Sabtu, 26 November 2011

PEMIKIRAN DALAM ISLAM DI INDONESIA (NUR CHOLISH MADJID)


A.    PENDAHULUAN
Pada awal abad ke-20 di sebagian kalangan intelektual muslim terpelajar timbul kesadaran untuk membawa ummat Islam kepada tingkat kemajuan sebagaimana yang pernah dicapainya di abad klasik, dan sekaligus mampu menghadapi tantangan modernisasi. Berbagai penyebab yang membawa kemunduran ummat Islam telah dikaji secara seksama dan berbagai solusi untuk mengatasinya juga telah dikemukakan.
Berbagai solusi tersebut terkadang membawa pro dan kontra dikalangan masyarakat Islam, terutama dari kalangan Islam Tradisionalis. Nurcholis Madjid adalah salah seorang tokoh pembaharu yang banyak ditentang oleh kalangan tradisionalis. Gagasannya tentang sekularisasi dalam Islam, serta pernyataan tentang “Islam Yes, Partai Islam No” hingga kini banyak diperbincangkan orang . demikian pula kesadarannya untuk menggunakan institusi pendidikan untuk menyosialisasikan gagasan dan pemikirannya itu pula telah ia lakukan. Gagasannya tentang pembaharuan pesantren adalah merupakan bagian dari cita-cita modernisasinya.
Nurcholis Madjid sangatlah fenomenal dikalangan cendekiawan muslim Indonesia. Sangat penting untuk dikaji lebih dalam tentang gagasannya yang orisinil. Dengan gagasannya tergugahlah masyarakat muslim Indonesia yang sarat dengan dogma budaya.
 B.     PEMBAHASAN
Nurcholish Madjid lahir pada tanggal 17 Maret 1939, di sebuah kota kabupaten di Jawa Timur[1], bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H. di Jombang, Jawa Timur, dari keluarga kalangan pesantren yang taat menjalankan agama. Ayahnya, Abdul Madjid seorang petani di desa kecil tamatan Sekolah Rakyat (SR) dan salah seorang santri kesayangan KH. Hasyim Asy’ari (seorang tokoh dan pendiri Nahdlatul Ulama) di pesantren Tebuireng, Jombang.[2] Abdul Madjid sebagai kiai dan ulama yang lahir dari rahim NU termasuk orang melawan arus mainstream, dimana ia tidak masuk jaringan ulama NU dan juga menolak bergabung dengan partai politik NU, alih-alih penolakannya itu ia bergabung dengan dan menajadi pendukung setia partai Masyumi yang merupakan ibu kandung partai NU sebelum akhirnya berpisah mengambil jalannya masing-masing.[3] Pendidikannya dimulai dari sekolah rakyat di Mojoanyar pada pagi hari, sedangkan sore hari ia sekolah di Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan Ibtidaiyah, ia melanjutkan belajar di pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang. Namun pada sisi lain, yang secara kultural, karena lingkungan Nurcholish Madjid adalah lingkungan NU yang tradisionalis yang saat itu berseberangan secara politis dan kultural, maka Nurcholish Madjid-pun mendapat perlakuan dari lingkungannya secara sinis, dikucilkan dan dicemooh. Sperti yang terjadi pada saat ia belajar di pesantren Darul ‘Ulum, terutama oleh kawan sebayanya, Nurcholish Madjid diejek dengan julukan sebagai anak Masyumi kesasar. Sikap dan perlakuan temannya ini membuat ia tidak bertahan lama di pesantren Darul ‘Ulum tersebut sehingga ia memutuskan untuk pindah pendidikannya di Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah (KMI) Pesantren Darussalam di Gontor Ponorogo.[4]
Setamat dari Gontor[5] ia melanjutkan studi pada institut agama Islam kini Universitas Negri Islam (UIN) Syaraf Hidayatullah Jakarta, pada Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab dan tamat pada tahun 1968. pendidikan selanjutnya ia lakukan di Universitas Cicago, Illinois, Amerika Serikat dan berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Islamic Though (Pemikiran Islam) pada tahun 1984.
Semasa jadi mahasiswa, Nurcholis Madjid banyak melakukan kegiatan di berbagai organisasi. Ia pernah menjadi ketua umum Himpunan mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat pada tahun 60-an. Kemudian menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI selama pereode 1966-1969 dan 1969-1971. selain itu, ia juga pernah menjadi Presiden pertama Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) tahun 1967-1969, sebagai Wakil Sekretaris Jendral Internasional Islamic Federation of Student Organization (IIFSO) pada tahun 1969-1971.
Setamat dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholis Madjid bekerja sebagai dosen di almamaternya, mulai tahun 1972 sampai 1976. setelah berhasil meraih gelar Doktor pada tahun 1985, ia ditugaskan memberikan kuliah tentang filsafat di Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, sejak tahun 1978 ia bekerja sebagai peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bersama tugas-tugasnya itu, ia pernah berkesempatan menjadi dosen tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada. Pada tahun 1990 di dampingi oleh istrinya yang mengikuti program Eisenhower Fellowship.
Perkenalan Madjid dengan lingkungan dan pemikiran kaum modernis lebih intens dan intim setelah kepindahannya ke Jakarta untuk melakukan studi di IAIN, terutama setelah ia menjadi anggota HMI. Selama di Jakarta ia bertemu dan berkenalan langsung secara tatap muka, maupun tulisan atau ceramah dengan tokoh-tokoh Masyumi, dan sebaliknya tokoh dan pendukung Masyumi-pun mengenal pribadi dan pandangan Nurcholish Madjid. Hubungan ini berakhir dengan dianugerahkannya gelar “Natsir Muda” pada Nurcholish Madjid. Suasana mesra antara Masyumi dan Nurcholish Madjid ini dikejutkan pada tanggal 3 Januari 1970, dengan penyajian makalah, yang judulnya begitu dingin tetapi secara substansial cukup meriuhkan perbincangan intelektual “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” yang disampaikan pada acara halal bihalal HMI, PII, Persami dan GPI. Isi makalah ini mengakibatkan rusaknya hubungan tersebut, sehingga berakhir dengan perseteruan dan perceraian di antara mereka, serta penganuliran julukan “Natsir Muda” bagi Nurcholish Madjid.
Perubahan sikap Nurcholish Madjid ini tidak terlepas dari perkembangan sosio-politik Indonesia yang menuntut adanya relevansi dan reformasi visi dan misi perjuangan umat Islam. Dalam pandangan Nurcholish Madjid, sikap dan respon yang diambil umat Islam saat itu tidak kondusif dan kontra produktif bagi masa depan umat Islam sendiri, yang mengakibatkan semakin meningkatnya kecurigaan dan ketegangan pemerintah dan militer terhadap umat Islam. Perubahan diri Nurcholish Madjid juga disinyalir  lawatannya ke negeri Paman Sam untuk memenuhi undangan program “Profesional Muda dan Tokoh Masyarakat” dan ke beberapa negara Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia yang berlangsung dua kali.[6]
Pada kenyataannya, pemikiran Nurcholish Madjid dipengaruhi oleh Mukti Ali, Deliar Noer, Harun Nasution, dan pemimpin terkemuka Masyumi, Muhammad Natsir. Pengaruh awal yang paling dominan, yang mewarnai pemikiran Nurcholish Madjid tidak bisa dilepaskan dari pengaruh lingkungan rumah tangga dan keluarga, dan pengaruh paling menonjol terletak pada sosok Abdul Madjid, seorang petani dari Jombang.[7]
Setelah Nurcholish Madjid menyelesaikan studinya di Amerika Serikat, pemikirannya semakin menunjukkan kematangannya. Ia bersama rekan-rekannya mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina. Di antara kegiatan utamanya adalah Klub Kajian Agama (KKA). Kegiatan tersebut brlangsung selam 17 tahun dengan lebih kurang 200 peremuan. Dari kajian tersebut Nurcholish Madjid berhasil menulis sejumlah buku, antara lain Islam Doktrin dan Peradaban (1992), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (1994), Islam Agama Peradaban (1995), Islam Agama Kemanusiaan (1995). Di samping itu, terdapat beberapa buku lainnya, yang ditulis di luar hasil KKA antara lain, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (1987), Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan (1993), Pintu-pintu Menuju Tuhan (1994), Kaki Langit Peradaban Islam (1997), Pengalaman Religius Umroh Haji (1997), dan Dialog Keterbukaan (1997).
Islam Kemodernan dan Keindonesiaan merupakan karya pertama yang menampilkan secara lengkap pikiran-pikiran Nurcholish Madjid yang terbit dua tahun setelah kepulangannya dari University of Chicago, Amerika Serikat, 1984. Penulisan karya ini dilatar belakangi oleh kenyataan bahwa konstatasi kaum muslim Indonesia telah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, yang kehilangan Phsylocogycal Striking Force dalam perjuangannya.[8] Pada prinsipnya, karya ini ingin menjelaskan bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernistik. Namun berbeda dengan para pendahulunya, kesemuanya itu tetap harus didasarkan atas kekayaan khazanah pemikiran ke-Islaman tradisional yang telah mapan. Di segi lain, sebagai pendukung neo-modernisme, Nurcholish Madjid cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks nasional, dalam hal ini ke-Indonesiaan.
Selain buku tersebut, pada masa-masa awal, Nurcholish Madjid juga menulis beberapa artikel yang berkaitan dengan pemikiran Islam. Ia menulis sebuah artikel, “Modernisasi adalah Rasionalisasi, bukan Westernisasi” pada tahun 1968. Pada tahun 1992 diterbitkan karya Nurcholish Madjid yang berjudul, “Islam Doktrin dan Peradaban” yang diterbitkan oleh Paramadina. Buku ini menawarkan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua, tanpa eksklusifisme komunal. Menurutnya, orang muslim harus secara otentik mengembangkan paham kemajemukan. Bergandengan dengan itu dituntut pula kesanggupan mengembangkan sikap-sikap saling menghargai antara sesama anggota masyarakat, dengan menghormati apa yang dianggap penting pada masing-masing orang atau kelompok.
Dalam karya ini Nurcholish Madjid membahas universalitas Islam. Telaahan Nurcholish Madjid dalam penelitian karya ini adalah: “Pertama-tama yang menjadi sumber universalitas Islam ialah pengertian perkataan “Islam” itu sendiri.[9] Sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa itu merupakan tuntutan alami manusia. Maka agama secara harfiah antara lain berarti “kepatuhan” atau “ketaatan” yang sah yang tidak bisa lain daripada sikap pasrah kepada Tuhan (al Islam). Maka tidak ada agama tanpa sikap itu, yakni, keagamaan tanpa kepasrahan kepada Tuhan adalah merumuskan nilai-nilai universal selalu ada pada inti ajaran agama yang mempertemukan seluruh umat manusia. Menurutnya, nilai-nilai universal itu harus dikaitkan kepada kondisi nyata ruang dan waktu agar memiliki kekuatan efektif dalam masyarakat, sebagai dasar etika sosial.
Dawan Rahardjo menilai bahwa tulisan-tulisan Nurcholish Madjid bersifat menjabarkan berbagai gagasan yang dilontarkan sebelumnya secara sepintas, misalnya mengenai sosialisme dan demokrasi, segi kemanusiaan dalam masyarakat industri, ilmu pengetahuan dan etos intelektualitas, Pancasila dan nilai-nilai keindonesiaan, ia juga selalu berbicara mengenai hubungan antara kepercayaan agama dengan modernitas. Menurutnya lagi, kesemuanya itu selalu diwarnai oleh gagasan pokoknya, yaitu monotheisme radikal.[10]
Cara berpikir Nurcholish Madjid jika ditelaah dari pemikirannya, ia termasuk dalam kelompok neo-modernisme[11] untuk dapat melihat neo-modernisme yang digulirkan Nurcholish Madjid dapat dilihat dengan buah hasil pemikirannya tentang peradaban Islam dan modernisme Islam. Ia juga sagat intens terhadap persoalan keimanan (tauhid), akhlak, fiqh, tasawuf yang kesemuanya bagian dari kajian keislaman. Menurutnya, tantangan orang beragama yang paling berat adalah syirk atau polytheisme bukannya atheisme, karena syirk memberikan peluang  penyerahan kepada selain Tuhan Yang Maha Esa.
Pemikiran Nurcholish Madjid dapat dipetakan dalam konstruksi kesatuan gagasan tentang keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Bentuk atau corak pemikiran Nurcholish Madjid adalah dialektika antara nilai universal dari sebuah ajaran Islam dengan nilai-nilai asli budaya Indonesia dan nilai-nilai kemodernan.[12]
Gagasan pemikiran Nurcholish Madjid yang menggambarkan upaya kontekstualisasi Islam dengan nilai keindonesiaan, yang sekaligus mencerminkan teologi keindonesiaannya, adalah soal terjemahan kalimat laa ilaaha illallah menjadi “Tiada Tuhan Selain Tuhan”[13], terjemahannya terdengar asing dan kontroversial bagi umat Islam Indonesia yang biasa dengan terjemahan “Tiada Tuhan Selain Allah”. Ia menganggap tiada Tuhan selain Tuhan itu adalah absah, hanya masalah bahasa saja, sedangkan hakikatnya adalah sama. Di sinilah semangat inklusivisme atau pluralismenya sangat mewarnai dan mendominasi pemikiran-pemikiran teologinya. Dan memang semangat inilah yang menjadi perekat dari bangunan pemikiran teologinya.
Corak pemikiran Islam Nurcholish Madjid yang lain adalah masalah kemodernan. Pemikirannya pada wilayah ini dilatarbelakangi oleh keinginannya memperlihatkan bahwa Islam tidak hanya bertentangan dengan isu-isu modernitas, tetapi juga memandang nilai-nilai yang mendukung modernisasi itu sendiri. Lebih dari itu, ia juga memperlihatkan bahwa Islam secara inheren dan aslinya adalah agama yang selalu modern.[14] Paling tidak upaya Nurcholish Madjid itu dimaksudkan memberikan landasan teologis terutama bagi golongan intelektual agar mampu memberikan respon positif terhadap proses modernisasi, tetapi tetap bertolak dan mengacu kepada iman Islam.[15] Percikan pemikiran Nurcholish Madjid tentang  proses modernisasi tidak lepas dari upaya menjinakkan atau mengadopsikan nilai-nilai yang inheren dengan zaman modern, seperti rasionalisasi, sekularisasi, liberalisasi, dengan ajaran Islam. Tetapi usahanya tersebut ditanggapi secara salah oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia, sehingga untuk menghindari kesalahpahaman terhadap gagasan dan istilah yang digunakan, dalam tulisannya “Modernisasi ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi”[16] ia mengantkan bahwa modernisasi bukan westernisasi, rasionalisasi bukan rasionalisme, sekulerisasi bukan sekulerisme, begitu juga dengan liberalisasi bukan liberalisme, karena di antara keduanya merupakan dua hal yang berbeda dan masing-masing mengandung implikasi yang berbeda pula.
 Pemikiran Nurcholish Madjid
Gagasan pemikiran teologis Nurcholish Madjid, pemikiran teologis Islam, antara lain penjelasannya tentang sikap pasrah terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Istilah “sikap pasrah” yang diungkapkannya bertitik tolak dari pandangan kesatuan kenabian dan kesatuan kemanusiaan. Berangkat dari konsep ke-Maha-Esa-an Tuhan.[17] Pendapat ini terdapat dalam kitab suci, setiap agama atau golongan manusia, telah pernah diutus seorang utusan Tuhan yang bertugas menyampaikan ajaran Tuhan Yang Maha Esa atau Tauhid, serta ajaran tentang keharusan manusia hanya menyembah atau tunduk kepada-Nya.[18] Dari keterangan kitab suci tersebut diketahui bahwa prinsip semua ajaran nabi dan rasul yang telah dibangkitkan adalah  Ketuhanan Yang Maha Esa. Kitab suci juga menunjukkan bahwa kebenaran universal adalah tunggal, yang berpokok pangkal pada paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tauhid. Konsep kesadaran dasar ajaran ini membawa kepada konsep kesatuan dan kerasulan.
Konsep kesamaan pada semua ajaran nabi dan rasul ini, oleh Nurcholish Madjid tidaklah mengejutkan. Sebab, semua yang berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah Yang Maha Benar (al Haqq). Perbedaan yang ada hanyalah dalam bentuk respon khusus tugas seorang rasul kepada tuntutan zaman dan tempatnya.[19] Perbedaan tersebut tidaklah berdiri pada tataran yang prinsip, karena inti ajaran pada nabi dan rasul adalah sama. Namun demikian, maka universalitas kebenaran yang merupakan inti dari semua ajaran nabi dan rasul, yang berpokok pada paham Ketuhanan yang Maha Esa, merupakan titik temu atau common flatform dari agama-agama. Namun lebih jauh Nurcholish Madjid mengingatkan, sungguhpun al Qur’an mengajarkan kemajemukan keagamaan (religious plurality), tidak berarti memandang semua agama adalah sama – suatu hal yang mustahil, mengingat kenyataan agama yang ada adalah berbeda-beda dalam banyak hal yang prinsip – tapi memberi pangakuan sebatas masing-masing untuk berada (bereksistensi) dengan kebebasan menjalankan, agama mereka masing-masing.
Kaitan dengan misi agama yang dibawa oleh setiap agama wahyu, yang dibebankan kepada penganutnya masing-masing, Nurcholish Madjid menegaskan hal tersebut harus diberlakukan dengan semangat saling menghormati, menghargai dan toleransi. Menurutnya Nabi telah menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah adalah al hanafiyah al samhah, yaitu semangat mencari kebenaran yang lapang, toleransi, tidak sempit, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.[20]
 Islam Agama Universal
Nurcholish Madjid banyak mengutip pandangan-pandangan Ibnu Taimiyah, yang memang banyak memberikan penjelasan inklusivisme dan universalisme Islam, antara lain:
Al Islam ialah persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, yang mencakup (pengertian) ibadah kepada Allah saja dan meninggalkan ibadat kepada yang lain. Inilah ‘Islam Umum’ (al Islam al ‘amm) yang selain dari itu Allah tidak menerima sebagai agama dari umat terdahulu maupun umat kemudian, sebagaimana difirmankan Allah, ‘Allah bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Dia, begitu pula para malaikat-malaikat dan orang –orang yang berpengetahuan yang tegak dan jujur (adil). Tidak ada Tuhan selain Dia Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama disisi Allah ialah al Islam.[21]
 Pandangan Ibnu Taimiyah bahwa pengertian Islam dalam ayat tersebut adalah “Islam Umum” yang juga merupakan agama semua nabi dan rasul yang diutus. Maka menurut Nurcholish Madjid, pandangan tersebut menunjukkan universalisme dan kosmopolitanisme Islam sekaligus memberikan pengakuan bahwa Islam berlaku sepanjang waktu dan tempat. Tetapi persoalan yang muncul kemudian, apakah dalam beragama cukup dengan beriman kepada bentuk-bentuk universal seperti itu “sikap pasrah” tadi, tanpa sama sekali memerlukan realisasi ibadah. Lebih dari itu,  sesungguhnya disadari bahwa Islam berdimensi universal bahkan kosmopolit, dalam perkembangan sejarahnya, karena Islam sebagai sebuah agama dimanifestasikan oleh penganutnya, maka wujud keislaman menjadi berbeda-beda sesuai dengan budaya dan watak manusia pemeluknya.
Dalam kaitan ini, Nurcholish Madjid mengatakan harus mengintegrasikan nilai-nilai universal tersebut dengan sinaran situasi nyata ruang dan waktu yang partikular. Baginya, keyakinan bahwa Islam adalah ajaran yang universal, termasuk menjadi inti dari agama-agama, membawa implikasi bahwa ia dapat diberlakukan kepada semua tempat dan waktu. Kebenaran dapat ditemukan kepada setiap bangsa dan masa, kapan saja dimana saja.[22] Memandang penting untuk meletakkan sisi-sisi keuniversalan ajaran dalam kerangka dialog kultural dengan situasi dimana ia termanifestasikan oleh pemeluknya. Suatu kenyataan akan muncul ekspresi dan manifestasi keberagaman seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat yang beragam atau bervariasi sejalan dengan budaya dan watak manusia yang menerimanya.[23]
Di Indonesia misalnya, sebagai suatu bangsa yang mempunyai tingkat heterogenitas tertinggi secara fisik (negara kepulauan) maupun dalam soal keragaman suku, bahasa, daerah, agama, dan adat istiadat, maka dengan sendirinya manifestasi dan ekspresi keberagamannya bervariasi sejaln dengan kondisi beragamnya budaya yang ada. Muncul antara yang kebarat-baratan, kearab-araban dan ketradisian-tradisian sebagai sesuatu yang sulit dihindari. Persoalannya apakah ekspresi dan manifestasi keberagaman yang merupakan hasil dialog kultural antara keuniversalan Islam dengan kekhasan suatu kawasan itu absah atau tidak, dan seberapa jauh tingkat keberlakuannya. Haruskah dianggap sebagai ekspresi dan manifestasi keagamaan yang serta merta mesti bernilai mutlak sehingga mesti pula berlaku di semua tempat.[24]
Menurut Nurcholish Madjid, agama an sich bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi budaya, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Agama merupakan sesuatu yang primer, sementara budaya menggambarkan yang sekunder. Budaya dapat merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena itu sub-ordinate terhadap agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, yaitu agama berdasarkan budaya. Maka, agama adalah absolut, berlaku untuk setiap ruang dan waktu, dan budaya adalah relatif, terbatasi oleh ruang dan waktu.[25] Persoalannya buka terletak perkara apakah suatu hasil dialog antara keuniversalan Islam dengan kekhasan suatu kawasan dan zaman itu absah atau tidak, melainkan setiap hasil dialog kultural dari kedua aspek: universal-partikular atau kulli-juz’i, tidak absah, tetapi juga merupakan kreativitas kultural yang berharga. Dengan kreativitas itulah suatu sistem ajaran universal seperti agama menemukan relevansinya dengan tuntutan khusus yang nyata para pemeluknya, menurut ruang dan waktu, serta dengan begitu menemukan dinamika dan vitalitasnya.[26]
Nilai keberlakuan sebuah manifestasi atau ekspresi keagamaan tidaklah mutlak, tetapi diletakkan seberapa kuat relevansinya dengan tuntutan zaman dan tempat. Karena itu, dimungkinkan upaya meningkatkan atau mengubahnya atau menggantikannya sama sekali, dalam semangat kesadaran dan kenisbian spasial dan temporalnya ruang dan waktu. Ini menggambarkan apa yang disebut Nurcholish Madjid sebagai adanya suatu kontinuitas dan kezamanan (al Shalah wa al Mu’asharah), sekaligus tuntutan untuk senantiasa belajar dari masa lalu dalam rangka mempertahankan mana saja unsur-unsur positif dan membuang unsur-unsur negatif, kemudian menggunakannya untuk meningkatkan kecakapan mengambil apa saja unsur-unsur yang lebih baik dari masa kini dan masa depan yang diperkirakan. Dengan begitu, suatu pandangan memiliki tidak saja keabsahan yang diperlukan sebagai sumber dinamika pengembangannya tapi juga keterkaitan dengan tuntutan nyata menurut perkembangan zaman. Dan hanya dengan begitu Nurcholish Madjid, mengklaim tentang suatu sistem ajaran seperti Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan cocok untuk segala zaman dan tempat (shahih li kulli zaman wa makan)[27]
Pluralisme Dalam Pandangan Nurcholish Madjid
Sistem nilai plural adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah, diubah, dan diakhiri.[28] Pluralisme menurut pandanga Islam merupakan  bagian dari doktrin al Qur’an. Meskipun bukan berarti al Qur’an membenarkan semua agama yang ada. Tetapi al Qur’an maupun berdasarkan realitas historis, ia merupakan hukum Allah. Bertolak dari inilah Nurcholish Madjid memberi penegasan bahwa pluralisme dalam pandangan Islam memiliki dasar keagamaan yang kuat dalam kitab suci.
Bagi setiap kelompok mempunyai tujuan, kesanalah ia mengarahkannya,  maka berlombalah kamu dalam mengejar kebaikan. Dimanapun kamu berada, Allah akan menghimpun kamu karena Allah berkuasa atas segalanya.[29]
Ayat ini menurut Nurcholish Madjid mejadi inti dan sekaligus pemahaman masalah pluralisme. Fakta bahwa umat manusia terbagi dalam berbagai kelompok, masing-masing memiliki tujuan hidup berbeda. Setiap komunitas diharapkan bisa menerima keanekaragaman sosial budaya, toleransi satu sama lain yang memberi kebebasan dan kesempatan bagi setiap orang yang menjalani kehidupannya menurut keyakinannya masing-masing. Karena yang dibutuhkan dalam masyarakat majemuk adalah, agar masing-masing kelompok berlomba-lomba dalam jalan yang sehat dan benar. Tuhan-lah Yang Maha Tahu, dalam arti asal, tentang baik atau buruk, benar atau salah.[30]
Bagi Nurcholish Madjid, pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beranekaragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan pragmentasi.[31] Pluralisme demikian menurutnya hanya mengatakan bahwa kita memang “banyak”, tetapi lebih pada pengertian bahwa kita terpecah-pecah, tidak pada pengertian bahwa keanekaragaman harus dipangku dalam ikatan kewargaan (bond of civility). Pluralisme adalah satu keharusan bagi keselamatan umat manusia.[32]
Relativisme internal seperti ini, tidak berarti menghilangkan sama sekali (nihilisme) kebenaran agama seseorang yang selama ini dipeluknya. Sebab yang dikehendaki dalam pertemuan sejati adalah sikap keagamaan al hanafiyah al samhah, yaitu semangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.[33] Sikap keagamaan yang seperti inilah, tegas Nurcholish Madjid, yang sejati dan benar, yang menjanjikan kedamaian dan kebahagiaan. Menurut Nurcholish Madjid – sebagaimana uyang seringkali ditegaskan olehnya dalam berbagai kesempatan – bahwa semua agama yang ada, pada mulanya menganut prinsip yang sama, yaitu keharusan manusia untuk berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka agama-agama itu, baik akrena dinamika internalnya sendiri atau karena persinggungannya satu sama lain, akan secara berangsur-angsur menemukan kebenarannya sendiri, sehingga semuanya akan bertumpu dalamn satu titik pertemuan, commmon platform , dalam istilah al Qur’an kalimah sawa.[34]
Dalam kaitan ini, Nurcholish Madjid ingin menjelaskan bahwa pemahaman pluralisme seperti di atas berkaitan dengan pemahaman mengenai hakikat universalisme agama, bahwa semua agama pada dasarnya secara esoterik disatukan dengan kebajikan universal, yang menjadikan setiap agama sama-sama memiliki pandangan dasar yang sama tentang realitas yang absolut (absolute reality).
Terlepas dari itu semua, dalam menghadapi realitas semacam ini, menurut Nurcholish Madjid, masing-masing pihak haruslah tetap berada dalam tataran toleransi tingkat tingg – sebagaimana dinyatakan dalam al Qur’an: “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”.[35] Masing-masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar tersebut kepada pihak lain. Kalau pihak non-Muslim terlalu memaksakan kehendak, maka umat Islam diwajibkan kukuh dengan identitasnya sebagai kaum yang pasrah kepada Allah. Masing-masing pihak juga bertanggungjawab terhadap resiko keyakinannya, dan Tuhanlah yang akan memberikan keputusan terakhir.
Berdasarkan pandangan inklusif Islam kaum muslim diperintahkan untuk kaum Ahli Kitab menuju ke “pokok-pokok kesamaan” (kalimatun sawa’), yaitu menuju ke ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa (monotheisme, tauhid).[36] Karena itu menurut Nurcholish Madjid, tidak ada halangan sedikitpun untuk menjalin kerja sama dengan Ahl al Kitab dan penganut-penganut agama lainnya, kecuali yang berdasarkan paganisme yang syirik.[37] Bahwa agama-agama monotheisme pada hakikatnya menganut paham universalisme, meskipun pada kemungkinan manifestasi lahiriahnya beraneka ragam.[38] Dalam kirab suci juga disebutkan bahwa perbedaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit, harus diterima sebagai kenyataan yang positif, yang merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah.[39] Kesatuan asal umat manusia itu digambarkan dalam firman Allah “Tiadalah manusia itu melainkan semula umat yang tunggal kemudian mereka berselisih”.[40]
Dengan demikian jelas, yang dikehendaki oleh Nurcholish Madjid dalam hubungannya dengan pluralisme adalah sikap beragama yang inklusif, yang disebut dengan dengan al hanafiyyah al sunnah. Sikap keagamaan seperti ini sangat dimungkinkan dapat menjadi jalan keluar problem pluralisme. Bahkan akan dapat menumbuhkan kesadaran bahwa “pluralisme” menjadi persoalan komunitas manusia, sebuah bentuk dari hukum Tuhan (dalam terminologi al Qur’an: sunnatulah). Hendaknya pluralitas dipakai sebagaio pangkal tolak lomba-lomba menuju berbagai kebaikan, dan Tuhanlah yang akan menerangkan mengapa manusia berbeda, nanti ketika kita kembali kepada-Nya.[41] Berdasarkan itu, gagasan Nurcholish Madjid tentang pluralisme dalam pandangan Islam – sebagaimana diakui Nurcholish Madjid sendiri – dapat ditransformasikan ke dalam pluralisme modern, pluralisme yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat baik sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.[42]
 C.    PENUTUP
Pada permulaan abad ke-21 kesehatan Nurcholish Madjid  mulai terganggu karena penyakit hati (liver) yang dideritanya dalam jangka waktu yang panjang. Pada tahun 2004 ia berangkat ke RRC untuk menjalani operasi transplantasi pada lever di Taiping People’s Hospital, kota Humen, Dong Guan, Propinsi Guang Zhaou, RRC. Komplikasi yang dideritanya pasca operasi, ia dipindahkan ke Singapura. Setelah mengalami perawatan berbulan-bulan, akhirnya ia dipindahkan ke RS Pondok Indah, Jakarta. Akhirnya, pada tanggal 29 Agusutus 2005, tokoh neo-modernis itu wafat di negara kelahirannya dalam usia 69 tahun setelah beberapa kali dirawat di rumah sakit.

 DAFTAR PUSTAKA
Barton, Greg, 1999, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta : Paramadina.
 Madjid, Nurcholish, 1989, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan,  cet ke-3.
 Madjid, Nurcholish, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban,
 Madjid, Nurcholish, 1993, Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang, Ulumul Qur’an, No. 1 vol. IV.
 Madjid, Nurcholish, 1995, Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina.
 Madjid, Nurcholish, 1995, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta : Paramadina.
 Madjid, Nurcholish, 1997, Masyarakat Religius, Jakarta : Paramadina.
 Madjid, Nurcholish, 2001, Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam, Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama dan Paramadina.
 Madjid, Nurcholish, 2002, Beberapa Pemikiran ke Arah Investasi Demokrasi, Islam Liberalisme Demokrasi: Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin, dan Konteks Global, Jakarta : Paramadina.
 Marwan Saridjo, 2005, Cak Nur di Antara Sarung dan Dasi, Jakarta : Ngali Aksara Permadani.
 Rachman, Budhy Munawar, 2006, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jakarta : Paramadina, CLS dan Mizan.
 Rahardjo, Dawam, 1989, Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid, dalam Pengantar, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan.
 Saleh, Ahmad Syukri, 2007, Metodologi Tafsir al Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, Jakarta : Galang Press
 

[1] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1999, h. 74
[2]Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, 1999, h. 73.
[3] Marwan Saridjo, Cak Nur di Antara Sarung dan Dasi, Jakarta : Ngali Aksara Permadani, 2005, hal. 5.
[4] Marwan Saridjo, Cak Nur di Antara Sarung dan Dasi, 2005, hal. 5.
[5]Menurut penilaian Nurcholish Madjid sendiri, Gontor dipandang sebagai balai pendidikan Islam liberal, yang tercermin melalui mottonya “Berpikir Bebas” setelah “Berbudi Tinggi”, “Berbadan sehat dan Berpengetahuan Luas”, dalam Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1989, cet ke-3, h. 208.
[6] Berkat kunjungan yang kedua inilah Nurcholish Madjid untuk pertama kalinya bertemu dengan Abdurrahman Wahid di bnadara oleh salah seorang panitia penyambutan yang diketahui oleh Abdurrahman Wahid sendiri, dan saat itu Nurcholish Madjid hanya mengetahui Abdurrahman Wahid sebagai cucu guru ayahnya. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, 1999, h. 80.
[7] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, 1999, h. 71-72. Dorongan lain yang tidak bisa terlewat dalam membentuk pemikiran Nurcholish Madjid adalah Hamka. Selama kurang lebih lima tahun, yang pada saat itu masih menjadi mahasiswa dan tinggal di Masjid Agung al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Komaruddin Hidayat mengungkapkan tentang kedekatan dan rasa kagumnya Nurcholish Madjid kepada Hamka. Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1995, h. vii.
[8] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, 1989, h. 204
[9] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 1992, h. 426
[10] Dawam Rahardjo, Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid, dalam Pengantar, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1989, h. 22 & 29.
[11] Perbedaan mendasar antara kaum modernisme dengan neo-modernisme terletak pada perhatiannya dalam hal tradisi. Kaum modernis berusaha membangun visi Islam dimasa modern, dengan sama sekali tidak meninggalkan tradisi warisan intelektual Islam, bahkan jika mungkin mencari akar-akar Islam untuk kemodernan. Sedangkan kaum modernis lama lebih banyak bersikap apaloginetik terhadap gagasan modernitas. Greg Burton, Gagasan Islam Liberal, Jakarta : Paramadina, 2001.
Sementara itu dalam salah satu argumentasinya, Azyumardi Azra menyatakan bahwa Nurcholish Madjid tidak lagi terlalu tepat ditipologikan sebagai tipologisasi sebagai pemikir neo-modernis, tetapi mungkin lebih sebagai neo-tradisionalis karena konsennya lebih tertuju pada peradaban Islam yang khas, yang mengakar pada tradisi Islam yang klasik. Selain dari penilaian tersebut, Azyumardi Azra juga sampai pada kesimpulan bahwa Nurcholish Madjid pemikir yang sulit untuk dikotakkan ke dalam satu tipologi, apalagi sebagai tipologi yang mutlak, dalam Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, Jakarta : Galang Press, 2007, h. 191.
[12] Unsur-unsur keindonesiaan sangat erat kaitannya dengan keislaman bahkan keindonesiaan tidak bisa dipisahkan dengan keislaman maupun sebaliknya. Karakteristik keindonesiaan yang dikemukakannya adalah bahwa kita menerapkan Islam harus paham dengan kultur dan budaya lokal. Di Indonesia belumadanya budaya yang mapan, karena masih dalam proses pertumbuhan, perkembangan dan kemajemukan. Nurcholish Madjid menjelaskan: “Bahwa setiap langkah meaksanakan ajaran Islam di Indonesia harus memperhitungkan kondisi sosial dan budaya yang ciri utamanya adalah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajemukan. Belumada suatu pola sosial budaya yang dapat dipandang sebagai bentuk permanen keindonesiaan. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 1992, h. xvii.
[13] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 1992, h. ii.
[14] M. Dawam Raharjo, Islam dan Modernisasi, dalam pengantar Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1989, h. 27.
[15] M. Dawam Raharjo, Islam dan Modernisasi, dalam pengantar Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, 1989, h. 29-31.
[16] Penjelajahan terhadap masalah ini dapat dilihat dalam khusus “Modernisasi ialah Rasionalisasi Bukan Westernisasi”. Makalah ini juga terdapat  dalam Nurcholish Madjid, Islam Keindonesiaan dan Kemodernan, h. 171-203. Menurutnya, ia ingin menekankan penting berpikir rasional, sehingga akan terjadi apa yang disebut dengan proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah, dan upaya menerapkan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan, sebagai hasil rasio atau pemahaman manusia terhadap hukum-hukum obyektif yang menguasai alam, ideal, material, sehingga alam bertindak menurut kepastian tertentu yang harmonis.
[17] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 1992, h. 427.
[18] Lihat QS. An Nahl 1-6 : 36
[19] Nurcholish Madjid, Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang, Ulumul Qur’an, No. 1 vol. IV, 1993, h. 14
[20] Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jakarta : Paramadina, CLS dan Mizan, 2006, h. 145.
[21] QS. Ali Imran/3 : 18-19.
[22] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta : Paramadina, 1995, h. xvii.
[23] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 1995, h. 38
[24] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 1995, h. 36.
[25] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 1995, h. 45
[26] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 1995, h. 39
[27] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 1995, h. 41
[28] Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban, 1992, h. xxviii
[29] QS. Al Baqarah/2 : 148; QS. Al Maidah/5 : 48; dan QS. Al Hujarat/49 : 13.
[30] Nurcholis Madjid, Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam, Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama dan Paramadina, 2001, h. 173.
[31] Nurcholish Madjid, Beberapa Pemikiran ke Arah Investasi Demokrasi, Islam Liberalisme Demokrasi: Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin, dan Konteks Global, Jakarta : Paramadina, 2002, h. 285.
[32] Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Jakarta : Paramadina, 1997, h. 35
[33] Nurcholish Madjid, Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang, Ulumul Qur’an no. 1, vol. IV, 1993, h. 19.
[34]Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban, 1992, h. 184.
[35] QS. Al Kaafirun/109 : 6
[36] Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban, 1992, h. 180
[37] Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban, 1992, h. xxviii.
[38] Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban, 1992, h. 179
[39] QS. Ar Ruum/30 : 22.
[40] QS. Al Baqarah/2 : 213.
[41] Qs. Al Maidah/5 : 48.
[42] Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban, 1992, h. xxv.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar