirnya berinteraksi dengan sumber-sumber gerakan dan pemikiran yang lebih luas. Diferensiasi dan pluralisasi pun akhirnya terjadi. Islam selama masa kemerdekaan hingga Orde Baru akhirnya tidak hanya menjadi domain kalangan tradisionalis, tetapi juga kalangan modernis dan liberalis dan akhirnya menuju pada sekularis.
Asas tunggal merupakan awal dari era baru peran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran politik (formal) Islam tidak ada lagi, teapi sebagai agama yang mengaku tidak memisahkan diri dari persoalan politik, tentu peran ini akan terus berlangsung. Meskipun umat Islam merupakan 87 persen penduduk Indonesia, ide negara Islam secara terus menerus dan konsisten ditolak. Bahkan partai-partai Islam, kecuali di awal pergerakan nasional, mulai dari masa penjajahan hingga masa kemerdekaan, selalu mengalami kekalahan. Malahan dengan pembaharuan politik bangsa, partai-partai (berideologi) Islam pun perlahan lenyap. 14*(Badri Yatim, 2008, hal. 270-271)
Menelaah perkembangan-perkembangan yang terjadi selama masa kemerdekaan hingga Orde Baru, diferensiasi dan pluralisasi Islam juga telah menciptakan gejala polarisasi, khususnya pada tingkat politik. Polarisasi ini khususnya terjadi ketika kalangan yang lebih modernis masuk ke sektor negara melalui ICMI, sementara kalangan tradisionalis yang diwakili NU tetap tinggal di basis-basis sosial mereka di tingkat masyarakat.
Tetapi perubahan-perubahan menarik berlangsung sangat cepat selama sekitar satu dasawarsa terakhir ini. Gerakan reformasi yang telah merontokkan Orde Baru tidak sempat membuat ICMI membangun infrastruktur sosial-politik dan ekonomi mereka, sementara kalangan tradisionalis melalui partai politik baru yang mereka bentuk, PKB, telah memungkinkan Gus Dur menjadi Presiden dan menjadikan NU masuk ke sektor negara untuk pertama kalinya setelah lebih dari delapan dasawarsa berada di luar istana.
Namun demikian, NU, PKB, dan Gus Dur hanya bertahan sekitar 9 bulan. Juga seperti ICMI, mereka tidak sempat membangun infrastruktur ekonomi-politik melalui penguasaan atas akses ke sumber-sumber kekuasaan ekonomi dan politik yang lebih luas. Keluarnya Gus Dur dari pemerintahan juga menyimbolkan gejala yang lebih besar, yakni keluarnya kembali NU dan Islam tradisional dari negara.
Sementara itu, bagi kalangan Islam yang lebih liberal --yang muncul dari sumber-sumber generasi lebih baru dan yang selama ini belum mempunyai sumberdaya cukup untuk punya peran sosial-politik yang lebih kongkret-- bagaimanapun, harus dihitung sebagai sumber potensial baru bagi pengembangan wacana Islam-popular dari jenis lain.
Pluralisasi Islam yang muncul sekarang ini, baik dalam varian tradisionalis, modernis, maupun liberalis, telah menyediakan preseden-preseden struktural dan ideal bagi kemungkinan tumbuhnya politik sipil, masyarakat sipil, dan demokrasi sipil. Apapun perbedaan wacana, perbedaan kepentingan, dan perbedaan peranan ketiga varian itu di sektor politik, sosial, maupun kultural, di dalam maupun di luar negara, sumberdaya Islam yang mereka manifestikan dalam berbagai artikulasi telah memperkaya pilihan-pilihan untuk membangun demokrasi di kalangan umat. 15*(http.islamlib.com, 02/09/2001
Pengalaman masa lampau jelas menggambarkan bahwa suatu pemikiran dan perkembangan secara fleksibel apabila ia berakar dan mampu menjawab persoalan-persoalan nyata yang dihadapi masyarakat. Apa yang kita saksikan sekarang ini merupakan perkembangan wajar dari langkah-langkah yang sudah ditempuh masa lalu. Setelah  umat Islam dengan segala keberaniannya telah melepaskan suatu wadah politik. Dengan lapang dada menerima apa-apa yang menjadi keputusan pemerintah dan dapat berharap mengisinya dengan nilai-nilai agama. Mereka ingin agar pihak-pihak lain yang selama ini curiga terhadap Islam dapat mempercayai ulama-ulama dan tokoh-tokoh Islam lainnya. 16*(Badri Yatim, 2008, hal. 275)
Sekarang terpulang kepada penganutnya bagaimana mengelola warisan yang kaya dari para pendahulu untuk direartikulasi ke arah gerakan sosial dan keagamaan dalam wacana sivilitas yang sesuai dengan konteks  kekinian  dalam pemaknaan pluralisme, kebebasan dan social-dignity.
F.                 KESIMPULAN
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan merobah kaum muslimin menjadi kaum sekularis. Tapi dimaksudkan untuk menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan ummat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowi- kannya.
Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menghampiri kita dalam pluralisme agama ini adalah apakah seluruh agama dan aqidah dalam dalam satu kebenaran? Tidak diragukan lagi bahwa tesa faham pembatasan merupakan awal yang dihadapi oleh seorang pemikir ketika bersinggungan dengan seluruh agama yang ada. Setiap agama meyakini bahwa kebahagiaan dan kebenaran  terbatas dalam aqidahnya saja.
Klaim-klaim seperti di atas sebenarnya lahir dari perasaan superior. Ini sebenarnya alami. Karena setiap pemeluk satu agama, pasti menganggap agamanya paling benar, dan yang lain salah. Klaim kebenaran dan keutamaan, misalnya, terdapat di dalam tiga agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam). Umat Yahudi sendiri diakui oleh Allah sebagai umat yang dimuliakan. Kaum Yahudi mengklaim diri mereka sebagai bangsa Allah yang terpilih. Klaim ini lah yang disebut oleh Roger Garaudi sebagai “mitos” tak berdasar.
Saat ini kita perlu membuka kembali gagasan sekularisasi dan pluralisasi karena banyaknya sikap fobia yang diidap kaum muslim terhadap terminologi sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Fobia yang berlebihan itu berbuah maklumat “pengharaman sekularisme, liberalisme dan pluralisme” oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada sekitar Juli 2005 lalu. Fatwa haram itu banyak menuai kritik pula dari kalangan yang justru meyakini bahwa sekularisme, liberalisme, dan pluralisme merupakan aspek penting bagi kehidupan bernegara di masa modern.

REFERENSI
Abdul Azis Thaba, Drs, MA, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, 1996, Gema Insan Press, Jakarta
Adnin Armas, MA., Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal: Dialog Interaktif dengan Aktivis Jaringan Islam Liberal, 2004, Gema Insani Press, Jakarta
Ahmad Shalaby, Prof. DR, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam, (Terjemahan), 2001, Amzah
Ahmad Syafi’I Ma’arif, DR, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), 1996, Gema Insani Press, Jakarta
Karen Amsrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4.000 Tahun,(Terjemahan)  2004, Mizan, Bandung
Nurcholis Madjid, DR, Cita-cita Politik Islam, 2009, Paramadina, Jakarta


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar