oleh Fajri Al Mughni
A. Biografi al-Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, digelar Hujjah (Acuan) Al-Islam lahir di Thus, bagian kota Khurasan, Iran pada 450 H (1056 M). Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana sebagai pemintal benang (ghazzal) sehingga dijuluki al-Ghazzali, karena dinisbatkan kepada mata pencaharian ayahnya, tetapi ayah mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat simpatiknya pada ulama, dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu memberi nasehat pada umat. Sebelum ayahnya wafat, ayahnya menitipkan anaknya Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad yang pada itu masih kecil, kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan didikan dan bimbingan.
Pendidikan awal pada tahun (465-470 H), Al-Ghazali belajar fikih dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad Al-Radzkani di Thus, dan dari Abu Nasr Al-Isma’ili di Jurjan. Pada tahun 473 H, ia pergi ke Naisabur untuk belajar di madrasah Al-Nizhamiyah. Disanilah al-Ghazali berkenalan dengan Al-Juwaini (w.478 H/1085 M sebagai tenaga pengajar. Dari Al-Juwaini ia memperoleh ilmu kalam dan mantiq. Al-Juwaini adalah tokoh yang berperan penting dalam menfilsafatkan teologi Asy’ariyah.
Menurut Al-Subki, Al-Juwaini yang mengenalkan Al-Ghazali pada filsafat termasuk logika dan filsafat alam melalui disiplin teologi. Al-Ghazali menjadi pembahas yang paling pintar dizamannya, dan juga gurunya merasa bangga dengan prestasi muridnya itu. Walaupun kemasyhuran telah diraihnya Al-Ghazali, ia tetap setia kepada gurunya dan tidak meninggalkannya sampai wafat pada tahun 478 H. Di Naisabur Al-Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu ‘Ali Al-Fadhl ibn Muhammmad ibn ‘Ali Al- Farmadzi (w. 477 H/1084 M).
Setelah gurunya wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju Askar untuk berjumpa dengan Nizham Al-Mulki perdana menteri Sultan Saljuk Malikiyah. Di daerah ini, ia mendapat kehormatan untuk berdebat dengan para ulama. Dari perdebatan yang dimenangkannya ini, namanya semakin populer dan disegani karena keluasan ilmunya. Pada tahun, 484 H(1091 M) Al-Ghazali dingkat menjadi guru besar di madrasah Nizhamiyah, Baghdad selama lebih kurang empat tahun.
Pada tahun 488 H (1095 M) Al-Ghazali dilanda keragu-raguan, skeptis, terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum, teologi, dan filsafat), kegunaan pekerjaanya dan karya-karya yang dihasilkannnya, sehingga ia menderita penyakit selama dua bulan, dan sulit diobati. Karena itu, Al-Ghazali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagian besar di madrasah Nizhamiyah. Akhirnya ia meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus. Selama kira-kira dua tahun Al-Ghazali di kota ini ia melakukan uzlah, riyadhah, dan mujahadah. Kemudian ia pindah ke Bait Al-Maqdis, Palestina untuk melaksanakan ibadah serupa, setelah itu, hatinya tergerak untuk menunaikan ibadah haji dan menziarahi maqam Rasulullah. Sepulang dari tanah suci, Al-Ghazali mengunjungi kota kelahirannya, Thus; di sini pun tetap berkhalwat.
Keadaan skeptis Al-Ghazali berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah ia menulis karya terbesar Ihya’ ‘Ulum Al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama). Karena desakan penguasa Saljuk. Al-Ghazali mengajar kembali pada madrasah Nizhamiyah di Naisabur, tetapi hanya berlangsung dua tahun, kemudian ia kembali Thus untuk mendirikan madrasah bagi para fuqaha, dan sebuah zawiyah atau khanaqah untuk para mutasawwin. Di kota itulah Al-Ghazali pada akhir hidupnya, dia menghabiskan waktunya untuk beribadah dan dia wafat 505 H (1111M), dalam uisa 54 tahun.
B. Metafisika
Dalam lapangan metafisika (ketuhanan), Al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap Neo-Platonisme islam, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Untuk itu secara langsung Al-Ghazali mengecam dua tokoh Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), dan Aristoteles, guru mereka. Menurut Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, para pemikir bebas tersebut ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan islam dan mengabaikan dasar-dasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka. Kekeliruan filsuf tersebut sebanyak dua puluh persoalan (enam belas dalam bidang metafisika dan empat dalam bidang fisika). Dalam tujuh belas soal mereka harus dinyatakan sebagai ah-bida’ , sedangkan dalam tiga soal lainnya, mereka dinyatakan sebagai kafir, karena pikiran-pikiran mereka dalam tiga soal teresbut berlawanan sama sekali dengan pendirian semua kaum muslimn.10 Diantara dua puluh soal persoalan yang dimaksud adalah:
a) Alam qadim (tidak bermula);
b) Keabadian (abadiah) alam, masa, dan gerak;
c) Konsep tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaan-Nya; ungkapan ini bersifat metaforis;
d) Demonstrasi/pembuktian eksistensi penciptaan alam;
e) Penolakan akan sifat-sifat tuhan;
f) Argumen rasional bahwa tuhan itu satu dan mungkinnya pengandaian dua wajib al-wujud;
g) Kemustahilan konsep genus (jins) kepada tuhan
h) Wujud tuhan dalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi;
i) Argumen rasional tentang sebab dan pencipta alam (hukum tak dapat berubah);
j) Argumen rasional bahwa tuhan bukan tubuh (jism);
k) Pengetahuan tuhan tentang selain diri-Nya, dan tuhan mengetahui species dan secara universal;
l) Pembuktian bahwa tuhan mengetahui diri-Nya sendiri;
m) Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum;
n) Langit adalah makhluk hidup dan mematuhi tuhan dengan gerak putarnya;
o) Tujuan yang menggerakkan langit;
p) Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula (al-juziyyat al-haditsah);
q) Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa;
r) Jiwa manusia adalah subtansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak terpateri pada tubuh, daan bukan tubuh;
s) Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi kita membayangakan kehancurannya;
t) Penolakan terhadap kebangkitan jasmani Tiga persoalan yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir adalah:
1. Alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal;
2. Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular (juziyyat) yang terjadi di dalam;
3. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasry al-ajsad) di akhirat.
Dalam persoalan ini, terlepas dari besarnya pengaruh dan jasa Al-Ghazali, setidaknya ada tiga hal yang patut dicermati, yaitu: Pertama: bahwa ia sesungguhnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya Al-Farabi dan Ibn Sina dan tidak menyerang pemikiran filsafat secara keseluruhan. sebab Al-Ghazali tetap mengakui pentingnya logika atau epistimologi dalam penjabaran ajaran-ajaran agama. Kedua: dalam bukunya Al-Ghazali menilai Al-Farabi dan Ibn Sina serta filsuf yang lainnya telah kufur karena mengajarkan tentang keqodiman alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan tuhan terhadap hal-hal yang partikular. Padahal, dua tokoh filsuf muslim ini tidak persis seperti yang dituduhkan tentang keqodiman alam misalnya, apa yang dimaksud dengan Qodim adalah karena alam tidak muncul dalam waktu tertentu, tetapi waktu dihitung bersama munculnya alam. Jadi, tidak sama dengan keqodiman tuhan. Ketiga: tentang pembagian filsafat yunani dalam tiga bagian materalisme (Dahriyun), naturalisme (Thabi’iyyun), dan theisme (Ilahiyyun) bahwa betul Al-Farabi adalah Aristoteles tapi ia hanya mengambil dan mengembangkan aspek logikanya belaka seperti yang kita lihat pada bagian epistimologi burhani.
Gagasan metafisika yang kemudian dikembangkan dari ajaran. Islam itu dikembangkan dari ajaran Neo-Platonisme bukan Aristoteles. Disamping, persoalan yang dapat membawa kepada kekafiran diatas, Al-Ghazali juga membagi manusia kepada tiga golongan, yaitu: (1) kaum awam, yang cara berpikirnya sederhan sekali, (2) kaum pilihan (elect) yang akalnya tajam dan berpikir secara mendalam, dan (3) kaum penengkar.
Syekh Sulaiman Dunya dari al-Azhar, Cairo, mengatakan bahwa Al-Ghazali kelihatannya memberikan keterangan-keterangan yang berlainan kepada kaum awam dan kepada kaum pilihan, Al-Ghazali menggmbarkan hakekat dengan cara yang berlainan menurut situasi yang dihadapinya. Sebagai filosof-filosof dan ulama-ulama lain, Al-Ghazali dalam hal ini, membagi manusia kedalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya tangkapnya tidak sama, dan oleh karena itu apa yang dapat diberikan kepada golongan khawas tidak selamanya dapat diberikan kepada kaum awam. Dan sebaliknya pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acap kali berbeda, dan berbeda menurut daya berfikir masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat dan kaum khawas, sebaliknya, membaca apa yang tersirat.
1. Sanggahan atas ke-qodim-an Alam
Disini al-Ghazali menyanggah teori emanasi Ibnu Sina. Bagi al-Ghazali Alam adalah sesuatu yang baru (hudust) dan bermula dan yang qodim hanyalah satu yaitu Allah.(88-123)
2. Sanggahan terhadap teori keabadian (abadiyah) Alam, masa dan ruang
Seperti yang kita tahu dalam filsafat; benda(materi), masa(waktu) dan ruang adalah timbul pada saat bersamaan dengan materi, masa adalah ukuran jarak waktu dari materi dan ruang adalah dimana materi berada. Bagi filosof benda (materi) itu abadi (mungkin sama dengan keabadian energy dalam fisika). al-Ghazali membantah keniscayaan tersebut, baginya jika Allah berkehendak untuk menghancurkan Alam dan meniadakannya (I’dam) maka hancurlah Alam ini dan tiada pulalah ia.(124-133)
Kerancuan para filosof dalam menjelaskan bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaannya, dan keterangan bahawa hal tersebut adalah majaz (perumpamaan) dan bukan hakikatnya.
Disini kritik al-Ghazali lebih pada pendapat filosuf yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat. Dan jika Allah adalah pencipta seperti apa yang kita ketahui selama ini, maka pencipta haruslah berkehendak terlebih (murid) dahulu, yang memilih (mukhtar), dan mengetahui dengan apa yang dikehendakinya. Sehingga Tuhan menjadi Fa’il(Pelaku) akan apa yang dikehendakiNya. Dan bagi para Filosuf Tuhan tiadalah dzat yang berkehendak (murid) karena kehendak adalah sifat sedangkan Tuhan adalah dzat yang suci dari segala sifat. Dan sesuatu yang timbul dari-Nya adalah sesuatu kosekwensi yang mesti (luzum dlaruri). Hal kedua bagi filosof yang tidak mungkin terjadi karena alam adalah qodim adapun fi’il (perbuatan) adalah baru (hadist). Ketiga, Tuhan satu dan tidak timbul darinya kecuali yang satu dan alam murakkab (berjumlah/bersusun) dari banyak segi. Maka menurut para filosuf bagaimana mungkin sesuatu yang murakkab dapat timbul dari sesuatu yang satu?. Dan al-Ghazali menolak ketiga hal diatas (134-154)
3. Ketidakmampuan Filosof untuk membuktikan ada(wujud)nya pencipta alam.
Disini al-Ghazali mempertanyakan tesa yang menyatakan bahwa Alam qodim, tapi ia diciptakan. Dan bagi al-Ghazali ini adalah perpaduan pendapat antara ahlu al-haq yang menyatakan alam adalah hadist, dan yang hadist pasti ada penciptanya dan kaum Atheis (Dahriyah) yang menyatakan bahwa Alam adalah qodim maka ia tidak membutuhkan pencipta. Bagi al-Ghazali pendapat para filosuf tersebut secara otomatis batal. (155-159)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar