Kamis, 26 Juli 2012


MA’RIFAT
DZUN NUN AL-MISHRY

A. Pendahuluan
Tasawuf merupakan suatu kegiatan peribadatan yang mengkondisikan hati supaya selalu jernih, agar selalu mendorong manusia selalu mau mendekatkan diri kepada Allah. Kata Ma’rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka, Ma’rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut ilmu ladunni. Ma’rifat berbeda dengan 'ilm, 'Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu Ma’rifat, lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal, yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah mencapai Ma’rifat, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
Lebih jauh mengenai Ma’rifat dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua, Ma’rifat adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat, sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya.

B. Biografi Dzun Nun Al-Misry
Nama lengkapnya adalah Abu al_Fayd Tawban bin-Ibrahim Dhu-al-Nun al-Akhmimi al-Misry, lahir 154 H di Akhmim (Mesir) dan wafat 240 H/859 M. ia pernah belajar dengan bebrapa guru; misalnya belajar ilmu Hadith dan ilmu Fiqh pada Imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hambal, kemudian belajar ilmu Tasawuf pada Sarri al-Saqti dan Bisyru al-Hafi hingga ia menjadi sufi besar dan wali Allah. Ia pun suka merantau dan berkelana dengan bebrapa sufi besar dan menimba pengalaman mistik dari temannya antara lain dari Ahmad bin Isa al-Kharraz.[1]
Dari negerinya, Mesir beliau berangkat ke negeri-negeri Arab dan Syiria. Liku-liku perjalanan hidupnya di negeri orang, ia pun pernah merasakan pedihnya hidup berhadapan dengan penguasa. Ia pernah ditangkap dan dipenjarakan di Baghdad selama 40 hari.[2]

C. Konsep Ma’rifat Dzun Nun Al-Misry
Walaupun sebelumnya paham Ma’rifat sudah dikenal dikalangan sufi, namun Dzunun lah yang sebenarnya lebih menekankan paham ini dalam tasawuf. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui kecuali bahwa Dzunun banyak melakukan perjalanan ke berbagai wilayah. Daerah yang pernah dikunjunginya antara lain Damaskus, Baghdad, Mekah, Madinah, Suriah, Libanon , dan Antiochia. Di samping seorang sufi, ia ahli Filsafat, Kimia, dan tulisan hieroglif atau tulisan dan abjad mesir kuno.
Dzunun al-Mishry hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu Fiqih, Ilmu Hadist, dan guru sufi, sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti mengajian Ahmad bin Hanbal, ia mengambil Hadist dari Malik, al-Laits dan lain-lainnya. Guru nya dalam bidang tasawauf adalah Syaqran al-‘Abd atau Israfail al-Maghribi. Ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim baik dalam ilmu syari’at maupun tasawuf.
Dzunun merupakan orang pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat para wali dan orang yang pertama member definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf. Pendapat tersebut cukup beralasan mengingat al-Mishry hidup pada masa awal pertumbuhan ilmu tasawuf.
Ajaran-ajaran Dzunun pada pokoknya berpangkal pada masalah Ma’rifat. Di antara ajaran-ajaran Dzunun adalah:
  1. Ada tiga tanda orang yang ikhlas, yaitu:
a.    Keseimbangan sikap antara menerima pujian dengan menerima celaan orang lain.
b.    Lupa melihat perbuatan itu dari dirinya.
c.    Lupa menuntut pahala di akhirat nanti.
  1. Taubatnya orang awam ialah karena dosa-dosanya, sedangkan taubatnya orang yang mempunyai kekhususan adalah karena kelalaiannya dan taubatnya Nabi dari tidak mendekatkan diri kepada Allah.
  2. Serendah-rendahnya kedudukan akan ditemui dalam neraka.
  3. Apa yang terlihat oleh mata diidentikkan dengan ilmu, dan apa yang diketahui dengan hati, maka diidentikkan dengan keyakinan.
  4. Sesungguhnya kebinasaan manusia itu terjadi karena enam perkara, yaitu:
a.    Lemahnya cita-cita untuk akhirat
b.    Tubuhnya tergadai dengan syahwatnya
c.    Merasa hidup masih panjang
d.    Mengutamakan keridhoan manusia
e.    Kurang memperhatikan contoh suri tauladan orang terdahulu
f.     Mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan sunnah Nabi
  1. Dzunun pernah ditanya, “dengan apa engkau mengetahi tuhanmu?” Beliau menjawab: “jika saya melakukan maksiat terhadap Allah maka saya segera ingat kepada-Nya sungguh saya merasa malu kepada-Nya.
  2. Puncak dari orang yang Arif kata Dzunun: “apabila Allah itu ada-Nya sebagaimana ada-Nya terdahulu
  3. Jangan engkau bersahabat di jalan Allah kecuali dengan harmonis, jangan bersahabat dengan sesama makhluk kecuali dengan saling memberi nasehat, jangan berhubungan dengan hawa nafsu kecuali dengan pertentangan dan jangan bersahabat dengan syaithan kecuali dengan permusuhan.
Terhadap murid-muridnya Dzunun selalu menyampaikan pokok-pokok pikirannya dalam menekuni kehidupan tasawuf, antar lain:
  1. Orang yang akan menjadi pengikut tasawuf , harus memulai dengan mengikuti ajaran dasar tasawuf, yaitu mencintai Allah dan Rasulnya, mengikuti petunjuk al-Qur’an, menjauhi kehidupan dunia, selalu khawatir terjadinya perubahan perilaku pada dirinya.
  2. Apabila seseorang telah memiliki ilmu tasawuf, lalu perilakunya sudah benar, maka harus memulai mengamalkan ajaran tasawuf dengan disiplin.
  3. Orang yang akan mencapai tingkat Ma’rifat, harus memulai jenjang maqamat dan kondisi ahwal.
  4. Orang yang sudah sampai ke tingkat Ma’rifat, hatinya menyinari tingkah lakunya, bagai matahari yang menyinari bumi.
  5. Ma’rifat yang tertinggi adalah mahabbah, yaitu selalu mengutamakan Allah di atas segala-galanya, maka  Allahpun akan mengutamakannya.
Pengalamannya dalam mahabbah terlihat dari ucapannya sebagai berikut: “aku memanggil-Mu di hadapan orang lain dengan sebutan ‘wahai tuhanku atau Ya Illahi’, tetapi manakal aku sendirian aku memanggil-Mu dengan panggilan ‘wahai kekasihku atau Ya habibi’.” Baginya, Tuhan adalah zat yang harus dicintai, bukan ditakuti. Dzunun lebih takut berpisah dari Tuhan sang kekasihnya, daripada masuk neraka. Ketakutannya pada neraka sama kecilnya dengan setitik air dibuang ke dalam samudera. Ketika Dzunun ditanya tentang mahabbah, ia menjawab, “Mahabbah adalah mencintai segala yang dicintai Tuhan dan membenci segala yang dibenci Tuhan, mengerjakan kebajikan secara utuh dan sempurna dan menjauhi segala yang membuat kita berpaling dari Tuhan, tidak takut kecaman orang, bersikap lembut kepada orang mukmin, sebaliknya keras dan tegas terhadap orang kafir, dan mengikuti jejak Rasulullah dalam segala hal”.
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi dalam bukunya at-Ta’aruf li Mazahib Ahl at-Tasawuf pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf, Dzunun telah sampai pada tingkat Ma’rifat, yaitu tingkat tertinggi dalam tasawuf setelah melewati taubat, zuhud, fakir, sabar, tawakal ridha, dan cinta atau mahabbah. Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari. Dalam buku itu disebutkan bahwa suatu hari Dzunun ditanya tentang bagaiman Ma’rifat itu diperoleh. Ia menjawa “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama ‘araftu rabbi” yang artinya: Aku mengetahui Tuhan karena Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan mengetahui Tuhan. Kata Abu Qasim Abdul KArim al-Qusyairi, Dzunun mengakui bahwa Ma’rifat yang diperolehnya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifat tidak diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Karena Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya.
Yang dimaksud Dzunnun ialah bahwa ia memperoleh Ma'rifat karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa Ma’rifat datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.
Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb, kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh, ketiga daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.
Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan Ma’rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.
Dzunun membagi Ma’rifat kedalam tiga tingkatan, yakni
  1. Tingkat awam, yaitu mengetahui Tuhan melalui ucapan syhadat
  2. Tingkat ulama, yaitu mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal.
  3. Tingkat sufi, yaitu mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.
Pengetahuan orang awam tentang Tuhan pada asarnya adalah pengetahuan yang diterima dari ajaran agama tanpa memerlukan pembuktian melalui logika, sedangkan pengetahuan ulama mementingkan logika. Baik pengetahuan orang awam maupun pengetahuan ulama tentang Tuhan disebut ilmu, bukan Ma’rifat. Dengan demikian, pengetahuan dalam bentuk Ma’rifat menurut Dzunun adalah pengetahuan tentang Tuhan di kalangan kaum sufi yang dapat melihat Tuhan dengan hati sanubarinya. Pengetahuan serupa ini dianugerahkan Tuhan kepada kaum sufi yang dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan. Dengan keikhlasan beribadah itulah Tuhan menyingkap tabir dari pandangan sufi untuk dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan. Dalam keadaan demikian, seorang sufi dapat melihat keindahan Tuhan yang abadi dan mengetahui keesaan-Nya.
Berikut ini beberapa pandangan Dzunun al-Mishry tentang hakikat Ma’rifat:
  1. Sesungguhnya Ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin , bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutaklimin, dan ahli balagha, tetapi Ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Sebab, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak di bukakan untuk hamba-hambaNya yang lain.
  2. Ma’rifat yang sebenarnya bahwa Allah SWT menyinari hatimu dengan cahaya Ma’rifat yang murni seperti matahari, tidak dapat dilihat kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah SWT sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaannya, mereka merasa hamba, mereka bicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah.
Kedua pandangan Dzunun diatas menjelaskan bahwa Ma’rifat kepada Allah SWT tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal tetapi dengan jalan Ma’rifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi.
Selain Ma’rifat, Dzunun jaga mengungkapkan pengalamannya mengenai khauf atau rasa takut akan murka Allah SWT. Menurutnya, apabila keyakinan seseorang benar, benar pulalah rasa takut atau khauf-nya. Dalam syairnya ia mengatakan “Al-khauf rakib al-‘amal wa al-raja’ syafi’ al-muhif’”, yang artinya takut itu penjaga amal sedangkan harap adalah penolong bencana.
Setelah Ma’rifat itu dicapai, tujuan dan pengaruhnya dapat diterapkan dalam kehidupan. Dzunun mengatakan bahwa Ma’rifat mempunyai jangkauan atau tujuan moral, yakni nilai kemanusiaan seoptimalnya harus berhiaskan akhlak Allah SWT.
Dalam hubungan ini, pergaulan orang arif bagaikan pergaulan Allah SWT. Menurut Dzunun ada tiga tanda orang arif, yaitu:
  1. Cahaya Ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya kerendahan hatinya.
  2. Tidak mengukuhi secara bathiniah ilmu yang bertentangan dengan hukum lahiriah.
  3. Nikmat Allah SWT yang banyak tidak mengiringinya untuk melanggar batas-batas larangan Allah.
Tanda-tanda tersebut pada hakikatnya mengacu kepada profil seorang sufi yang memiliki akhlak yang tinggi yakni akhlak illahiah.
Paham Ma’rifat yang dikemukakan oleh Dzunun Al-Mishry itu diterima oleh al-Ghazali, sehingga mendapat pengakuan di kalangan Ahlusunah waljamaah karena al-Ghazali adalah salah satu figur yang sangat berpengaruh di kalangan mereka. Dengan demikian, al-Ghazali lah yang membuat tasawuf menurut pola piker tersebut menjadi halal bagi kaum syari’at. Penerimaan al-Ghazali terhadap tasawuf pada umumnya dan khususnya Ma’rifat dapat difahami dari pendapatnya. Menurut al-Ghazali, Ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah SWT dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada. Bagi al-Ghazali, alat seorang sufi mendapatkan Ma’rifat adalah kalbu, bukan panca indera dan akal. Pengetahuan yang diperoleh kalbu lebih benar daripada pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Jalan untuk memperoleh kebenaran adalah tasawuf atau Ma’rifat dan bukan falsafah.

D. Penutup
Dari pembahsan singkat di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa Paham Ma’rifat sudah dikenal dikalangan sufi, namun Dzunun lah yang sebenarnya lebih menekankan paham ini dalam tasawuf, karena ajaran-ajaran Dzunun pada pokoknya berpangkal pada masalah Ma’rifat. Selanjutnya tingkatan.
Ma’rifat dalam taswuf akan dicapai setelah melewati beberapa tahap. Sesungguhnya Ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin , bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutaklimin, dan ahli balagha, tetapi Ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Sebab, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak di bukakan untuk hamba-hambaNya yang lain.


[1] Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II, Kalam Mulia; Jakarta, 2010. hal. 129
[2] Asrifin Tokoh-Tokoh Sufi, CV. Karya Utama; Surabaya, hal. 72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar