Sabtu, 26 November 2011

ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA (MAKALAH)


I. PENDAHULUAN
Bicara masalah Islam di Indonesia, kita mengenal dua tokoh pembaharuan Islam di Indonesia. Mereka adalah Nurcholis Madjid dan Harun Nasution. Istilah pembaharuan pemikiran Islam Indonesia telah merupakan trade mark yang menempel pada nama Nurcholish Madjid (NM). Meskipun Harun Nasution (HN) mempunyai gagasan serupa, label lebih sering diberikan kepada NM. Inti pembaharuan pemikiran yang ditawarkan NM adalah liberalisasi dan sekularisasi pemikiran Islam, sedangkan HN membawa ide rasionalisasi pemahaman Islam.[1]
Dalam visi NM, berbicara tentang Indonesia adalah berbicara tentang Islam di Indonesia. Ini hanya karena alasan statistik, demografis dan sosiologis saja. Umat Islam adala mayoritas di Indonesia. Karena itu, menurut NM, setiap visi tentang Indonesia, pada dasarnya adalah tentang visi Islam di Indonesia. Itu sebabnya sangatlah penting untuk melihat ppemikiran NM tentang Islam di Indonesia sebagai latar belakang dari pemikirannya mengenai keindonesiaan. Menurut NM, umat Islam dewasa ini menghadapi paradoks yang merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak adanya. Di Zaman lampau, umat Islam mengalami kemenangan, praktis tanpa kekuatan lain yang mengunggulinya, sehingga sikap umat Islam pada waktu itu adalah sikap golongan yang menang, unggul tak terkalahkan, bebas dari rasa takut, dan tidak pernah khwatir kepada golongan lain. Tetapi di zaman kini, umat Islam tidak berdaya menghadapi golongan lain, apalagi golongan-golongan yang diwakili oleh Negara-negara yang “superpower”, yang Nurcholis sangat senang sekali melihat konteks ini, dulu mereka adalah umat beragama lain yang tidak berdaya menghadapi Islam. Dulu orang Islam melihat orang-orang yang disebut Ahl al-Kitab ini Yahudi dan Kristiani serta golongan agama yang lain sebagai istilah NM sendiri “momongan-momongan”, sekarang mereka melihat golongan-golongan yang bukan Muslim itu, sebagai sumber ancaman kepada Islam. Apalagi keadaan Islam sekarang adalah lain sama sekali. Dimana-mana umat Islam kalah, baik militer, politik maupun ekonomi. Dan, yang lebih memperburuk situasi, orang-orang barat yang sedang menang itu terasa sangat sombong secara sosial dan budaya.[2]

II. PEMBAHASAN
A. Islam dan Politik Indonesia
Bagaikan suatu perjalanan sentimental, membicarakan Islam dan politik di Indonesia melibatkan kekhawatiran dan harapan lama yang mencekam. Daerah ini penuh dengan ranjau kepekaan dan kerawanan, sehingga pekerjaan harus dilakukan dengan kehati-hatian sekucupnya. Tapi berhati-hati tidaklah berarti membiarkan diri terhambat dan kehilangan tenaga untuk melangkah, sebab jelas pembicaraan harus dilakukan juga, mengingat berbagai alasan dan keperluan. Karena itu, untuk memulai kajian ini, kita bisa mengungkapkan hal-hal yang terjadi pada masa Orde Baru. Apakah yang didapati dalam Orde Baru? Ada beberapa hal yang mungkin diingkari mengenai Orde Baru, yaitu stabilitas sosial politik dan pembangunan ekonomi.[3]
Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Presiden Soeharto memberikan optimisme politik yang besar kepada Natsir dan para mantan aktivis Masyumi. Optimisme itulah yang memotivasi mereka untuk merehabilitasi Masyumi, partai yang dibubarkan Soekarno 1960 akibat keterlibatan mereka dalam gerakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Optimisme itu kandas ditengah jalan. Sebab ternyata pemerintah Oede Baru tidak merestui rehabilitas partai Islam itu. Karena seperti ditulis Wertheim, pemerintahan Orde Baru Soeharto lebih khawatir dan takut terhadap Islam dibandingkan dengan Soekarno.[4] Natsir semakin menyadari bahwa kebijakan-kebijakan awal politik Orde Baru memojokkan kalangan Islam disatu sisi dan menempatkan kelompok kecil elite terdidik non-Muslim dalam posisi strategis dalam Negara. Bahkan ia melihat adanya usaha sistematis dan terarah untuk mengeliminasi umat Islam secara sosial, politik dan kebudayaan melalui fusi partai-partai Islam awal 1970-an, intervensi pemerintah yang besar dalam persoalan-persoalan internal dalam partai-partai Islam, perumusan rencana undang-undang perkawinan, dimasukannya aliran kepercayaan dalam GBHN, pelarangan libur bagi pelajar dibulan suci Ramadhan dan lain-lain. Natsir juga mengamati strategi pembangunan ekonomi Orde Baru, yang sekalipun diakuinya berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, ternyata telah memperlebar kesenjangan sosial ekonomi antara orang kaya dan miskin. Yang kaya makin kaya dan miskin makin menderita. Mereka yang tergolong miskin itu sebagian besar adalah kaum Muslimin, sedangkan yang kaya adalah penduduk non-pribumi.[5]
Setelah Orde Lama hancur, kepemimpinan Indonesia berada ditangan Orde Baru. Tumbangnya Orde Lama yang umat Islam ikut berperan besar didalam menumbangkannya, memberikan harapan-harapan baru kepada kaum Muslimin. Namun kekecewaan muncul di masa tersebut. Umat Islam merasa, meskipun musuh bebuyutannya, komunis, telah tumbang kenyataan berkembang tidak seperti yang diharapkan. Rehabilitasi Masyumi, partai Islam berpengaruh yang dibubarkan Soekarno, tidak diperkenankan. Bahkan, tokoh-tokohnya juga tidak diizinkan aktif dalam partai  Muslimin Indonesia (Parmusi) yang didirikan kemudian.
Orde Baru memang sejak semula mencanangkan pembaruan sistem politik. Pada tanggal 26 November 1966, dengan sebuah amanat dari presiden disampaikan kepada DPRGR: RUU kepartaian, RUU pemilu dan RUU susunan MPR, DPR dan DPRD. Yang kedua dan ketiga ditetapkan 22 November 1969. sedang yang pertama terhenti. Pada 9 Maret 1970, fraksi-fraksi parpol di DPR dikelompokkan. Tiga tahun kemudian, parpol difusikan ke dalam PPP dan PDI (5 Februari 1973). Pada 14 Agustus 1975 RUU kepartaian disahkan. Penataan kehidupan kepartaian berikutnya adalah penetapan asas tunggal, pancasila untuk semua parpol, Golkar, dan organisasi lainnya, tidak ada asas cirri, tidak ada idiologi Islam, dan oleh karena itu tidak ada partai Islam. Asas tunggal merupakan awal dari era baru peran Islam dalam kehidupan berbangsa ini. Peran politik (formal) Islam tidak ada lagi, tetapi sebagai agama yang mengaku tidak memisahkan diri dari persoalan politik, tentu peran itu akan terus berlangsung mungkin dengan pendekatan yang berbeda.[6]
Meskipun umat Islam merupakan 87 persen penduduk Indonesia, ide Negara Islam secara terus menerus dan konsisten ditolak. Bahkan, partai-partai Islam, kecuali diawal pergerakan nasional, mulai dari masa penjajahan hingga masa kemerdekaan, selalu mengalami kekalahan. Malah dengan pembaharuan politik bangsa sekarang ini, partai-partai (berideologi) Islam pun lenyap.
Menjelang Pancasila diputuskan Sidang Umum MPR 1983 sebagai satu-satunya asas kekuatan politik itu, banyak kalangan yang melontarkan suara-suara kontra. Suara-suara itu makin tajam tatkala Pancasila pada akhirnya, bukan saja diputuskan sebagai satu-satunya asas begi kekuatan-kekuatan politik, tetapi juga terhadap organisasi-organisasi kemsyarakatan, termasuk organisasi keagamaan di Indonesia. Adalah sangat wajar kalau suara kontra itu banyak yang berasal dari umat Islam. Bukan saja karena latar belakang sejarah yang pernah dilaluinya, tetapi karena pada saat gagasan itu dilontarkan, sub-sub idiologi yang pernah ada di Indonesia sudah “terkena” gagasan itu. Hanya partai persatuan pembangunan (PPP), fusi dari empat partai Islam Parmusi, NU, PSII, dan Perti, yang masih mempunyai ideologi atau asas ciri, yaitu Islam.
Dengan pengasastunggalan, sebagian umat Islam menganggap bahwa penyalur aspirasi politik Islam hilang. Terdapat kekhwatiran di kalangan sebagian mereka terhadap ancaman sekularisasi politik dan kehidupan sosial di Indonesia. Kekhawatiran itu muncul dari perasaan keagamaan mereka. Ada anggapan bahwa dengan asas tunggal bagi kekuatan politik dan organisasi kemasyarakatan, identitas keislaman mereka akan semakin memudar. Amal usaha organisasi-organisasi keagamaan Islam pun dirasakan sia-sia.[7] Untuk merumuskan situasi baru itu sekaligus memasyarakatkan kebijaksanaan tersebut, beberapa kalangan yang sejak semula tidak melihat kemungkinan lain, menyelenggarakan forum-forum yang berkenaan dengan aspirasi politik Islam. Dengan menyelenggarakan kebijaksanaan dan forum-forum tersebut dimaksudkan sebagai upaya modernisasi politik bangsa itu, umat Islam diuntungkan karena dapat melepaskan diri dari ikatan primodialismenya, pindah dari dunianya yang sempit ke dunia yang lebih luas. Banyak pemikir Islam yang beranggapan, dengan ditariknya Islam dari level politik, perjuangan kultural dalam pengertian luas menjadi sangat relevan, bahkan mungkin dianggap justru lebih efektif.[8]
Apa yang dimaksudkan dengan kebangkitan kembali Islam akhir-akhir ini bisa jadi merupakan hasil kerja dari organisasi-organisasi Islam yang ada. misalkan sejak dekade 1970-an, banyak bermunculan apa yang disebut intelektual muda Muslim yang meskipun sering kontroversial, melontarkan ide-ide segar untuk masa depan umat. Kebanyakan mereka adalah intelektual Muslim yang berpendidikan “umum”. Yang terakhir ini sangat mungkin adalah buah dari kegiatan-kegiatan organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI, 1947) yang sangat dominan diperguruan tinggi umum, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan lain-lain.
Setelah berlakunya asas tunggal, umat Islam dengan segala keberaniannya telah melepaskan suatu wadah politik. Dengan lapang dada, mereka menerima Pancasila dan berharap dapat mengisinya dengan nilai-nilai agama. Mereka ingin agar pihak-pihak lain yang selama ini memandang curiga terhadap “Islam”, dapat mempercayai ulama-ulama dan tokoh-tokoh Islam lainnya.[9]

B. Stabilitas, Demokrasi dan Nasionalisme
Beberapa hal yang mungkin diingkari mengenai Orde Baru, yaitu stabilitas sosial politik dan pembangunan ekonomi. Stabilitas itu terutama diwujudkan dalam bentuk keamanan, ketertiban dan keutuhan wilayah Negara. Sedangkan pembangunan ekonomi sering dinyatakan telah berhasil mengangkat kita menjadi bangsa “dengan penghasilan menengah”. Sementara kedua hal itu terjalin, namun tidak dapat diragukan bahwa yang lebih dominan dari keduanya adalah stabilitas, yang dalam urutan signifikansinya mendahului pembangunan ekonomi. Justru stabilitas diciptakan untuk memungkinkan pembangunan ekonomi, sedangkan kontribusi keberhasilan pembangunan ekonomi seperti yang ada sekarang bagi terwujudnya stabilitas malah sering dipertanyakan orang, khususnya mereka yang menaruh keprihatinan pada soal demokrasi dan keadilan sosial.[10]
Adalah karena kemantapan stabilitas itu maka Orde Baru, tanpa sangat terasa oleh kebanyakan orang, telah berlangsung sekian lamanya. Sebegitu jauh akan pengalaman stabilitas dalam jangka waktu tiga dasawarsa ini adalah unik dan baru untuk bangsa Indonesia. Karena kenyataan ini maka stabilitas mengesankan sebagai sesuatu yang pada dirinya memang baik dan dikehendaki orang banyak. Tapi, sesungguhnya masih terdapat ruang untuk memeriksa kembali secara serius apa sebenarnya wujud stabilitas itu yang secara hakiki menunjang usaha menyiapkan pengembangan tatanan sosial politik yang maju di masa depan, khususnya jika dikaitkan dengan usaha mewujudkan demokrasi dan keadilan sosial.
Dibawah kajian yang lebih dari sekadar common sence, stabilitas politik merupakan istilah yang cukup susah dan tidak jelas maknanya. Tapi biasanya ia digunakan untuk suatu konsep multidimensional, yang menggabungkan ide-ide kelanggenangan sistem, ketertiban sipil, legitimasi dan keefektifen. Cirri terpenting kekuasaan demokratis yang stabil ialah bahwa ia memiliki kemungkinan yang tinggi untuk tetap demokratis dan mempunyai tingkat yang rendah untuk mengalami gangguan kekerasan sosial, baik yang terbuka maupun yang tersembunyi. Kedua dimensi kelanggengan system dan ketertiban sipil ini berkaitan erat, dan yang pertama bisa dipandang sebagai persyaratan bagi yang kedua dan menjadi indikatornya. Begitupula tingkat legitimasi yang dinikmati oleh pemerintah dan keefektifan memerintahnya berkaitan satu sama lain dengan kedua faktor tersebut.[11] Serta bersama-sama dan dalam keadaan saling bergantung, keempat dimensi kelanggengan system, ketertiban, legitimasi dan keefektifan ini menandai stabilitas yang demokratis. Bahkan sebenarnya suatu stabilitas politik haruslah dengan sendirinya bersefat demokratis, sebab stabilitas yang tidak demokratis adalah semu, yang didalamnya terkandung bibit-bibit kekacauan yang destruktif bagaikan sebuah bom waktu.
Sudah menjadi proposisi yang sangat mapan dalam ilmu politik bahwa mencapai dan memelihara pemerintahan yang demokratis dan stabil dalam suatu masyarakat mejemuk itu sulit. Bahkan jauh kebelakang, ke Yunani kuno, Aristoteles telah mengatakan bahwa “Negara bertujuan untuk mewujudkan dirim sejauh mungkin menjadi suatu masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang sama derajad dan pasa sejawat.” Keseragaman sosial dan konsesus politik dianggap sebagai persyaratan untuk, atau faktor yang mendukung bagi demokrasi yang stabil. Sebaliknya perpecahan sosial dan peradaban politik yang mendalam dalam masyarakat majemuk sianggap bertanggung jawab untuk ketidakstabilan dan keruntuhan dalam sistem-sistem demokratis.[12]
Di Negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejewantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang abash oleh rakyat.[13]
Demokrasi sendiri adalah suatu konsep yang hampir-hampir mustahil untuk di takrifkan. Cukuplah dikatakan bahwa demokrasi adalah suatu sinonim dengan apa yang disebut dengan polychy. Demokrasi dalam pengertian itu bukanlah system pemerintahan yang mencakup keseluruhan cita-cita demokratis, tetapi yang mendekatinya sampai batas-batas yang pantas. Setiap bentuk pengaturan politik yang tangguh dan abash, lebih-lebih lagi yang demokratis, memerlukan ikatan bersama yang antara lain berbentuk kesetiaan dasar, suatu komitmen pada sesuatu yang lebih menggerakkan perasaan, yang terasa lebih hangat dalam lubuk jiwa daripada sekadar seperangkat prosedur, dan yang barangkali malah lebih kuat daripada nilai-nilai demokratis tentang kemerdekaan dan persamaan. Dalam dunia modern perekat politik itu ialah rasa kebangsaan.
Rasa kebangsaan sebagai ideologi adalah telah pernah menimbulkan masalah hangat dalam masa menjelang kemerdekaan. Para penentang nasionalisme terutama dalam kubu-kubu politik Islam, karena paham itu dalam beberapa segi bisa merupakan perwujudan kembali paham kesukuan zaman Jahiliyah yang Islam datang untuk menghapuskannya. Tambahan lagi saat itu nasionalisme telah menyingkapkan wajahnya yang paling buruk, yaiyu chauvinisme Jerman, Italy dan Jepang yang menyeret umat manusia ke malapetaka Perang Dunia II. Kini paham kebangsaan Indonesia diletakkan dalam satu rangkaian dengan paham-paham lain yang diharap bisa mengeceknya yaitu terutama paham Ketuhanan dan Perikemanusiaan. Dan rumusan tertingginya pun diperlunak menjadi Persatuan Indonesia[14]

C. Budaya Politik Indonesia
Sebenarnya, sangat sulit untuk melakukan identifikasi budaya politik Indonesia, karena atributnya tidak jelas. Akan tetapi, satu hal yang barangkali dapat dijadikan titik tolak untuk membicarakan masalah ini adalah adanya sebuah pola budaya yang dominan, yang berasal dari kelompok etnis yang dominan pula, yaitu kelompok etnis Jawa. Etnis ini sangat mewarnai sikap, perilaku dan orientasi politik kalangan elite politik di Indonesia. Oleh karena itu, ketika Claire Holt, Benedict Anderson, dan James Siegel menulis Political Kulture in Indonesia, pembicaraan awal yang dikemukakan adalah menyangkut konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa. Menurut analisis Anderson, konsep tentang kekuasaan dalam masyarakat Jawa berbeda sekali dengan apa yang dipahami oleh masyarakat Barat. Karena, bagi masyarakat Jawa, kekuasaan itu bersifat kongkret, besarannya konstan, sumbernya homogen, dan tidak berkaitan dengan persoalan legitimasi. Hal ini berbeda dengan masyarakat Barat, dimana kekuasaan itu bersifat abstrak dan berasal dari berbagai macam sumber, seperti uang, harta kekayaan, fisik, kedudukan, asal-usul, dan lain sebagainya. Karena kekuasaan itu berasal dari sumber yang satu, maka sifatnya konstan. Dan selama sumber kekuasaan itu tetap memberikan kekuasaan, maka kekuasaan seorang penguasa akan tetap legitimate dan tidak perlu dipersoalkan.[15]
Diantara konsep ilmu politik yang banyak dibahas dan dipermasalahkan adalah kekuasaan. Hal ini tidak mengherankan sebab konsep ini sangat mendasar dalam ilmu sosial pada umumnya dan pada ilmu politik khususnya. Malahan pada suatu ketika politik dianggap tidak lain dari masalah kekuasaan belaka. sekalipun pandangan ini telah diringgalkan, kekuasaaan tetap merupakan gejala yang dangat sentral dalam ilmu politik.[16]
Adapun konsep kekuasaan adalah, kebanyakan sarjana berpangkal tolak dari perumusan sosiolog Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Gesellschaft (1922) bahwa: “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini”. Sebagai contoh pemikiran semacam ini dapat disebut sebagai perumusan dari beberapa sosiolog seperti misalnya Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan yang mengatakan “kekuasaan adalah suatu hubungan dimana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai dengan tujuan dari pihak pertama”
Selanjutnya dianggap bahwa kekuasaan terutama nampak dalam proses membuat keputusan. Dan dalm hubungan ini Laswell dan Kaplan mengatakan bahwa keputusan pada hakekatnya adalah kebijakan yang menyangkut sanksi berat. “ kekuasaan adalh partisipasi dalam pembuatan keputusan. G mempunyai kekuasaan atas H mengenai nilai K, jika G turut dalam pembuatan keputusan yang menyangkut kebijakan K dari H”. adapula beberapa sarjana, seprti misalnya sosiolog Van Doorn, yang terkesan oleh kaitan antara kekuasaan dan tindakan manusia, dan mengatakan bahwa: “kekuasaan adalah kemungkinan untuk membatasi alternatif-alternatif bertindak dari seseorang atau suatu kelompok sesuai dengan tujuan dari pihak pertama”.[17]
Masyarakat Jawa dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat hierarkis. Stratifikasi sosial bukan didasarkan atas atribut sosial yang bersifat materialistik, tetapi lebih pada akses kekuasaan. Ada pemilahan yang tegas antara mereka yang memegang kekuasaan, yang juga disebut sebagai kalangan priyayi, dan rakyat kebanyakan.[18]




III. PENUTUP
Mengakhiri pembahasan singkat dalam makalah ini, suatu kesimpulan ialah bahwa umat Islam sepanjang ajaran agamanya, tidaklah menghendaki sesuatu kecuali kebaikan bersama, sebagaimana dicontohkah oleh Rasulullah s.a.w dan sahabat-sahabt beliau. Ukuran kebaikan itu tidak harus disesuaikan dengan kepentingan golongan sendiri saja, sebab akhirnya agama Islam disebut sebagai rahmat Allah bagi seluruh alam, umat manusia. Ukuran kebaikan itu ialah kebaikan umum sejagad, dan meliputi pula sesama makhluk hidup lain dalam lingkungan yang lebih luas. Ajaran-ajaran universal Islam menyediakan bagi kaum Muslimin pandangan etika asasi untuk melandasi pilihan dan keputusan dalam tindakan hidup, termasuk dalam bidang sosial politik.










DAFTAR PUSTAKA

Google, Diambil dari Makalah yang disampaikan pada Diskusi INSISTS Kuala Lumpur, di Segambut, Kuala Lumpur, 9 Maret 2007. oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi M.Phil
Dr. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, Jakarta, cetakan kedua, Paramadina 2009
Drs. Ahmad Suhelmi, MA. Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam, Jakarta Timur, cetakan pertama, DARUL FALAH 2001
Dr. Badri Yatim, MA. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008
Prof. Miriam Budiardjo, Demokrasi Indonesia, Dempkrasi Perlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1994
Afan Gaffari, Politik Indonesia Tradisi Menuju Demokrasi, cetakan kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2000


[1] Google, Diambil dari Makalah yang disampaikan pada Diskusi INSISTS Kuala Lumpur, di Segambut, Kuala Lumpur, 9 Maret 2007. oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi M.Phil
[2] Dr. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, Jakarta, cetakan kedua, PARAMADINA 2009, hal. Depan pengantar
[3] Dr. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, Jakarta, cetakan kedua, PARAMADINA 2009, hal. 3
[4] Drs. Ahmad Suhelmi, MA. Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam, Jakarta Timur, cetakan pertama, DARUL FALAH 2001, hal. 48
[5] Drs. Ahmad Suhelmi, MA. Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam, Jakarta Timur, cetakan pertama, DARUL FALAH 2001, hal. 49
[6] Dr. Badri Yatim, MA. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008. hal. 270
[7] Dr. Badri Yatim, MA. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008. hal. 271
[8] Dr. Badri Yatim, MA. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008. hal. 272
[9] Dr. Badri Yatim, MA. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008. hal. 275
[10] Dr. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, Jakarta, cetakan kedua, PARAMADINA 2009, hal. 4
[11] Dr. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, Jakarta, cetakan kedua, PARAMADINA 2009, hal. 5
[12] Dr. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, Jakarta, cetakan kedua, PARAMADINA 2009, hal. 5
[13] Prof. Miriam Budiardjo, Demokrasi Indonesia, Dempkrasi Perlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1994. hal. 185
[14] Dr. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, Jakarta, cetakan kedua, PARAMADINA 2009, hal. 6
[15] Afan Gaffari, Politik Indonesia Tradisi Menuju Demokrasi, cetakan kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2000. hal. 106
[16] Prof. Miriam Budiardjo, Demokrasi Indonesia, Dempkrasi Perlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1994. hal. 83
[17] Prof. Miriam Budiardjo, Demokrasi Indonesia, Dempkrasi Perlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1994. hal. 92
[18] Afan Gaffari, Politik Indonesia Tradisi Menuju Demokrasi, cetakan kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2000. hal. 107

Tidak ada komentar:

Posting Komentar