Kamis, 26 Juli 2012

MEMBANGUN MASYARAKAT

Book Report
MEMBANGUN MASYARAKAT (Buku Pegangan Bagi Pekerja  Pembangunan Masyarakat)
PENGARANG    :   Frans Wiryanto Jomo
PENERBIT         :   Alumni
CETAKAN         :   Kedua
TAHUN             :   Maret 1986
HAL                  :   274

APAKAH perubahan sosial selalu menguntungkan? Tidak selalu. Kita harus mampu memilih secara kritis dan menilai apa yang harus dirubah demi kemajuan dan apa yang harus dipertahankan, supaya tidak timbul suatu pengaruh yang merugikan. Kita harus menciptakan manusia baru, yang mampu menguasai kemungkinan teknis yang luas, yang tidak bingng dalam dunia modern, tetapi yang memahami dan mampu mengurus dunia modem ini. Oleh karena itu kita dapat mengatakan bahwa pe rubahan-perubahan besar dalam abad ini dapat sangat menguntungkan, asal kita berhasil merubah manusianya juga. Saat ini kita merencanakan dan menciptakan perubahan-perubahan di semua bidang dan percaya kepada manfaat dari rencana-rencana tersebut. Perubahan-perubahan yang direncanakan inilah yang kita sebut pembangunan.
Dalam semangat yang kritis dan optimis tersebut Wiryanto Yomo dan Gunter Wehner menyusun bukunya Membangun Masyarakat sebagai "Buku pegangan Bagi Pekerja Pembangunan Masyarakat". Wiryanto Yomo, Asisten pada Penanggungjawab Institut fur International Solidaritat der Konrad Adeneuer Stiftung di Indonesia dan Gunter Wehner, dari lembaga tersebut di Bonn, Jerman Barat dan merupakan Penanggungjawab proyek-proyek pembangunan masyarakat di Indonesia, 1968-1973. Kedua penyusun buku ini bekerja sama dengan Staf Proyek Pembinaan Kesejahteraan Sosial dan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung serta lembaga-lembaga lain. Langka. Untuk Indonesia, buku pegangan tentang pembangunan masyarakat (terutama di desa) sangat langka. Tidak sebanding dengan turunnya instruksi, yang kadang-kadang saling bertentangan karena banyaknya yang diinstruksikan dan banyaknya yang memberi instruksi. Ada anggapan seolah-olah dengan instruksi, penetapan target dan anggaran, pembangunan masyarakat (desa) dapat dibereskan.
Kegagalan LSD, Koperasi dan terakhir BUUD/KUD lebih banyak disebabkan karena lembaga-lembaga itu dibuat untuk mencapai target yang telah diinstruksikan dari atas. Untuk tahap pertama kadang-kadang instruksi dan target itu berhasil berkat laporan-palsu. Tetapi kalau kegagalan itu sudah tidak dapat disembunyikan lagi, maka yang jadi kambing-korban adalah masyarakat yang dikatakan tidak mau berpartisipasi, masyarakat tidak mau memhangun, tidak mau digerakkan dan sebagainya. Soalnya sebenarnya adalah karena penerima instruksi tidak tahu bagaunana mengadakan perobahan untuk kemajuan masyarakat desa.
Buku Membangun Masyarakat dengan contoh-contoh yang ringkas-jelas dan memang ditemukan dalam kenyataan di pedesaan sedikit-banyak memberikan pegangan bagaimana membangun masyarakat desa di Indonesia dengan aspirasi Indonesia. Bab I misalnya membahas perubahan sosial sebagai syarat untuk pembangunan dengan jelas disertai contoh-contoh. Bab II membahas kelompok-kerja sebagai inti dinamika masyarakat, Bab III menjelaskan langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam melaksanakan satu proyek, Bab IV membicarakan diskusi sebagai alat mengembangkan demokrasi, tekniknya, persiapannya dan kesulitan-kesulitan atau halangan yang mungkin ditemukan dalam melaksanakan diskusi. Tidak dilupakan pula dalam Bab tersendiri (Bab V) diuraikan adanya kelompok-kelompok dan jenis-jenis pemimpin dalam masyarakat. Koperasi untuk memperkuat perekonomian rakyat dan usaha simpan pinjam sebagai sumber modal bagi rakyat dibahas dengan meyakinkan dan sekaligus merupakan koreksi atas apa yang telah terjadi selama ini. Dan Bab-Bab lain cukup menarik isinya, misalnya Bab IX (Kepribadian yang dinamis) darl Bab Xll (Latihan pembangunan masyarakat dan permainan dinamika kelompok) Kasus-kasus.
Buku yang ditulis "selain sebagai hasil dari bacaan perpustakaan, juga merupakan hasil dari banyak wawancara, diskusi dan hubungan dengan para lurah serta tokoh-tokoh masyarakat dari Kabupaten Bandung, khususnya Sumedang dan Majalengka", dalam berbagai masalah yang dihadapi. Walaupun kasus-kasus pembangunan yang dikemukakan diolah dari bahan-bahan yang ditemukan di Jawa Barat, namun aktualitas masalah dirasakan pula pada berbagai daerah. Bila kedua penulis ini sempat mengumpulkan bahan dari sukses dan kegagalan pembangunan masyarakat pada berbagai propinsi di Indonesia, maka masalah yang akan ditemukan tidak banyak berbeda. Buku ini dikatakan merupakan "Buku Pegangan Bagi Pekerja Pembangunan Masyarakat". Tetapi siapakah petugas Pembangunan Masyarakat itu? Petugas Pembangunan Masyarakat adalah seorang yang memberi semangat dan kemampuan kepada masyarakat, agar supaya masyarakat bekerjasama secara teratur dan efisien. Dengan petugas Pembangunan Masyarakat dimaksudkan seorang yang berasal bukan dari warga desa/kampung di mana dia bekerja, melainkan datang dari luar desa itu. Dia adalah seorang ahli dalam bidang Pembangunan Masyarakat atau dalam bidang lain yang bermanfaat bagi desa. Dia menurut kedua penyusun buku ini sering disebut orang "pemimpin konsultan", bukan "pemimpin resmi" atau "pemimpin solidaris". Walaupun demikian buku ini "juga dapat dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin resmi (pemerintah) dan pemimpin solidaris (tokoh-tokoh masyarakat), sebab mereka juga berfungsi sebagai petugas Pembangunan Masyarakat.
Mengapa ada negara-negara yang sudah maju dan ada negara-negara yang masih terbelakang? Karena beberapa negara sudah mamasuki proses pembangunan modern ini sejak 100 tahun yang lalu, beberapa yang lain sejak 50 tahun yang lalu dan sebagian besar negara-negara di Asia dan Afrika baru sejak 15 atau 20 tahun yang lalu.
Menurut pendapat para ahli, semua negara akan bangun untuk mengadakan usaha-usaha pembangunan yang serius dan besar. Tetapi negara-negara ini pun memerlukan waktu kurang lebih 100 tahun untuk dapat mendapati taraf kehidupan seperti di Amerika Utara dan Eropa masa kini. Kita tidak dapat melompati suatu langkah pembangunan begitu saja. Pembangunan adalah suatu rangkaian tugas dari beberapa generasi. Ada pemimpin-pemimpin negara yang mau menempuh jalan yang khusus dan mereka perkirakan lebih cepat, yang lain dari pada yang lain. Tetapi negara-negara ini tidaklah berkembang lebih cepat daripada yang lain.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan teknis yang terhitung banyaknya sejak tahun 1750, telah membawa perubahan diseluruh dunia. Dari masyarakat agraris dan feodalistis menjadi maysarakat industri yang demokratis. Komunikasi  massa (lalu lintas, radio, televisi, telepon, buku-buku, surat kabar, dan sebagainya) dan konsumsi massa (macam-macam barang dan pelayanan) merupakan akibat daripada industrialisasi ini. Tidak ada negara yang dapat menolak perkembangan menuju masyarakat modern dengan perekonomian modern ini.
Perubahan sosial tidak selalu menguntungkan. Kita harus mampu memilih secara kritis dan menilai apa yang harus diubah demi kemajuan dan apa yang harus dipertahankan, supaya tidak timbul suatu pengaruh yang merugikan.
Kita dapat mengatakan secara umum, bahwa pengetahuan dan teknologi modern, etika modern, lembaga-lembaga dan sistem pemerintahan yang modern kesemuanya sangat berguna bagi manusia. Dengan perkataan lain: kita harus menciptakan manusia baru, yang mampu menguasai kemungkinan teknis yang luas, yang tidak bingung dalam dunia maju, tetapi yang memahami dan mampu mengurus dunia modern ini. Oleh karena itu kita dapat mengatakan bahwa perubahan-perubahan besar dalam abad ini dapat sangat menguntungkan, asal kita berhasil mengubah manusianya juga.
Pembangunan tidaklah tergantung dari pemerintah saja, juga tidak dari modal asing saja, tetapi terutama dari manusia atau warga negara itu sendiri dan ini berlaku dimanapun juga. Pembangunan tidak akan berhasil hanya dengan modal dan teknik saja. Kita harus membangun manusianya pula, supaya manusia ini mampu menyesuaikan pikiran dan tindakannya dengan dunia yang berkembang, supaya manusia juga mengerti mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam negara dan juga supaya dia mengembangkan rasa tanggung jawab dalam perbuatannya. Jikalau dia tidak berbuat apa-apa, dia harus bertanggung jawab atas tindakannya.
Penyebab utama dari pembangunan adalah manusia; pengetahuan manusia; kebiasaan manusia; adat; cara berpikir; etika; sikap manusia; seperti sikap kepada prestasi terhadap ketetapan/ketelitian, sikap terhadap pekerjaan maupun terhadap tabungan; cara mendidik anak dan apakah yang kita harapkan dari anak kita.
Jikalau perubahan mental dalam masyarakat tidak terjadi, tidak akan ada keseimbangan antara kemajuan materiil dan kemajuan mental. Akibatnya, menimbulkan pertentangan-pertentangan dalam masyarakat yang dapat menyebabkan pembangunan ekonomi menjadi macet. Penyebab utama pembangunan adalah manusia, namun manusia pulalah yang akan menjadi korban utama dari pembangunan yang tidak seimbang.
Tujuan pembangunan mental harus diubah untuk kepentingan pembangunan, yaitu:
a.    Cara berpikir irrasiional harus menjadi cara berpikir yang rasional. Orang yang berpikir irrasional tidak mau melihat atau memakai cara-cara dan alat-alat atau metode-metode yang sesuai dan memadai untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Contoh: Ada orang-orang yang sering dalam pidato berbicara mengenai pembangunan, repelita, masyarakat adil dan makmur, tetapi mereka sendiri tidak berusaha keras ke arah tercapainya tujuan ini. Mereka percaya bahwa pemakaian istilah-istilah tersebut secara otomatis menyukseskan pembangunan.
b.   Dari cara berpikir tidak kritis harus menjadi cara berpikir yang kritis. Orang yang berpikir kritis menuntut adanya kontrol (pengawasan) melalui suatu manajemen yang terbuka. Orang yang berpikir kritis menyarankan, bahwa ada juga kemungkinan-kemungkinan (usul-usul, alternatif) lain yang perlu dipertimbangkan.
Contoh: Seorang warga kampung yang kritis, tidak akan langsung memberikan sumbangan untuk pembangunan mesjid sebelum ada bukti-bukti yang jelas mengenai kebutuhan, pemakaian dan alasan-alasan yang tepat.
c.    Dari cara kerja yang tidak metodis harus menjadi cara kerja yang metodis. Orang yang bekerja secara metodis tidak memulai sesuatu pada hari ini, dan meninggalkannya besok. Orang yang bekerja secara metodis mempelajari kemungkinan-kemungkinan, merencanakan langkah-langkah kegiatan dengan teliti, melaksanakannya dengan giat dan menilai hasil kerjanya untuk memperbaiki cara kerja selanjutnya. Masyarakat yang bekerja secara metodis, tidak mengadakan pertemuan-pertemuan karena kbutuhan saja, tetapi secara metodis.
d.   Dari cara berpikir jangka pendek harus menjadi cara berpikir jangka panjang. Orang yang berpikir jangka panjang, merencanakan sesuatu sampai 1, 2, 5, 10 atau 20 tahun kemudian. Orang yang berpikir jangka panjang akan mengorbankan waktu, uang dan tenaga hari ini, supaya ada hasil dimasa  depan, menunda kepuasan demokratis, dalam kebiasaan demokratis, hak-hak kemudian hari.
e.    Dari cara berpikir yang tidak memperhatikan akibat-akibat dari sesuatu perbuatan, harus menjadi cara berpikir yang didasari oleh rasa tanggung jawab. Orang yang mempunyai rasa tanggung jawab akan mlakukan tugasnya dengan 100%. Orang yang memiliki tanggung jawab akan sadar, bahwa dia dapat memajukan atau menghambat pembangunan di desa. Orang yang mempunyai rasa tanggung jawab akan sadar mengenai akibat-akibat perbuatannya, disamping sadar akan akibat dari tidak berbuatnya apa-apa.
f.     Kebiasaan feodalistis harus diubah menjadi kebiasaan demokratis. Dalam kebiasaan demokratis, hak-hak azazi dan kewajiban yang pokok dari semua warga negara maupun warga desa adalah sama. Menurut asas-asas demokratis, pendapat-pendapat dari semua warga dihargai. Asas-asas demokrasi bertentangan dengan perasaan yang menonjolkan gengsi. Jikalau kebiasaan demoratis berlaku, rapat-rapat tidak dikuasai oleh satu golongan saja.
Sering sekali masyarakat menunjukkan sikap menentang segala perubahan. Hal ini disebabkan karena:
a.    Ketakutan, bahwa perubahan-perubahan itu akan menghilangkan dasar pengaruh mereka.
b.   Ketakutan, bahwa dengan adanya perubahan sosial dan mental itu, mereka akan kehilangan keseimbangan dalam kepribadian mereka. Keseimbangan ini justru ditimbulkan karena berani mendengarkan kritik dan mencari objektivitas. Keseimbangan bukannya berarti bahwa seseorang dapat dengan “ketenangan” (mungkin hanya ketenangan semu) memegang teguh terus kepribadiannya secara abadi.
c.    Ketakutan, bahwa dengan perubahan baru, orang harus menghadapi resiko yang amat besar. Memang pembangunan selalu berarti perubahan, mengandung suatu resiko.
d.   Ketakutan akan tambahnya pekerjaan dan kesukaran.
Dalam menerapkan perubahan-perubahan kepada masyarakat perlu diadakannya:
a.    Sasaran kita, seluruh masyarakat desa. Jika kita ingin melakukan perubahan sosial kita harus mencoba untuk mengubah warisan mental (etika, adat, kebiasaan, cara berpikir dan cara menilai) yang dimiliki masyarakat secara bersama.
b.   Metode kita yang pertama adalah memberi pengetahuan (informasi) baru, menghilangkan pandangan-pandangan sempit, memperluas pengetahuan dari masyarakat yang terbatas.
c.    Metode kita yang kedua adalah mengadakan diskusi-diskusi dalam kelompok-kelompok kecil mengenai pengetahuan, masalah-masalah, dan kejadian-kejadian baru.
d.   Metode yang ketiga adalah mengadakan kegiatan-kegiatan dalam kelompok kecil. Jikalau diskusi dalam kelompok tidak diikuti oleh kegiatan-kegiatan maka akan timbul kemacetan dan kekosongan dan kebosanan.
e.    Metode kita yang keempat adalah menciptakan wadah baru, misalnya koperasi, koperasi simpan pinjam, organisasi wanita, organisasi muda-mudi dengan menggunakan metode kelompok kerja.
Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan antarmasyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam unsurunsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang dinamis.


MA’RIFAT
DZUN NUN AL-MISHRY

A. Pendahuluan
Tasawuf merupakan suatu kegiatan peribadatan yang mengkondisikan hati supaya selalu jernih, agar selalu mendorong manusia selalu mau mendekatkan diri kepada Allah. Kata Ma’rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka, Ma’rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut ilmu ladunni. Ma’rifat berbeda dengan 'ilm, 'Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu Ma’rifat, lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal, yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah mencapai Ma’rifat, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
Lebih jauh mengenai Ma’rifat dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua, Ma’rifat adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat, sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya.

B. Biografi Dzun Nun Al-Misry
Nama lengkapnya adalah Abu al_Fayd Tawban bin-Ibrahim Dhu-al-Nun al-Akhmimi al-Misry, lahir 154 H di Akhmim (Mesir) dan wafat 240 H/859 M. ia pernah belajar dengan bebrapa guru; misalnya belajar ilmu Hadith dan ilmu Fiqh pada Imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hambal, kemudian belajar ilmu Tasawuf pada Sarri al-Saqti dan Bisyru al-Hafi hingga ia menjadi sufi besar dan wali Allah. Ia pun suka merantau dan berkelana dengan bebrapa sufi besar dan menimba pengalaman mistik dari temannya antara lain dari Ahmad bin Isa al-Kharraz.[1]
Dari negerinya, Mesir beliau berangkat ke negeri-negeri Arab dan Syiria. Liku-liku perjalanan hidupnya di negeri orang, ia pun pernah merasakan pedihnya hidup berhadapan dengan penguasa. Ia pernah ditangkap dan dipenjarakan di Baghdad selama 40 hari.[2]

C. Konsep Ma’rifat Dzun Nun Al-Misry
Walaupun sebelumnya paham Ma’rifat sudah dikenal dikalangan sufi, namun Dzunun lah yang sebenarnya lebih menekankan paham ini dalam tasawuf. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui kecuali bahwa Dzunun banyak melakukan perjalanan ke berbagai wilayah. Daerah yang pernah dikunjunginya antara lain Damaskus, Baghdad, Mekah, Madinah, Suriah, Libanon , dan Antiochia. Di samping seorang sufi, ia ahli Filsafat, Kimia, dan tulisan hieroglif atau tulisan dan abjad mesir kuno.
Dzunun al-Mishry hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu Fiqih, Ilmu Hadist, dan guru sufi, sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti mengajian Ahmad bin Hanbal, ia mengambil Hadist dari Malik, al-Laits dan lain-lainnya. Guru nya dalam bidang tasawauf adalah Syaqran al-‘Abd atau Israfail al-Maghribi. Ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim baik dalam ilmu syari’at maupun tasawuf.
Dzunun merupakan orang pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat para wali dan orang yang pertama member definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf. Pendapat tersebut cukup beralasan mengingat al-Mishry hidup pada masa awal pertumbuhan ilmu tasawuf.
Ajaran-ajaran Dzunun pada pokoknya berpangkal pada masalah Ma’rifat. Di antara ajaran-ajaran Dzunun adalah:
  1. Ada tiga tanda orang yang ikhlas, yaitu:
a.    Keseimbangan sikap antara menerima pujian dengan menerima celaan orang lain.
b.    Lupa melihat perbuatan itu dari dirinya.
c.    Lupa menuntut pahala di akhirat nanti.
  1. Taubatnya orang awam ialah karena dosa-dosanya, sedangkan taubatnya orang yang mempunyai kekhususan adalah karena kelalaiannya dan taubatnya Nabi dari tidak mendekatkan diri kepada Allah.
  2. Serendah-rendahnya kedudukan akan ditemui dalam neraka.
  3. Apa yang terlihat oleh mata diidentikkan dengan ilmu, dan apa yang diketahui dengan hati, maka diidentikkan dengan keyakinan.
  4. Sesungguhnya kebinasaan manusia itu terjadi karena enam perkara, yaitu:
a.    Lemahnya cita-cita untuk akhirat
b.    Tubuhnya tergadai dengan syahwatnya
c.    Merasa hidup masih panjang
d.    Mengutamakan keridhoan manusia
e.    Kurang memperhatikan contoh suri tauladan orang terdahulu
f.     Mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan sunnah Nabi
  1. Dzunun pernah ditanya, “dengan apa engkau mengetahi tuhanmu?” Beliau menjawab: “jika saya melakukan maksiat terhadap Allah maka saya segera ingat kepada-Nya sungguh saya merasa malu kepada-Nya.
  2. Puncak dari orang yang Arif kata Dzunun: “apabila Allah itu ada-Nya sebagaimana ada-Nya terdahulu
  3. Jangan engkau bersahabat di jalan Allah kecuali dengan harmonis, jangan bersahabat dengan sesama makhluk kecuali dengan saling memberi nasehat, jangan berhubungan dengan hawa nafsu kecuali dengan pertentangan dan jangan bersahabat dengan syaithan kecuali dengan permusuhan.
Terhadap murid-muridnya Dzunun selalu menyampaikan pokok-pokok pikirannya dalam menekuni kehidupan tasawuf, antar lain:
  1. Orang yang akan menjadi pengikut tasawuf , harus memulai dengan mengikuti ajaran dasar tasawuf, yaitu mencintai Allah dan Rasulnya, mengikuti petunjuk al-Qur’an, menjauhi kehidupan dunia, selalu khawatir terjadinya perubahan perilaku pada dirinya.
  2. Apabila seseorang telah memiliki ilmu tasawuf, lalu perilakunya sudah benar, maka harus memulai mengamalkan ajaran tasawuf dengan disiplin.
  3. Orang yang akan mencapai tingkat Ma’rifat, harus memulai jenjang maqamat dan kondisi ahwal.
  4. Orang yang sudah sampai ke tingkat Ma’rifat, hatinya menyinari tingkah lakunya, bagai matahari yang menyinari bumi.
  5. Ma’rifat yang tertinggi adalah mahabbah, yaitu selalu mengutamakan Allah di atas segala-galanya, maka  Allahpun akan mengutamakannya.
Pengalamannya dalam mahabbah terlihat dari ucapannya sebagai berikut: “aku memanggil-Mu di hadapan orang lain dengan sebutan ‘wahai tuhanku atau Ya Illahi’, tetapi manakal aku sendirian aku memanggil-Mu dengan panggilan ‘wahai kekasihku atau Ya habibi’.” Baginya, Tuhan adalah zat yang harus dicintai, bukan ditakuti. Dzunun lebih takut berpisah dari Tuhan sang kekasihnya, daripada masuk neraka. Ketakutannya pada neraka sama kecilnya dengan setitik air dibuang ke dalam samudera. Ketika Dzunun ditanya tentang mahabbah, ia menjawab, “Mahabbah adalah mencintai segala yang dicintai Tuhan dan membenci segala yang dibenci Tuhan, mengerjakan kebajikan secara utuh dan sempurna dan menjauhi segala yang membuat kita berpaling dari Tuhan, tidak takut kecaman orang, bersikap lembut kepada orang mukmin, sebaliknya keras dan tegas terhadap orang kafir, dan mengikuti jejak Rasulullah dalam segala hal”.
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi dalam bukunya at-Ta’aruf li Mazahib Ahl at-Tasawuf pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf, Dzunun telah sampai pada tingkat Ma’rifat, yaitu tingkat tertinggi dalam tasawuf setelah melewati taubat, zuhud, fakir, sabar, tawakal ridha, dan cinta atau mahabbah. Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari. Dalam buku itu disebutkan bahwa suatu hari Dzunun ditanya tentang bagaiman Ma’rifat itu diperoleh. Ia menjawa “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama ‘araftu rabbi” yang artinya: Aku mengetahui Tuhan karena Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan mengetahui Tuhan. Kata Abu Qasim Abdul KArim al-Qusyairi, Dzunun mengakui bahwa Ma’rifat yang diperolehnya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifat tidak diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Karena Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya.
Yang dimaksud Dzunnun ialah bahwa ia memperoleh Ma'rifat karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa Ma’rifat datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.
Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb, kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh, ketiga daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.
Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan Ma’rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.
Dzunun membagi Ma’rifat kedalam tiga tingkatan, yakni
  1. Tingkat awam, yaitu mengetahui Tuhan melalui ucapan syhadat
  2. Tingkat ulama, yaitu mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal.
  3. Tingkat sufi, yaitu mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.
Pengetahuan orang awam tentang Tuhan pada asarnya adalah pengetahuan yang diterima dari ajaran agama tanpa memerlukan pembuktian melalui logika, sedangkan pengetahuan ulama mementingkan logika. Baik pengetahuan orang awam maupun pengetahuan ulama tentang Tuhan disebut ilmu, bukan Ma’rifat. Dengan demikian, pengetahuan dalam bentuk Ma’rifat menurut Dzunun adalah pengetahuan tentang Tuhan di kalangan kaum sufi yang dapat melihat Tuhan dengan hati sanubarinya. Pengetahuan serupa ini dianugerahkan Tuhan kepada kaum sufi yang dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan. Dengan keikhlasan beribadah itulah Tuhan menyingkap tabir dari pandangan sufi untuk dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan. Dalam keadaan demikian, seorang sufi dapat melihat keindahan Tuhan yang abadi dan mengetahui keesaan-Nya.
Berikut ini beberapa pandangan Dzunun al-Mishry tentang hakikat Ma’rifat:
  1. Sesungguhnya Ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin , bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutaklimin, dan ahli balagha, tetapi Ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Sebab, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak di bukakan untuk hamba-hambaNya yang lain.
  2. Ma’rifat yang sebenarnya bahwa Allah SWT menyinari hatimu dengan cahaya Ma’rifat yang murni seperti matahari, tidak dapat dilihat kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah SWT sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaannya, mereka merasa hamba, mereka bicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah.
Kedua pandangan Dzunun diatas menjelaskan bahwa Ma’rifat kepada Allah SWT tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal tetapi dengan jalan Ma’rifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi.
Selain Ma’rifat, Dzunun jaga mengungkapkan pengalamannya mengenai khauf atau rasa takut akan murka Allah SWT. Menurutnya, apabila keyakinan seseorang benar, benar pulalah rasa takut atau khauf-nya. Dalam syairnya ia mengatakan “Al-khauf rakib al-‘amal wa al-raja’ syafi’ al-muhif’”, yang artinya takut itu penjaga amal sedangkan harap adalah penolong bencana.
Setelah Ma’rifat itu dicapai, tujuan dan pengaruhnya dapat diterapkan dalam kehidupan. Dzunun mengatakan bahwa Ma’rifat mempunyai jangkauan atau tujuan moral, yakni nilai kemanusiaan seoptimalnya harus berhiaskan akhlak Allah SWT.
Dalam hubungan ini, pergaulan orang arif bagaikan pergaulan Allah SWT. Menurut Dzunun ada tiga tanda orang arif, yaitu:
  1. Cahaya Ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya kerendahan hatinya.
  2. Tidak mengukuhi secara bathiniah ilmu yang bertentangan dengan hukum lahiriah.
  3. Nikmat Allah SWT yang banyak tidak mengiringinya untuk melanggar batas-batas larangan Allah.
Tanda-tanda tersebut pada hakikatnya mengacu kepada profil seorang sufi yang memiliki akhlak yang tinggi yakni akhlak illahiah.
Paham Ma’rifat yang dikemukakan oleh Dzunun Al-Mishry itu diterima oleh al-Ghazali, sehingga mendapat pengakuan di kalangan Ahlusunah waljamaah karena al-Ghazali adalah salah satu figur yang sangat berpengaruh di kalangan mereka. Dengan demikian, al-Ghazali lah yang membuat tasawuf menurut pola piker tersebut menjadi halal bagi kaum syari’at. Penerimaan al-Ghazali terhadap tasawuf pada umumnya dan khususnya Ma’rifat dapat difahami dari pendapatnya. Menurut al-Ghazali, Ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah SWT dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada. Bagi al-Ghazali, alat seorang sufi mendapatkan Ma’rifat adalah kalbu, bukan panca indera dan akal. Pengetahuan yang diperoleh kalbu lebih benar daripada pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Jalan untuk memperoleh kebenaran adalah tasawuf atau Ma’rifat dan bukan falsafah.

D. Penutup
Dari pembahsan singkat di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa Paham Ma’rifat sudah dikenal dikalangan sufi, namun Dzunun lah yang sebenarnya lebih menekankan paham ini dalam tasawuf, karena ajaran-ajaran Dzunun pada pokoknya berpangkal pada masalah Ma’rifat. Selanjutnya tingkatan.
Ma’rifat dalam taswuf akan dicapai setelah melewati beberapa tahap. Sesungguhnya Ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin , bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutaklimin, dan ahli balagha, tetapi Ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Sebab, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak di bukakan untuk hamba-hambaNya yang lain.


[1] Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II, Kalam Mulia; Jakarta, 2010. hal. 129
[2] Asrifin Tokoh-Tokoh Sufi, CV. Karya Utama; Surabaya, hal. 72

Selasa, 17 Juli 2012


Karang Taruna
      1. Pengertian Karang Taruna
Karang Taruna (KT) adalah organisasi sosial/lembaga pemberdayaan masyarakat wadah pengembangan generasi muda yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial dari, oleh, dan untuk masyarakat terutama generasi muda diwilayah desa/kelurahan atau komunitas sosial sederajat dan bergerak terutama dibidang usaha kesejahteraan sosial dan bidang-bidang yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan sosial.
Karang Taruna adalah organisasi non-partisan yg memiliki tugas pokok bersama-sama pemerintah dan komponen masyarakat lainnya menanggulangi permasalahan sosial khususnya dikalangan generasi muda.
Keanggotaan Karang Taruna bersifat stelsel pasif dalam arti bahwa semua generasi muda yang berusia 11-45 tahun secara otomatis menjadi Warga Karang Taruna yang memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa membedakan asal keturunan, jenis kelamin, status sosial ekonomi, suku dan budaya, agama, golongan, dan pendirian politik.

2.  Dasar Hukum Karang Taruna
Adapun dasar hukum Karang Taruna adalah sebagai berikut:
a.       UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial (revisi dari UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial).
b.      UU No. 12/2010
c.       PP No. 72/2005 tentang Desa
d.      PP No. 73/2005 tentang Kelurahan
e.       Permensos RI No. 83/2005 tentang Pedoman Dasar Karang Taruna.
f.       Permendagri No. 5/2007 tentang Penataan Kelembagaan Masyarakat

3. Kedudukan Karang Taruna/Pemuda
a.   Kedudukan Karang Taruna dalam Pembangunan
Adalah sebagai Lembaga Pemberdayaan Masyarakat ditingkat desa/kelurahan (sejajar dengan PKK, RT, RW, LPM, dll) sesuai dengan Regulasi yang dikeluarkan oleh Negara dan secara fungsional juga merupakan organisasi sosial wadah pembinaan generasi muda yang berkedudukan di desa/kelurahan sesuai dengan Permensos RI No. 83/2005.
b.   Kedudukan Karang Taruna dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Desa
Dalam pembangunan Kesejahteraan Sosial Karang Taruna terlibat secara aktif dalam penyelenggaraan Pembangunan Sosial, Sistem Jaminan Sosial dan Pelayanan Kesejahteraan Sosial baik langsung maupun tidak.
c.   Kedudukan Karang Taruna dalam Pembangunan Kepemudaan
Usia pemuda menurut regulasi, tinjauan psikologis, aspek historis, dan sosial  budaya adalah 21-35 tahun. Artinya Pemuda adalah bagian dari generasi muda atau Karang Taruna (11-45 tahun).
Kedudukan Karang Taruna di satuan masyarakat perdesaan menjadikannya sebagai organisasi pertama yang “dirasakan” oleh setiap aktivis kepemudaan, dapat pula dikatakan sebagai kawah candradimuka pertama yang dikenyam oleh setiap pemuda dilingkungan sosial terdekatnya.
Sebagai lembaga permberdayaan masyarakat dengan sifat keanggotaan yang terbuka Karang Taruna tidak membuat pengelompokan/penggolongan dan tidak membangun kelas dikalangan generasi muda.
Sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat penyelenggara  Kesejahteraan Sosial secara luas, Karang Taruna diposisikan sebagai kelompok masyarakat fungsional yang secara khusus membantu pemerintah dalam program-program kesejahteraan sosial dengan karakter organisasi dan program kerja yang ber-visi pada pelayanan, kerelawanan, dan pembelajaran melalui pendekatan spirit kejuangan, kepeloporan, dan kesetia-kawanan sosial untuk membentuk jiwa yang Adhitya Karya Mahatva Yodha (Pejuang yang Berpengetahuan, Berkepribadian, dan Berkarya)
d.   Kedudukan Fungsional Karang Taruna
UU No 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Karang Taruna adalah lembaga pemberdayaan masyarakat di desa/kelurahan yang diakui. Hal tersebut berdasar pada sejarah dan prinsip dasar bahwa Karang Taruna dibentuk dari, oleh dan untuk masyarakat.
Identifikasi sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat sebagaimana diatur dalam UU lebih tepat bagi Karang Taruna karena habitatnya memang di tengah-tengah masyarakat desa/kelurahan disamping lebih memahami segala potensi dan permasalahan masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan sebagai organisasi sosial lebih karena alasan aktivitas kesejahteraan sosial yang selama ini banyak digelutinya. Tapi dewasa ini berbagai bidang pembangunan di desa/kelurahan telah banyak melibatkan Karang Taruna, termasuk bidang-bidang yang terkait dengan wawasan kebangsaan dan solusi konflik horisontal.

4. Peran Karang Taruna/Pemuda
Sebagai agen perubahan dan pilar utama dalam pembangunan kesejahteraan sosial terutama di desa/kelurahan, Karang Taruna memiliki 2 (dua) peran pokok dan 2 (dua) peran pendukung sebagai berikut:
a.  Peran Fasilitatif (Facilitative Roles)
Dari peran ini setidaknya dapat dijabarkan kembali 5 (lima) peran yakni:
1.   Animasi Sosial (Social Animation), yakni kemampuan Karang Taruna sebagai agen perubah (pemberdaya masyarakat untuk membangkitkan energi, inspirasi, antusiasme masyarakat, termasuk mengaktifkan, menstimulasi dan mengembangkan motivasi warga untuk bertindak).
2.   Mediasi dan Negosiasi (Mediation and Negotiation), yakni kemampuan Karang Taruna sebagai pemberdaya masyarakat untuk menjalankan fungsi mediasi guna menghubungkan kelompok-kelompok yang sedang berkonflik agar tercapai sinergi dalam komunitas tersebut.
3.   Membentuk Konsensus (Builiding Consensus), yakni mengembang-kan setiap upaya untuk ”melawan” pendekatan konflik yang seringkali bersifat taken for granted pada beragam interaksi politik ekonomi dan sosial di masyarakat.
4.   Fasilitasi Kelompok (Group Facilitation), yakni kemampuan memfasilitasi kelompok-kelompok warga masyarakat agar mau bertindak konstruktif dan bersinergi untuk meningkatkan kesejahteraannya secara lebih utuh, bukan sekedar membangun satu atau dua kelompok saja.
5.   Mengorganisir (Organizing), yakni kemampuan untuk berpikir dan melakukan hal-hal apa saja yang perlu dilakukan, hal yang tidak perlu dilakukan sendiri, dan memastikan bahwa semua mungkin diwujudkan.
b.   Peran Edukasional (Educational Roles)
Dari peran ini setidaknya dapat dijabarkan kembali 4 (empat) peran yakni; Membangkitkan Kesadaran Masyarakat (Consciousness Raising), yakni peran Karang Taruna dalam membantu masyarakat untuk dapat melihat beberapa alternatif solusi serta menyadarkan masyarakat tentang struktur dan strategi perubahan sosial serta dimensi multikultural sebagai modal partisipasi dan bertindak secara efektif.
Menyampaikan Informasi (Informing), yakni peran memberikan informasi yang relevan tentang suatu masalah yang sedang dihadapi atau program pembangunan yang sedang dijalankan.
Mengkonfrontasi (Confronting), yakni peran yang suatu waktu dibutuhkan dalam kasus tertentu untuk mengatasi permasalahan yang ada setelah adanya pertimbangan bahwa kalau kondisi yang sekarang terjadi tetap dibiarkan maka keadaan akan dapat semakin memburuk.
Pelatihan (Training), yakni peran spesifik yang secara mendasar berfokus pada pengajaran masyarakat cara untuk melakukan sesuatu.
c.   Peran sebagai Perwakilan Masyarakat (Representational Roles), yang terdiri dari peran-peran:
1.    Mencari Sumber Daya (Obtaining Resources);
2.    Advokasi (Advocacy);
3.    Memanfaatkan media (Using the media);
4.    Hubungan masyarakat (Public relation);
5.    Mengembangkan jaringan (Networking);
6.    Membagi pengetahuan & pengalaman (Sharing knowledge & experience).
d.   Peran-peran Teknis (Technical roles), diantara terdiri dari peran-peran:
1.    Mengumpulkan dan menganalisis data;
2.    Menggunakan komputer dan manajemen;
3.    Melakukan presentasi tertulis dan verbal;

Sesuai fungsinya sebagai Penyelenggara  Kesejahteraan Sosial, Karang Taruna berperan penting dalam pemberdayaan dan pengembangan masyarakatnya melalui penguatan kapasitas kelembagaan Karang Taruna di tingkat desa/kelurahan, pengkaderan pemimpin pemuda ditingkat desa/kelurahan serta pendampingan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat ditingkat desa/kelurahan. Peran pentingnya terutama ditujukan dalam mengadvokasi kelompok masyarakat yang kurang beruntung. Karenanya momentum pembinaan generasi muda seperti ini harus diproyeksikan untuk lebih menguatkan Karang Taruna sebagai salah satu dimensi dan wahana pengembangan dan peningkatan kapasitas Pemuda Indonesia, karena Karang Taruna adalah komponen masyarakat akar rumput yang lebih mengetahui kondisi obyektif lingkungan masyarakatnya.  tersebut.




Pengelolaan Organisasi
1.   Pengelolaan
Pengelolaan akar katanya adalah “kelola” ditambah awalan “pe” dan akhiran “an”. Istilah lain dari pengelolaan adalah manajemen. (Djamarah 2006:175) “Manajemen adalah kata yang aslinya dari bahasa Inggris, yaitu management yang berarti ketatalaksanaan, tata pimpinan, pengelolaan”.
“Pengelolaan adalah proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan pecapian tujuan” Depdikbud (dalam OSIS Mancaksa,: http://osis-smpn16-lg.blogspot.com/2009_03_01_archive.html,diakses : 6 Juni 2011).  Pengelolaan dalam arti umum menurut Arikunto (dalam Djamarah 2006:175) “adalah pengadministrasian, pengaturan atau penataan suatu kegiatan”.
2.   Organisasi
      a. Pengertian Organisasi
Organisasi berasal dari kata organon dalam bahasa Yunani yang berarti alat. Pengertia organisasi telah banyak disampaikan para ahli, tetapi pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip, dan sebagai bahan perbandingan akan disampaikan beberapa pendapat berikut:
Bernard (dalam OSIS Mancaksa,: http://osis-smpn16-lg.blogspot.com/2009_03_01_archive.html (diakses : 6 Juni 2011) dalam bukunya “The Executive Functions” mengemukakan bahwa “Organisasi adalah sistem kerjasama antara dua orang atau lebih” (I define organization as a system of cooperatives of two more persons).
Robbins (2006:4) “Organisasi adalah unit sosial yang dengan sengaja dikelola, terdiri atas dua orang atau lebih, yang berfungsi secara relatif terus menerus untuk mencapai satu sasaran atau serangkaian sasaran bersama.”
Siagian  (2002:46) mendefinisikan “Organisasi ialah setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal terikat dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan dalam ikatan yang mana terdapat seorang/beberapa orang yang disebut atasan dan seorang/sekelompok orang yang disebut dengan bawahan.

Hasibuan (2003:2) mengatakan “Organisasi ialah suatu sistem perserikatan formal, berstruktur dan terkoordinasi dari sekelompok yang bekerja sama dalam mencapai tujuan tertentu. Organisasi hanya merupakan alat dan wadah saja”.
Armosudiro (dalam OSIS Mancaksa,: http://osis-smpn16-lg.blogspot.com/2009_03_01_archive.html, diakses : 6 Juni 2011) mengatakan “Organisasi adalah struktur pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang bekerjasama secara tertentu untuk bersama-sama mencapai tujuan tertentu”.

            b. Ciri-ciri Organisasi
                         Menurut Ndraha (2003:7) dalam bukunya “Budaya Organisasi” ciri-ciri organisasi adalah:
1.      adanya komponen (atasan dan bawahan)
2.      adanya kerjasama (cooperative yang berstruktur dari sekelompok orang)
3.      adanya tujuan
4.      adanya sasaran
5.      adanya keterikatan formal dan tata tertib yang harus ditaati
6.      adanya pendelegasian wewenang dan koordinasi tugas-tugas
            c. Struktur Organisasi
Struktur di dalam suatu organisasi menjadi sangat penting manakala struktur tersebut berfungsi sebagai alat dalam mencapai tujuan organisasi. Secara formal suatu struktur mempunyai ciri, antara lain memiliki pola yang mapan, memiliki bagian-bagian, ada koordinasi atau hierarkis dan memiliki pedoman bagi kebijakan, prosedur, ukuran dan sistem evaluasi.
Ada 3 (tiga) fungsi dari struktur organisasi, yaitu:
1.   Harus mengahsilkan pengeluaran
2.   Meminimalkan pengaruh tingkat individu
3.   Merupakan kerangka dalam penggunaan kekuasaan.
Komponen utama dari struktur organisasi yaitu hierarki, di mana perluasan secara vertikal dan horizontal dapat terjadi di sini, dan kesatuan rantai perintah dimana kesatuan dalam penugasan dilakukan.
      d. Lingkungan Organisasi
Di kalangan ahli sosiologi ada perbedaan pendapat mengenai cara memandang lingkungan organisasi:
1.   Di satu sisi lingkungan organisasi adalah suatu yang nyata ada diluar suatu, jadi bersifat objektif.
2.   Di sisi lain, lingkungan organisasi adalah bagaimana anggota organisasi itu memandang keberadaannya, jadi sifatnya subjektif
Tetapi keduanya mempunyai kesamaan bahwa lingkungan organisasi adalah sesuatu yang sifatnya eksternal, berada di luar organisasi, mempunyai hubungan dan pengaruh secara timbal balik terhadap organisasi.
Hubungan secara sosiologis dapat berarti segala sesuatu yang mendorong dan mempengaruhi tingkah laku individu maupun kelompok. Setiap organisasi pasti akan selalu berhubungan dengan lingkungan, baik itu lingkungan fisik maupun nonfisik. Hubungan keduanya bersifat resiprokal, yaitu berupa hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi.
Dalam hal ini, Scott (dalam Soe’oed,1996:72) mengambarkan 4 tingkatan lingkungan yang meliputi: tingkat perangkat organisasi; populasi organisasi; wilayah organisasi; organisasi fungsional.
Ada dua dimensi lingkungan, dimana organisasi itu berada, yaitu: Dimensi lingkungan yang dipandang sebagai karakteristik dasar lingkungan organisasi, dan dikenal sebagai kondisi umum. Dimensi lingkungan yang secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan organisasi dan dikenal dengan kondisi khusus lingkungan organisasi.
Kondisi umum lingkungan menggambarkan dimensi lingkungan yang melatarbelakangi perkembangan organisasi. Misalnya, kemampuan baca tulis, tingkat pendidikan masyarakat, tingkat urbanisasi, dan sistem ekonomi. Sedangkan khusus lingkungan berkaitan erat dengan perkembangan organisasi. Ini mencakup, antara lain kondisi teknologi, sistem hukum, kondisi politik, kondisi ekonomi, kondisi demografis, kondisi ekologis, dan kondisi budaya.
      e. Organisasi dan Manajemen
Hal yang berbeda antara organisasi dan manajemen adalah organisasi sebagai alat atau wadah sekelompok orang dalam mencapai tujuan tertentu, sedangkan manajemen lebih mengarah kepada pengaturan atau pengelolaan untuk mencapai tujuan. adapun persamaan dari organisasi dan manajemen ialah sama-sama memiliki sasaran dan tujuan tertentu yang ingin dicapai.
            f.  Hubungan Organisasi, Administrasi dan Manajemen
Ada anggapan yang menyatakan bahwa sesungguhnya administrasi dan manajemen adalah sama, hanya saja istilah administrasi digunakan pada badan/organisasi pemerintah, sedangkan istilah manajemen dipergunakan untuk organisasi swasta. Administrator sama artinya dengan manajer, tetapi organisasi untuk pemerintah. Hal ini dapat dilihat pada penggunaan istilah manajer untuk perusahaan swasta yaitu diantaranya manajer pemasaran, manajer personalia dan lain-lain. Serta kepala bagian administrasi keuangan, kepala bagian administrasi kepegawaian dan lain-lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hubungan antara administrasi, organisasi dan manajemen adalah sebagai berikut:
1. Kepemimpinan merupakan arti dari manajemen
2. Melalui manajemen semua kegiatan dikoordinir dan diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi.
3. Administrasi merupakan suatu kegiatan pelayanan, termasuk didalam kegiatan pengelolaan atau manajemen. Administrasi dapat dilaksanakan di dalam atau di luar organisasi (formal)
4. Organisasi (formal) merupakan tempat dilaksanakannya kegiatan administrasi.