Sabtu, 26 November 2011

PEMBAHARUAN DALAM ISLAM (HARUN NASUTION)


HARUN NASUTION
Oleh Abd. Aziz
Mahasiswa Pasca Sarjana PAFI IAIN STS Jambi

A.    Biografi Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada hari Selasa tepatnya pada tanggal 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Putra dari Abdul Jabber Ahmad, seorang pedagang asal mandailingdan qadhi (penghulu) pada masa pemerintahan belanda di kabupaten Simalungun. Sedangkan ibunya Maimunah seorang boru Mandailing Tapanuli.[1]
Pendidikan Harun dimulai di HIS selama tujuh tahun sehingga berusia 14 tahun, ia belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum disekolah, dan di sekolah pulalah ia dididik disiplin dengan ketat. Harun sangat menyenangi pelajaran ilmu pengetahuan alam dan sejarah. Kemudian Harun melanjutkan sekolahnya di MIK (modern islamietischekweekscool) di Bukit Tinggi. Yaitu sekoalah guru menengah pertama swasta modern, selama tiga tahun ia belajar di sana dengan bahasa pengantar yaitu bahasa belanda.[2]
Di sekolah inilah mulai terlihat daya kritisnya terhadap hukum-hukum Islam yang bertolak belakang dengan apa yang dianut oleh kedua orang tua dan masyarakat sekitarnya. Kemudian pada tahun 1938 Harun hijrah ke Mesir melanjutkan pendidikannya di Al Azhar.[3] Selanjutnya menjadi kendidat di universitas yang sama pada tahun 1942. Dan ia menyelesaikan studi sosial dengan Gelar Sarjana Muda dari Universitas Amerika di Cairo pada tahun 1952. Kemudian pada tahun 1953 ia kembali ke  Indonesia dan bertugas di Departemen Luar Negeri bagian Timur Tengah.
Pada akhir Desember 1955 ia kembali melanjutkan kerjanya di Kedutaan Republik Indonesia di Brussels. Karena pengaruh Komunis di Indonesia begitu kuat, Harun yang anti komunis memutuskan keluar dark kedutaan dan ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Pada tahun 1965 ia memperoleh gelar Magister.  Dan pada tahun 1969 ia kembali ke tanah air dan melibatkan diri di dunia akademisi dan menjadi dosen di IAIN Jakarta.
B.     Ide Pembaharuan dan Pengaruh Harun Nasution
Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangia atau menambah teks dalam al-Qur’an maupun teks dalam Hadits, melainkan hanya mengubah atau menyesuaikan paham atas keduanya sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dilakukan karena bagaimanapun hebatnya paham-paham yang dihasiilakan oleh para ulama atau pakar terdahulu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecendrungan ilmu pengetahuan, situasi sosial, dan lain sebagainya. Paham-paham tersebut mungkin masih banyak yang relevan dan masih dapat digunakan, tetapi mungkin banyak yang tidak sesuai lagi.
Selain itu pembaharuan dalam Islam dapat juga berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang terdapat di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki al-Qur’an dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Al-Qur’an misalnya mendorong umat agar menguasai pengetahuan modern serta teknologi secara seimbang, hidup bersatu rukun dan damai, bersikap dinamis, mencintai kebersihan dan lain sebagainya. Namun kenyataan ummat menunukkan keadaan yang berbeda, sebagian besar ummat Islam hanya menguasai pengetahuan agama sedangkan ilmu pengetahuan modern tidak dikuasainya, hidup dalam keadaan pertentangan dan peperangan, bersikap diktator, kurang menghargai waktu dan lain sebagainya. Sikap dan pandangan hidup ummat demikian jelas tidak sejalan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, hal demikian harus diperbaharui dengn jalan kembali kepada dua sumber ajaran Islam yang utama itu. Dengan demikian, maka pembaharuan Islam mengandung maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup ummat agar sejalan dengan petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah.
Menurut Harun, pembaharuan dalam Islam baru terjadi pada abad modern yaitu dimulai pada abad ke-18 M, dan pada masa itu dunia timur yang banyak Islam didominasi Barat. Berbarengan dengan bidang politik dan ekonomi, ummat Islam juga harus menerima persinggungan dengan kebudayaan Barat yang disuguhkan kepada mereka. Karena kebudayaan ummat Islam pada umumnya masih mengalami degradasi, wajar saja jika kebudayaan Barat lebih dominan dan banyak menguasai mereka di segala kehidupan.
Dengan adanya persinggungan dengan kebudayaan Barat itulah, sementara tokoh Islam tergerak melakukan reformasi terhadap ajaran agama mereka. Mulanya dalam soal sosial, ekonomi, politik dan pertahanan tetapi kemudian merebak ke bidang agama, begitulah yang terjadi di Mesir, Turki dan India. Sedangkan di Indonesia, pembaharuan terjadi setelah pengeruh dari negeri-negeri tersebut menjamah nusantara di abad modern.
Dengan pandangan itulah, Harun menganggap adanya pembaharuan dalam Islam dipicu adanya persinggungan kehidupan ummat Islam dengan kebudayaan Barat yang datang ke daerah-daerah koloni mereka di Timur. Sehingga dia mengartikan pembaharuan dalam Islam dengan pemikiran atau gerakan sementara ummat Islam untuk mengubah adat, pikiran, perbuatan atau institusi mereka dengan suatu yang baru sebagai mana terdapat di dunia Barat abad modern.
Harun sering mengatakan bahwa salah satu sebab kemunduran ummat Islam di Indonesia adalah karena terlalu dominannya Asy’ari yang bersifat jabariyah. Karena itulah Harun menyoroti dan selalu menghubungkan antara peran akal dan wahyu. Akal menurutnya sangat penting dan bebas dalam pandangan al-Qur’an. Karena terlalu mengagungkan peran akal itulah, Harun pernah dijuluki sebagai tokoh neomu’tazilah Indonesia. Sebagai seorang intelektual lulusan Timur Tengah dan Amerika, Harun adalah tipe pemikir Islam ultramodern. Ia berusaha untuk menggabungkan dua kutub ilmu Barat dan Timur, dengan melakukan konsep pembaharuan Islam untuk membangun masyarakat Islam Indonesia.[4]
Harun Nasution di dalam peta pemikiran Islam di Indonesia dapat kita lihat pada kalimatnya yang sederhana, tapi amat tegas pengetahuan-pengetahuan dalam bidang keagamaan bukan melulu berdasarkan wahyu, kalimat yang sederhana itu bersifat revolusioner. Pernyataan-pernyataan secara diametral bertentangan dengan kecendrungan pemikiran keIslaman yang dominan pada waktu itu, ia seakan-akan secara lantang memproklamirkan suatu cara atau bentuk pikiran lain, mendobrak tradisi pemikiran yang menekankan cohesiveness, tidak mengharamkan adanya pertentangan pemikiran, mendorong terciptanya pemikiran yang bersifat individual.[5]
Hal ini dia dibuktikan dengan mewujudkan tiga langkah yang kerap dikenal sebagai “Gebrakan harun” diantaranya, yaitu:
1.      Meletakkan pemahamanyang mendasar dan menyeluruh terhadap Islam. Menurutnyadalam Islam terdapat dua kelompok ajaran, yaitu: pertama. Bersifat absolud dan mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah dan tidak boleh diubah. Kedua. Bersifat absolut tapi relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah dan boleh diubah.
2.      Dilakukan disaat menjabat Rektor IAIN syarif Hidyatullah Jakarta 1973 (kini telah berubah menjadi UIN). Saat itu secara revolusioner dia merombak kurikulum IAIN se-Indonesia. Pengantar ilmu agama dimasukkan dengan harapan akan merubah pandangan mahasiswa. Demikian pula mata kuliah Filsafat, Tasawuf, Ilmu Kalam, Tauhid dan metologi Riset. Merut dia kurikulum IAIN yang selama ini berorientasi Fiqh harus diubah karena hal tersebut akan membuat pikiran mahasiswa menjadi jumud.
3.      Bersama Menteri Agama Harun Nasution mengusahakan berdirinya Fakultas Pascasarjana pada tahun 1982. Menurutnya Indonesia belum ada organisasi sosial yang berprestasi melakukan pimpinan umat Islam masa depan.[6]
Harun dikenal sbagai intelektual muslimyang banyak memperhatikan masalah pembaharuan dalam islam dalam arti yang seluas-luasnya, terutama pada bidang teologi, filsafat dan tasawuf serta berbagai masalah kehidupan muslim lainnya. Seluruh ilmu dan pengalamannya berusaha ia tuangkan dalam aplikasi melalui bidang akademisi sebagai dosen, dekan dan rector di IAIN dengan melakukan nasionalisasi ajaran agama dan islamisasi ilmu-ilmu umum.[7]
Harun sangat tepat jika disebut pemancang perubahan dalam tradisi akademik di lingkungan Perguruan Tinggi Islam Indonesia, ia melakukan perubahan system pendidikan di IAIN di Indonesia. Ada tiga perubahan dan pembaharuan system yang diupayakannya.
1.      Merubah system kuliah yang selama ini di nilai feudal, menjadi sesuatu yang lebih baik, dengan metode diskusi atau seminar.
2.      Merubah daya lisan menjadi budaya tulisan. Harun dengan tekun melatih mahasiswa-mahasiswanya untuk menulis pemikiran secra runtut dan sistematis. Budaya ini diperkenalkan untuk mengatasi kelemahan dalam budaya lisan. Karena tidak semua orang bias memaparkan ide-ide yang ada dalam pikiran secara runtun dan jelas.
3.      Harun memperkenalkan pendekatan pemahaman Islam secara utuh dan universal. Dominasi pendekatan Fiqh selama ini dalam system pengkajianIslam membuat kajian Islam agak mandek.[8]  
 Maka apa yang dirasakan perlu oleh Harun Nasution dikembangkan dalam studi Islam di Indonesia, berbeda dari apa yang dirasa perlu oleh pembaharuan-pembaharuan sebelumnya, yaitu pada umumnya mereka yang telah terlibat dari zaman Indonesia sebelum merdeka dalam pergeraka. Harun percaya percaya pada kemampuan manusia untuk tiba pada yang baik. Ia memang menekankan tanggung jawab pada manusia, yang hanya bisa dituntut bila memang berdasarkan kemauan dan kemampuan diri, bukan karena terpengaruh oleh orang lain.
Menurut Harun bahwa penafsiran dan pemikiran itu tidak bersifat mutlak. Oleh sebab itu, imam besar tidak salah jika menyalahkan sesamanya. Semau dipandang masih dalam kebenaran selama ia tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam sebagai tersebut dalam al-Qur’an dan Hadits.[9]
Islam modernis adalah kelompok ummat Islam yang menghendaki agar ajaran Islam mampu memberikan kontribusi secara nyata dalam memecahkan berbagai masalah sosial sepanjang zaman dan di manapun. Hal ini penting dilakukan, karena sesuai dengan misi Islam, yaitu untuk memberi rahmat bagi seluruh alam dan sepanjang zaman serta dimanapun. Untuk itu ajaran Islam yang digali dari al-Qur’an dan Hadits harus ditinjau ulang setiap zaman untuk dilihat secara kritis apakah pemikiran itu masih cocok atau sudah tertinggal.
Sejalan dengan itu maka Islam modernis menghendaki agar pintu ijtihad tetap terbuka, dan umat Islam yang memiliki kemampuan dan kepribadian yang baik agar tidak ragu-ragu untuk berijtihad bagi kepentingan ummat Islam. Dengan cara demikianlah ajaran Islam tetap relevan sepanjang zaman.
Banyaknya persoalan yang dihadapi, dan bersamaan dengan itu kurangnya orang yang ahli dan mempunyai waktu luang, menyebabkan kajian yang terbatas tadi tidak terlalu mengena. Keinginan melihat persoalan secara menyeluruh bagai terhalang oleh kemampuan dan waktu. Agaknya disinilah kesempatan Harun Nasution muncul lebih kurang 25 tahun sesudah Indonesia merdeka. Namun perlu segera ditambahkan pada pemikiran terdahulu itu bahwa pengaruhnya pada masyarakat besar sekali. Masyarakat bagai terbawa dalam perubahan pemikiran.[10]
Dalam rangka rujukan kepada paham-paham klasik, pengaruh Harun Nasution pada murid-muridnya tampak besar. Padahal ia sendiri, sejauh yang dapat diamati, tidak mengharapkan para muridnya menjadi duplikat belaka dari dirinya. Ia mengharapkan muridnya mandiri, dan bisa pula memberi saham yang besar bagi perkembangan masa depan.
Harun Nasution memberikan sesuatu yang baru dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Ia bukan sekedar melanjutkan apa yang berkembang, apalagi karena ia sendiri tidak mengkaji perkembangan di Indonesia itu dengan terperinci. Ia membawa perhatian secar lebih jelas dan tegas kepada perkembangan yang nyata dalam dunia Islam di masa lalu.
Sebagai kajian akademis, maka dengan sendirinya pasaran pemikirannya terbatas pada IAIN serta cendikiawan dan calon cendikiawan dari perguruan tinggi lain terutama di IAIN. Usaha-usaha studi Islam yang sistematis dan ilmiah yang berkembang dikalangan perguruan tinggi Islam di Indonesia untuk sebagian besar haruslah dikembalikan kepada Harun Nasution. Ketekunannya menyebarkan gagasan-gagasannya melalui pengajaran dan ceramah-ceramahnya di IAIN bukan saja memberikan dasar-dasar tradisi ilmiah di dalam studi Islam, tetapi sekaligus menetralisir warna atau pola pikir kecendrungan-kecendrungan pemikir Islam yang bersifat apologetik, pudarnya dikotomi modernisme tradisionalisme di dalam pemikiran Islam, terutama dikalangan IAIN Jakarta adalah salah satu sumbangan konkrit dari kehadiran sosok diri dan pikiran-pikiran Harun Nasution.[11]
Untuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam di IAIN, Harun mencari akar pembenarannya dalam teologi rasional ala Mu’tazilah dan mengenalkannya kepada masyarakat lewat buku dan pengajarannya di IAIN dan Pascasarjana IAIN. Selama menjadi rektor (1973-1984) dan setelahnya sampai tahun 1990 an,  sebagai direktur pada program studi lanjutan pertama yang dibuka di IAIN Jakarta, ia mengembangkan pemikiran Islam rasional dan menjadikan program S1 dan Pascasarjana IAIN Jakarta sebagai agen pembaharuan pemikiran dalam Islam dan tempat penyemaian gagasan-gagasan ke-Islaman yang baru.[12]
Dampak dari usaha yang dilakukan Harun Nasution, terlihat berupa suasana kreatifitas intelektual yang diciptakan teruama di IAIN Jakarta. Pandangannya tentang perluna berpikir rasional dalam memahami agama, membekas pada mahasiswa yang belajar di IAIN Jakarta, pada tatanan tertentu ide-ide pembaharuan tersebut mempertanyakan kembali tentang konsep dan argumen dibalik paham dan praktek keagamaan yang selama ini taken for granted. Disamping itu, keinginan Harun untuk mengajarkan agar ummat Islam terbiasa dengan perbedaan pendapat, sering berhadapan dengan paham keIslaman di daerah yang belum siap dengan paham keagamaan.[13]
Pemikiran Harun Nasution berpengaruh dalam semangat dan tradisi IAIN khususnya di Jakarta disebabkan beberapa hal; pertama, secara politis buku-buku Harun  menjadi rujukan utama untuk subjek pembaharuan pemikiran Islam; kedua, sebagai Rektor dan Direktur Pascasarjana, tentunya Harun sangat leluasa menentukan arah kebijakan di IAIN Jakarta; ketiga, sebagai pengajar pada mata kulian inti untuk pemikiran Islam, Harun mempunyai pengaruh dalam memilih topik dan pembahasan tesis/ disertasi mahasiswa. Seorang alumni Pascasarjana IAIN Jakarta yang sekarang menjadi Rektor II IAIN Antasari Banjarmasin mengatakan:
“Pengaruh Harun Nasution yang membekas pada anak didiknya adalah sikap pribadi beliau dalam keilmuan. Beliau adalah seorang guru yang konsisten terhadap pendiriannya. Dalam menghargai pendapat yang berbeda, beliau juga konsisten walaupun terkadang menjadi perbedaan yang sengit. Kalaupun beliau tidak berdebat, sesungguhnya beliau ingin mengorek argumentasi yang dikembangkan oleh mahasiwa. Kemudian beliau juga sangat perhatian terhadap kutipan-kutipan yang diambil dari buku orang lain, dicek kebenaranya, sikap yang demikian ini mengimbas kepada kita ketika mengajar kepada mahasiswa.[14]
  
Demikianlah, bila kita mencoba menela’ah seorang Harun meski hanya lewat tulisan-tulisannya maka akan terlihat seperti: pertama, Harun adalah fenomana yang rasionil dan ini kelihatannya melandasi seluruh aspek kehidupannya; kedua, Harun lebih banyak berkontemplasi pada hal-hal yang masuk akal, maka tak heran tentunya bila kemudian ia sangat mengidolakan Mu’tazilah ketimbang Asy’ariyah. Pemikiran Harun Nasution sangat berpengaruh terhadap Islam yang ingin membawa ummat Islam kepada ajaran yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits. Dan membuka kembali pintu ijtihad.
C.    Kesimpulan
Ide pembaharuan Harun Nasution yaitu upaya memawa ummat Islam ke arah yang lebih rasionalis, dan agar dikalangan ummat Islam tumbuh pengakuan atas kapasitas bahwa manusia tidak hanya bisa berserah kepada takdir saja, menghargai pendapat akal.
Pengaruh pemikiran Harun Nasution  terhadap masyarakat besar sekali, masyarakat bagai terbawa dalam perubahan pemikiran yaitu lebih rasional dan modern tetapi tidak bertentangan dengan Islam. Dan ketekunannya menyebarkan gagasan-gagasan melalui pengajaran dan ceramah-ceramahnya di IAIN Jakarta sangat berpengaruh terhadap alumni IAIN.
 

[1] Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, (Ciputat Pers, Jakarta, 2001) hal. 3
[2] Harun Nasution, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, (LSAF, Jakarta), hal. 5-6
[4] Sholahuddin Hamid dan Iskandar Ahzab, Seratus Tokoh Islam yang Paling Berpengaruh di Indonesia, (Intimedia Cipta Nusantar, 2003), hal, 355
[5] Anonim, Énsiklopedi Islam, (Ikhtiar Baru Vanhouve, Jakarta, 2002), hal. 3-4
[7] Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, Seratus Tokoh Islam yang paling Berpengaruh di Indonesia, (Intimedia Cipta Nusantara, Jakarta, 2003), hal. 355
[8] Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, (Ciputat Pers, Jakara, 2001) hal. 3
[9] Harun Nasutioan, Refleksi Pembaharuan…….., hal. 94
[10] Harun Nasution, Refleksi Pembaharuan ………, hal. 90
[11] Harun Nasution, Refleksi Pembaharuan ………., hal. 120-121
[12] http://www.google.com/pengaruh pemikiran Harun Nasution
[13] Anonim, Ensiklopedi ……., hal. 269

1 komentar: