Selasa, 17 Juli 2012

Persepsi Ulama Tentang Keluarga Berencana
1.    Pengertian
“Kata ulama merupakan bentuk jamak dari kata Alimun menurut arti filosofis ulama adalah orang yang berilmu. Para filolog bahasa Arab (figh al-lughah al arabiyyah) memberikan pengertian bahwa orang yang mendalami ilmu di sebut alim. Sedangkan orang yang menguasai ilmu di sebut adib” (Suharman, 2002: 21).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008: 1174) “ulama adalah orang yang ahli dalam agama Islam”.
Lebih lanjut defenisi tentang ulama adalah:
Perkataan ulama itu adalah satu istilah dalam bahasa Arab. Ia adalah perkataan jamak (plural), yang berasal dari perkataan tunggalnya ‘alimun. Makna 'alimun' ialah ‘seorang alim’ atau ‘orang pandai’. Maka ulama ’ tentulah bermakna ‘orang-orang alim’. Boleh juga dikatakan ulama itu ialah para ilmuan atau para cerdik pandai, Kalau mengikut artinya dari segi bahasa, ulama itu ialah orang-orang alim dalam apa saja bidang ilmu. Sama ada ilmu dunia atau ilmu Akhirat; ilmu baik atau ilmu jahat. Tidak kira sama ada ilmu itu diamalkan atau tidak. Orang-orang yang mempunyai ilmu di bidang ekonomi misalnya, maka menurut istilah Arab (bahasa), mereka disebut ulama. Demikian juga orang-orang yang mengetahui ilmu ushuluddin, maka dari segi bahasa mereka itu adalah ulama.”.( http://cintasayangku.blogspot.com: 16-12-2011)

Dilihat dari sudut pandang masyarakat luas bahwa ulama itu adalah orang yang berpengetahuan dalam bidang agama yang biasa dipercayakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan. Ulama merupakan orang yang telah berpengetahuan tentang masalah agama, artinnya; ajaran tauhid orang yang biasa dikedepankan untuk menyelesikan persoalan keagamaan, yang mana mereka bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri dan orang lain, bahkan terhadap Allah SWT.
Pengertian ulama perspektif al-Qur’an yang dipahami lewat teks dan konteksnya adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah SWT, baik yangQauliyah (ajaran Qur’an atau agama) maupun yang Kauniyah (ilmu pengetahuan umum dan teknologi) yang bisa mengantarkan manusia kepada pengetahuan tentang kebenaran Allah dan memiliki sifat taat dan khasyyah (takut) pada-Nya, sesuai antara ilmu dan amalnya serta ikhlas dalam beramal. Sedangkan pengertian ulama perspektif Hadits lewat interpretasi para ulama salaf lebih sempit dari perspektif al-Qur’an di atas, karena hanya membatasi pada orang-orang yang mengusai ayat-ayat qauliayah saja. Padahal teks Haditsnya masih sangat umum dan masih memungkinkan untuk reinterpretasi yang berbeda. Maka penulis lebih mendukung pengertian ulama perspektif al-Qur’an, bahkan bila perlu wilayah kepemimpinan ulama tidak terbatas sebagai pemimpin spritual tapi juga pemimpin negara, minimal sebagai pemimpin non formal pada sebuah wilayah (Arfan, http://www.madadulhaqq.net/category/artikel-terbaru/: 16-12-2011).

Dari pengertian di atas dapat kita gambarkan bahwa ulama itu adalah orang yang memiliki pengetahuan orang yang dituakan dalam bidang keagamaan (agama Islam) Ulama itu memiliki karismatik, dicintai dan dipatuhi oleh umat yang menjadi pengikutnya, dan dengan sendirinya mempunyai wibawa dan pengaruh yang menentukan dalam mengendalikan umat. Kita semua menyadari betapa pentingnya peran ulama dalam kehidupan sosial untuk membangun umat dengan menyampaikan ajaran Islam pada umat manusia. Dengan demikian orientasi tugas pokok ulama adalah mengayomi umat terutama dalam masalah pendidikan agama Islam. Hal ini disebabkan tanggungjawab seorang ulama pada dasarnya sebagai orang yang berilmu harus menyampaikan ilmunya kepada umatnya.
Jadi pengertian ulama memang sangat spesifik, sehingga penggunaannya tidak boleh pada sembarang orang. Semua syaratnya jelas dan spesifik serta disetujui oleh umat Islam. Paling tidak, dia menguasai ilmu-ilmu tertentu, seperti ilmu Al-Quran, ilmu hadits, ilmu fiqih, ushul fiqih, qawaid fiqhiyah serta menguasai dalil-dalil hukum baik dari Quran dan sunnah. (Sarwat, http://www.ustsarwat.com: 16-12-2011)
Yaqub membagi pengertian ulama menjadi lima kategori yang harus dipenuhi oleh seorang ulama, antara lain:
1) Ulama yang menjadi ahli waris nabi itu pertama kali ditandai dengan sikapnya yang hanya takut kepada Allah. Dalam istilah al Qur’an disebut khasy-yah. Khasy-yah adalah rasa takut yang dibarengi dengan penghormatan dan ketaatan. Orang yang khasy-yah kepada Allah justru akan semakin mendekati Allah, bukan malah lari dan meninggalkannya. Karenanya, ulama ahli waris nabi selalu takut dan taat kepada Allah bukan berperilaku maksiat. 2) Sebelum memiliki sifat khasy-yah, ulama ahli waris nabi memiliki ilmu agama. Ia tidak sekedar mengetahui ilmu agama Islam untuk diamalkan oleh dirinya sendiri, tetapi juga mampu memberikannya kepada orang lain, minimal dapat menjawab pertanyaann-pertanyaan agama yang disampaikan kepadanya, 3) ulama ahli waris nabi adalah ia akrab dengan rakyat kecil, 4) zuhud adalah sikap untuk tidak mencintai dunia setelah dunia dikuasai. Banyak orang  miskin tetapi hatinya mencintai dunia, dan banyak orang kaya tetapi tidak tidak mencintai dunia, 5) ulama itu sudah berusia minimal empat puluh tahun. Menurut para ahli, usia empat puluh tahun itu adalah usia kematangan bagi seseorang. Pada usia itu ia sudah istiqomah (tenang jiwanya) dan mapan pribadinya, sehingga layak menjadi anutan kaummnya (Yaqub, 2003: 160).

Berdasarkan uraian di atas dan pengertian inilah kita sekarang memberi gelaran ulama itu kepada seseorang. Yakni siapa saja yang alim walau dalam bidang ilmu apa pun, dipanggil ulama. Mungkin tidak salah kalau itu disandarkan pada arti lahir dari perkataan ulama itu.


2.    Pandangan Ulama’ terhadap Keluarga Berencana
 Keluarga Berenca (KB) pernah menjadi salah satu issu hangat dan kontroversial dalam pemikiran Islam modern. Ada sejumlah persoalan yang muncul terkait dengan masalah Islam dan KB, mulai dari masalah pengertiannya (apakah berarti pengaturan keturunan atau pembatasan keturunan), hukum ber-KB, persoalan alat kontrasepsi (cara kerja, hukum penggunaan, serta implikasinya terhadap kesehatan reproduksi perempuan), hingga kebijakan demografi negara dengan berbagai dampaknya.
Islam mencita-citakan lahirnya generasi bangsa yang kuat dan tangguh dalam segala bidang. Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi mengingatkan umat manusia agat tidak melahirkan generasi yang lemah baik secara spiritual, sosial ekonomi, budaya maupun politik. Salah satu upaya untuk melahirkan generasi yang unggul dan tangguh adalah mengatur jarak kelahiran atau yang dalam bahasa fiqh disebut tandhimu an-nasl, dan dengan menggunakan alat kontrasepsi yang dalam istilah fiqh disebut dengan man’u al-hamli (Muhajir, 2011: 3).

KB secara prinsipil dapat diterima oleh Islam, bahkan KB dengan maksud menciptakan keluarga sejahtera yang berkualitas dan melahirkan keturunan yang tangguh sangat sejalan dengan tujuan syari`at Islam yaitu mewujudkan kemakmuran bagi umatnya. Selain itu, KB juga memiliki sejumlah manfaat yang dapat mencegah timbulnya kemudlaratan. Bila dilihat dari fungsi dan manfaat KB yang dapat melahirkan kemakmuran dan mencegah kemudlaratan maka tidak diragukan lagi kebolehan KB dalam Islam.
Keluarga berencana yang dirintis PKBI tahun 1957, sejak awal didukung oleh tokoh agama Islam Nahdlatul Ulama (NU), DR. KH Idham Chalid, Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat (1969-1973/74), KH SM Nazaruddin Latief, Ny. Wahid Hasyim, istri Menteri Agama saat itu, Ny. Raimah Raib dari organisasi Wanita Islam, dan lain-lainnya. Mereka termasuk pemikir, aktivis dan pendukung gerakan KB. BKKBN yang didirikan tahun 1970, salah satu anggota Dewan Pembimbingnya adalah DR. KH Idham Chalid, yang juga Ketua PKBI. (25 Tahun Gerakan Keluarga Berencana, Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, 1995).
Setelah itu, dukungan agama Islam terhadap KB makin kuat dengan keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah 1968 dan Syuriah NU 1969 yang membolehkan berKB untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, atas persetujuan suami istri, dan agar anak-anak yang dilahirkan tidak menjadi beban orang lain. Hal yang lebih strategis, setelah itu issue KB menjadi wacana dan topik diskusi terbuka dan luas di antara para tokoh agama. Ini membuat KB makin diterima serta membuka jalan proses transformasi kesadaran dan pemahaman di antara pemuka agama tentang pentingnya KB.
Para ulama yang membolehkan KB sepakat bahwa Keluarga Berencana (KB) yang dibolehkan syari`at adalah suatu usaha pengaturan/penjarangan kelahiran atau usaha pencegahan kehamilan sementara atas kesepakatan suami-isteri karena situasi dan kondisi tertentu untuk kepentingan (maslahat) keluarga. Dengan demikian KB disini mempunyai arti sama dengan tanzim al nasl (pengaturan keturunan). Sejauh pengertiannya adalah tanzim al nasl (pengaturan keturunan), bukan tahdid al nasl (pembatasan keturunan) dalam arti pemandulan (taqim) dan aborsi (isqot al-haml), maka KB tidak dilarang. Pemandulan dan aborsi yang dilarang oleh Islam disini adalah tindakan pemandulan atau aborsi yang tidak didasari medis yang syari`i. Adapun aborsi yang dilakukan atas dasar indikasi medis, seperti aborsi untuk menyelamatkan jiwa ibu atau karena analisa medis melihat kelainan dalam kehamilan, dibolehkan bahkan diharuskan. Begitu pula dengan pemandulan, jika dilakukan dalam keadaan darurat karena alasan medis, seperti pemandulan pada wanita yang terancam jiwanya jika ia hamil atau melahirkan maka hukumnya mubah. Kebolehan KB dalam batas pengertian diatas sudah banyak difatwakan , baik oleh individu ulama maupun lembaga-lembaga ke Islaman tingkat nasional dan internasional, sehingga dapat disimpulkan bahwa kebolehan KB dengan pengertian /batasan ini sudah hampir menjadi Ijma`Ulama. (BKKBN, 2008: 5).

Dalam kepemimpinan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Syukri Ghozali, dan Ketua Komisi Fatwa, Prof KH Ibrahim Hosen, MUI dalam Musyawarah Nasional Ulama 12-15 Oktober 1983, tentang tentang Kependudukan, Kesehatan dan Pembangunan, memutuskan untuk mendukung program pembangunan kependudukan dan KB. Masalah kependudukan yang dihadapi Indonesia, membuat MUI berpendapat: “Pertambahan penduduk yang tidak terkendali dapat menimbulkan berbagai masalah di masyarakat, antara lain terjadinya konflik ekonomi dan konflik sosial”. MUI juga mencermati, “Tingkat kematian yang masih tinggi, terutama kematian anak balita, dan tingkat kelahiran yang masih tinggi memerlukan peningkatan pelayanan kesehatan dan pemeliharaan kesehatan lingkungan”. Mengingat KB juga menyangkut kemaslahatan umat, MUI menyatakan bahwa: “Ini suatu ikhtiar atau usaha manusia untuk mengatur kehamilan dalam keluarga asalkan tidak melawan hukum agama, undang-undang Negara dan moral Panca Sila dan demi mencapai kesejahteraan bangsa pada umumnya. Ajaran Islam membolehkan KB untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, pendidikan anak agar menjadi anak yang sehat, cerdas dan saleh”. Namun MUI tetap berpesan agar KB dilaksanakan secara sukarela, tanpa paksaan, serta memperhatikan nilai-nilai adat dan kaidah-kaidah agama (MUI, 1984)
Lebih lanjut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI, 2009: 195) tentang persoalan keluarga berencana adalah:
Keyakinan umat Islam Indonesia bahwa Islam menganjurkan untuk memperbanyak keturunan, kelihatannya harus difahami dengan pemahaman yang relatif “kontekstual”. Artinya, hadits yang menganjurkan untuk memperbanyak keturunan itu harus dipahami sebagai “anjuran untuk umat Islam sebagai individu, sehingga setiap individu masih dapat mempertimbangkan situasinya, apakah padanya ada kemampuan untuk melaksanakan anjuran tersebut ataukah tidak”. Hadits ini harus dilihat dari segi keadaan umat Islam pada masa Nabi. Anjuran Nabi itu, dimaksudkan untuk memperkuat barisan umat Islam, yang ketika itu masih sedikit jumlahnya, hadits itu secara kontekstual seyogyanya difahami bahwa jika sekarang ini umat Islam, khususnya di Indonesia, sudah cukup banyak jumlahnya, maka hadits dapat difahami lain. Berdasarkan kerangka berpikir yang disebut terakhir ini umat Islam tidak lagi dituntut untuk membina dan meningkatkan kualitas keturunan yang telah ada. Hal ini dapat dilihat, bahwa disamping ada isyarat dari Al Qur’an dan Hadits tentang anjuran untuk memperoleh keturunan, namun jangan dilupakan bahwa dalam Al Qur’an dan Hadits juga ada isyarat pentingnya meningkatkan kualitas umat Islam. Keluarga Berencana harus dilakukan dengan cara-cara yang benar, disetujui oleh suami-isteri dan tidak membahayakan bagi yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan ungkapan “cara yang benar” adalah cara-cara yang tidak menyalahi prinsip-prinsip ajaran Islam. Kemudian persetujuan suami-isteri diperlukan, guna menghindari ketidakpuasan salah satu pihak, yang akan berakibat adanya beban psikologis bagi yang bersangkutan. Sedangkan pernyataan “tidak membahayakan” dapat diartikan sebagai cara yang tidak merusak atau mengubah organisme yang bersangkutan. Contoh metode pencegah kehamilan yang pernah dilakukan di zaman Rasulullah SAW adalah azl yakni mengeluarkan air mani di luar vagina istri atau yang lazim disebut senggama terputus, namun tidak dilarang oleh Rasul. Dari Jabir berkata: 'Kami melakukan azl di masa Rasulullah SAW, dan Rasul mendengarnya tetapi tidak melarangnya (HR. Bukhari dan Muslim). Dari hadits tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnyan’azl itu boleh dilakukan. Sekiranya hal itu dilarang, maka pasti Nabi akan menyatakan dengan tegas larangan tersebut.

Ulama Islam tidak melarang KB asalkan penundaan kehamilan dan membatasi kelahiran dilakukan untuk menjaga kesehatan ibu dan anaknya. Telah dipahami bahwa melahirkan terlalu sering, terlalu dekat waktunya, dan di usia terlalu muda atau terlalu tua akan membahayakan kesehatan dan hidup ibu serta anak. Hal ini juga akan menyulitkan ekonomi keluarga sehingga tak bisa mengasuh, membesarkan dan mendidik anak dengan baik. 
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa KB diperbolehkan dengan alasan-alasan tertentu misalnya untuk menjaga kesehatan ibu, mengatur jarak diantara dua kelahiran, untuk menjaga keselamatan jiwa, kesehatan atau pendidikan anak-anak. Namun KB bisa menjadi tidak diperbolehkan apabila dilandasi dengan niat dan alasan yang salah, seperti takut miskin, takut tidak bisa mendidik anak, dan takut mengganggu pekerjaan orang tua. Dengan kata lain, penilaian tentang KB tergantung pada individu masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar