Gender,
Sosialisasi, dan Realitas Sosial
Sosialisasi, enkulturasi, serta
konstruksi sosial budaya dalam masyarakat telah melahirkan bias gender.
Perempuan di ranah domestik, laki-laki di ranah publik. Telah terjadi salah
pemahaman dalam masyarakat, terkait dengan masalah gender. Gender sering kali
dimaknai dan dipahami oleh masyarakat sebagai suatu sifat yang melekat pada
masing-masing jenis kelamin laki-laki dan perempuan, yang tidak dapat
diubah-ubah.
Fakih (2005: 12) memberikan pengertian yang sangat
mudah untuk dipahami terkait dengan masalah gender. Fakih membedakan antara
gender dan seks.
Seks dimaknai
sebagai perbedaan yang melekat pada masing-masing jenis kelamin laki-laki dan
perempuan, dilihat dari ciri biologisnya. Misalnya laki-laki adalah manusia
yang memiliki kala menjing, dan menghasilkan sperma. Sementara perempuan adalah
manusia yang memiliki buah dada, memproduksi sel telur, mengandung, dan
mengalami menstruasi.
Sementara gender adalah sifat yang
melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan
budaya. Misalnya laki-laki dikonstruksikan sebagai manusia yang berperangai
kasar, tidak cengeng, kuat, dan lain sebagainya yang sejenis. Sementara
perempuan adalah manusia yang memiliki sifat lemah lembut, suka menjaga,
perasa, penyabar, cengeng, dan lain sebagainya yang sejenis. Semua ciri-ciri
ini merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Dalam artian, bisa jadi, suatu
saat pada tempat yang berbeda, ada masyarakat yang laki-lakinya lemah lembut
dan perasa, sementara perempuannya lebih perkasa dan kuat.
Dalam faktanya, gender telah dimaknai
oleh sebagian besar masyarakat di seluruh dunia sebagai suatu kodrat atau
sesuatu yang tidak bisa dipertukarkan. Padahal tidak demikian adanya. Sebab
gender pada dasarnya adalah sifat yang bisa dipertukarkan.
Perempuan dengan konstruksi gendernya,
kemudian dianggap lebih pantas untuk bekerja di ranah domestik, sementara
laki-laki bekerja di ranah publik. Mengasuh anak, mencuci, memasak, merawat
rumah, dianggap pekerjaan yang lebih pantas untuk perempuan (sering kali
dianggap kodrat perempuan).
Sementara pekerjaan publik, konselor,
hakim, mentri, dan lain sebagainya, dianggap lebih pantas sebagai pekerjaan
laki-laki. Seberapa banyak dan beratnya pekerjaan perempuan, sering kali tidak
dianggap. Sementara laki-laki, yang boleh jadi lebih sedikit waktunya dalam
bekerja, sering kali lebih dihormati oleh masyarakat daripada perempuan itu
sendiri. Hal ini tidak lain karena jenis pekerjaan laki-laki dan perempuan
dianggap lebih tinggi pekerjaan laki-laki.
Pada masa sekarang sudah banyak
perempuan-perempuan yang bekerja di ranah publik. Tidak hanya sekadar mitra
sejajar laki-laki semata, namun lebih dari keikutsertaan mereka menjadi penentu
kebijakan pembangunan. Sebenarnya tidak di masa sekarang saja perempuan
terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat publik. Pada
masa-masa awal Islam sudah banyak kaum perempuan yang terlibat dalam
kegiatan-kegiatan yang bersifat publik. Seperti al-Khayzuran, ibu Harun
al-Rashid, ’Ulayah, Zubaydah, mereka adalah perempuan-perempuan yang terlibat
dalam urusan kenegaraan. Atau Malikah Marwah atau lebih dikenal dengan Malikah
Hurrah yang telah memberikan gagasan kemerdekaan. Ada juga perempuan yang ahli
dalam bidang musik pada saat itu yaitu seperti ’Ubaydah al-Tunburiah (Engineer,
2003: 28).
Secara mendasar, gender berbeda dengan
jenis kelamin biologis. Gender merujuk pada definisi sosial budaya dari
laki-laki dan perempuan, cara masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan
serta memberikan peran sosial kepada mereka. Jenis kelamin merupakan pemberian,
manusia dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan.
Penentuan ketidakadilan gender terjadi
ketika laki-laki atau perempuan merasa dirugikan. Sejak terlahir sebagai bayi
mungil hingga mencapai usia tua, manusia mempelajari dan mempraktikan cara-cara
khusus yang telah ditentukkan oleh masyarakat untuk menjadi laki-laki dan
perempuan.
Menurut Webster’s New World
Dictionary (dalam
Kadarusman, 2005: 19-20) gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Definisi ini
lebih menekankan aspek kultural dibandingkan pemaknaan secara anatomis”.
Menurut Wowen’s Studies Enclyopedia (dalam Kadarusman, 2005: 20) dijelaskan bahwa “gender adalah suatu konsep
kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam peran,
perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan
yang berkembang dalam masyarakat”. Menurut Fakih (2005: 9), “gender adalah
perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara
sosial yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh
manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultur yang panjang”.
Menurut Budiman (2001: 1), “secara
bersama-sama memoles peran gender dalam hal ini kelelaki-lelakian dan
keperempuanan tidak semata-mata dipahami secara biologis, yakni sebagai jenis
kelamin (seks) tetapi sebagai konstruksi kultural, yakni apa yang belakangan
ini lebih trendi disebut gender”. Sementara menurut Jill Steal (dalam
Kadarusman, 2005: 20), mengatakan bahwa “gender tidak ditujukan kepada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara biologis, tetapi merupakan
hubungan ideologis dan material tentang eksistensi keduanya”.
Dari beberapa pengertian gender di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa gender sebenarnya suatu konsep kultural yang
menyangkut peran laki-laki dan perempuan secara sosial dalam masyarakat yang
sewaktu-waktu dapat berubah. Jadi, gender bukan merupakan perbedaan laki-laki
dan perempuan karena jenis kelamin yang mereka miliki.
Perbedaan gender sebenarnya tidaklah
menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun yang
menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai
ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki maupun (terutama) bagi kaum perempuan.
Gender bisa dinilai membatasi dan
mendahului kehidupan individu, individu lahir ke dalamnya sebagaimana halnya
individu lahir ke dalam keluarga dan gender bekerja pada suatu tingkatan di
luar tujuan individu. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa secara beragam
tuntutan yang beragam dan menghendaki perempuan berangkat dari realita pertama
bahwa “secara garis besar jumlah perempuan lebih besar dari jumlah laki-laki,
kedua relasi laki-laki dan perempuan cenderung biasa karena menjadi perempuan
sebagai makhluk kedua baik secara ekonomi, sosial, maupun teologis, kerja
domestik perempuan belum mendapat penghargaan yang layak, termasuk dari suami”
(Mujtaba, 2001: 3).
Masyarakat menentukkan norma-norma yang
berbeda untuk perempuan dan laki-laki, anak-anak maupun dewasa, yang
menentukkan hampir setiap aspek kehidupan mereka, dan masa depan mereka. Adapun
aspek-aspek yang membedakan antara perempuan dan laki-laki antara lain,
pakaian, peran, sifat dan tanggung jawab. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa bias
gender muncul karena adanya konstruksi peran gender dalam masyarakat secara
sosial dan budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar