Senin, 16 Juli 2012


Gender, Sosialisasi, dan Realitas Sosial
Sosialisasi, enkulturasi, serta konstruksi sosial budaya dalam masyarakat telah melahirkan bias gender. Perempuan di ranah domestik, laki-laki di ranah publik. Telah terjadi salah pemahaman dalam masyarakat, terkait dengan masalah gender. Gender sering kali dimaknai dan dipahami oleh masyarakat sebagai suatu sifat yang melekat pada masing-masing jenis kelamin laki-laki dan perempuan, yang tidak dapat diubah-ubah.
Fakih  (2005: 12) memberikan pengertian yang sangat mudah untuk dipahami terkait dengan masalah gender. Fakih membedakan antara gender dan seks.
Seks dimaknai sebagai perbedaan yang melekat pada masing-masing jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dilihat dari ciri biologisnya. Misalnya laki-laki adalah manusia yang memiliki kala menjing, dan menghasilkan sperma. Sementara perempuan adalah manusia yang memiliki buah dada, memproduksi sel telur, mengandung, dan mengalami menstruasi.

Sementara gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Misalnya laki-laki dikonstruksikan sebagai manusia yang berperangai kasar, tidak cengeng, kuat, dan lain sebagainya yang sejenis. Sementara perempuan adalah manusia yang memiliki sifat lemah lembut, suka menjaga, perasa, penyabar, cengeng, dan lain sebagainya yang sejenis. Semua ciri-ciri ini merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Dalam artian, bisa jadi, suatu saat pada tempat yang berbeda, ada masyarakat yang laki-lakinya lemah lembut dan perasa, sementara perempuannya lebih perkasa dan kuat.
Dalam faktanya, gender telah dimaknai oleh sebagian besar masyarakat di seluruh dunia sebagai suatu kodrat atau sesuatu yang tidak bisa dipertukarkan. Padahal tidak demikian adanya. Sebab gender pada dasarnya adalah sifat yang bisa dipertukarkan.
Perempuan dengan konstruksi gendernya, kemudian dianggap lebih pantas untuk bekerja di ranah domestik, sementara laki-laki bekerja di ranah publik. Mengasuh anak, mencuci, memasak, merawat rumah, dianggap pekerjaan yang lebih pantas untuk perempuan (sering kali dianggap kodrat perempuan).
Sementara pekerjaan publik, konselor, hakim, mentri, dan lain sebagainya, dianggap lebih pantas sebagai pekerjaan laki-laki. Seberapa banyak dan beratnya pekerjaan perempuan, sering kali tidak dianggap. Sementara laki-laki, yang boleh jadi lebih sedikit waktunya dalam bekerja, sering kali lebih dihormati oleh masyarakat daripada perempuan itu sendiri. Hal ini tidak lain karena jenis pekerjaan laki-laki dan perempuan dianggap lebih tinggi pekerjaan laki-laki.
Pada masa sekarang sudah banyak perempuan-perempuan yang bekerja di ranah publik. Tidak hanya sekadar mitra sejajar laki-laki semata, namun lebih dari keikutsertaan mereka menjadi penentu kebijakan pembangunan. Sebenarnya tidak di masa sekarang saja perempuan terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat publik. Pada masa-masa awal Islam sudah banyak kaum perempuan yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat publik. Seperti al-Khayzuran, ibu Harun al-Rashid, ’Ulayah, Zubaydah, mereka adalah perempuan-perempuan yang terlibat dalam urusan kenegaraan. Atau Malikah Marwah atau lebih dikenal dengan Malikah Hurrah yang telah memberikan gagasan kemerdekaan. Ada juga perempuan yang ahli dalam bidang musik pada saat itu yaitu seperti ’Ubaydah al-Tunburiah (Engineer, 2003: 28).
Secara mendasar, gender berbeda dengan jenis kelamin biologis. Gender merujuk pada definisi sosial budaya dari laki-laki dan perempuan, cara masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan serta memberikan peran sosial kepada mereka. Jenis kelamin merupakan pemberian, manusia dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan.
Penentuan ketidakadilan gender terjadi ketika laki-laki atau perempuan merasa dirugikan. Sejak terlahir sebagai bayi mungil hingga mencapai usia tua, manusia mempelajari dan mempraktikan cara-cara khusus yang telah ditentukkan oleh masyarakat untuk menjadi laki-laki dan perempuan.
Menurut Webster’s New World Dictionary (dalam Kadarusman, 2005: 19-20) gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Definisi ini lebih menekankan aspek kultural dibandingkan pemaknaan secara anatomis”. Menurut Wowen’s Studies Enclyopedia (dalam Kadarusman, 2005: 20)  dijelaskan bahwa “gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat”. Menurut Fakih (2005: 9), “gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultur yang panjang”.
Menurut Budiman (2001: 1), “secara bersama-sama memoles peran gender dalam hal ini kelelaki-lelakian dan keperempuanan tidak semata-mata dipahami secara biologis, yakni sebagai jenis kelamin (seks) tetapi sebagai konstruksi kultural, yakni apa yang belakangan ini lebih trendi disebut gender”. Sementara menurut Jill Steal (dalam Kadarusman, 2005: 20), mengatakan bahwa “gender tidak ditujukan kepada perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara biologis, tetapi merupakan hubungan ideologis dan material tentang eksistensi keduanya”.
Dari beberapa pengertian gender di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa gender sebenarnya suatu konsep kultural yang menyangkut peran laki-laki dan perempuan secara sosial dalam masyarakat yang sewaktu-waktu dapat berubah. Jadi, gender bukan merupakan perbedaan laki-laki dan perempuan karena jenis kelamin yang mereka miliki.
Perbedaan gender sebenarnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki maupun (terutama) bagi kaum perempuan.
Gender bisa dinilai membatasi dan mendahului kehidupan individu, individu lahir ke dalamnya sebagaimana halnya individu lahir ke dalam keluarga dan gender bekerja pada suatu tingkatan di luar tujuan individu. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa secara beragam tuntutan yang beragam dan menghendaki perempuan berangkat dari realita pertama bahwa “secara garis besar jumlah perempuan lebih besar dari jumlah laki-laki, kedua relasi laki-laki dan perempuan cenderung biasa karena menjadi perempuan sebagai makhluk kedua baik secara ekonomi, sosial, maupun teologis, kerja domestik perempuan belum mendapat penghargaan yang layak, termasuk dari suami” (Mujtaba, 2001: 3).
Masyarakat menentukkan norma-norma yang berbeda untuk perempuan dan laki-laki, anak-anak maupun dewasa, yang menentukkan hampir setiap aspek kehidupan mereka, dan masa depan mereka. Adapun aspek-aspek yang membedakan antara perempuan dan laki-laki antara lain, pakaian, peran, sifat dan tanggung jawab. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa bias gender muncul karena adanya konstruksi peran gender dalam masyarakat secara sosial dan budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar