Senin, 12 Desember 2011

KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT


Pengertian
Secara etimologis kebudayaan berasal dari kata bahasa sansekerta, buddayah, yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Sedangakan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah culture.  Kata ini berasal dari kata bahasa Latin yaitu colere yang berarti mengelolah atau mengerjakan yaitu mengelolah tanah atau bertani. Makna dari istilah itu kemudian mengalami perluasan yakni merujuk semua kegiatan manusia untuk mengelolah atau mengubah alam.
Secara substantif, E.B. Tylor memberikan defenisi mengenai kebudayaan sebagai suatu kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia  sebagai anggota masyarakat.
Jadi kebudayaan adalah semua apa yang dipelajari dan kebiasaan-kebiasaan yang secara sosial diteruskan, pengetahuan, obyek-obyek material dan tingkah laku, termasuk gagasan-gagasan, nilai-nilai dan hasil karya kelompok masyarakat. Secara sosiologis, kebudayaan menyangkut semua obyek material dan gagasan yang ada dalam masyarakt.

Wujud Kebudayaan
Kontjaraningrat mengkategori wujud kebudayaan berdasarkan lapisan lapisannya. 
Ø  Lapisan pertama adalah lapisan yang paling luar yaitu wujud budaya material seperti bangunan-bangunan, peralatan tekonologi  atau singkatnya semua wujud yang dapat diinderai.
Ø  Lapisan yang kedua adalah berupa tingkah laku seperti menari, berbicara, dan lain sebagainya. Kebudayaan dalam wujud seperti ini masih bersifat konkrit.  Semua gerak-gerik yang dilakukan dari saat ke saat  dan dari hari ke hari, dari masa ke masa merupakan pola-pola tingkah laku yang dilakukan berdasarkan  system. Oleh karena itu pola-pola tingkah laku manusia disebut system sosial.
Ø  Lapisan ketiga adalah system gagasan.  System gagasan ini berada dalam kepala tiap individu warga kebudayaan yang bersangkutan, yang dibawanya kemanapun ia pergi. Kebudayaan dalam konteks ini bersifat abstrak dan hanya dapat diketahui serta dipahami setelah ia mempelajarinya  dengan mendalam.  Kebudayaan dalam wujud gagasan juga berpola dan berdasarkan system-sistem tertentu yang disebut system budaya. Menurut Koentjaraningrat terminologi mengenai system budaya dalam bahasa Indonesia lasim disebut dengan “adat-istiadat”
Ø  Lapisan yang keempat adalah nilai-nilai budaya. Semua produk material, tingkah laku, dan gagasan yang dihasilkan oleh manusia berdasarkan nilai-nilai.

Unsur-Unsur Kebudayaan
Antropolog C. Kluckhohn (Soekanto, 2006:154) mengemukakan bahwa ada tujuh unsur universal kebudayaan yakni: 1) Tekonologi, 2) Organisasi, 3) System pengetahuan, 4) Bahasa, 5) Kesenian, 6) Ekonomi, 7) Religi.
Sementara itu John J. Macionis (1989) mengemukakan bahwa kebudayaan terdiri dari beberapa komponen seperti simbol, bahasa, nilai dan norma. Simbol adalah segala sesuatu yang memiliki makna khusus yang diakui oleh anggota budaya itu. Sedangkan bahasa adalah sistem simbol dengan makna standar yang memungkinkan anggota suatu masyarakat berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Nilai menurut Williams, (1970:27) sebagai mana yang dikutip oleh Macionis (1989:68) adalah standar-standar yang mana anggota suatu kebudayaan menentukan apa yang dapat diharapkan dan tidak diharapkan, yang baik dan buruk dan yang indah dan  jelek. Komponen yang terakhir adalah norma yaitu aturan dan harapan-harapan yang mana masyarakat mengatur tingkah laku dari anggotanya.

Fungsi Kebudayaan
1.        Mengatasi Tekanan Hidup
2.        Wahana dan wadah pegembangan diri
3.        Pedoman memenuhi kebutuhan hidup (primer, sosial dan integratif).
Hasil-hasil penemuan manusia itu sendiri memungkinkan manusia untuk dapat mengatasi tekanan alam. Kalau sebelumnya manusia sangat tergantung pada kemurahan alam, namun kemudian manusia menyadari bahwa ia harus mengelolah alam itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi tidak hanya itu kebudayaan dapat juga sebagai wahana ekspresi diri, media komunikasi dengan anggota masyarakat yang lainnya. Bahasa, norma misalnya memungkinkan manusia dapat bersosialisasi dengan anggota masyarakat yang lainnya.

KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT
Menurut Parsudi Suparlan (1998;26-27) kebutuhan manusia dapat dikategorikan menjadi tiga golongan yakni kebutuhan biologis, kebutuhan sosial dan kebutuhan adab. Kebutuhan biologis meliputi kebutuhan makan, minum, buang air besar/kecil, istirahat, tidur dan lain sebagainya. Sedangkan kebutuhan sosial  menyangkut kebutuhan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, kontrol sosial dan lain sebagainya. Dan kebutuhan adab adalah kebutuhan yang mengintegrasikan kebutuhan biologis dan sosial yang menampakan hakikat manusia sebagai manusia, sebagai subyek yang berpikir, berperasaan, dan bermoral. Kebutuhan-kebutuhan adab mencakup kebutuhan untuk membedakan yang benar dari yang salah, adil dan tidak adil, sacral dan secular,  ungkapan-ungkapan estetika, etika dan moral, rekreasi dan hiburan, rasa aman, tenteram dan keteraturan dan lain sebagainya. Kebutuahan adab membedakan manusia dari binatang lainnya.
Kebudayaan pada dasarnya selalu mengandaikan manusia dan bahkan secara fundamental kebudayaan tidak dapat dipikirkan tanpa manusia. M. Sastrapratedja (bdk. FX.Mudji Sutrisno,ed.,1993;95) menegaskan bahwa di satu sisi,  manusia melahirkan kebudayaan, namun pada saat yang sama pada sisi yang lain, manusia lahir dalam konteks sosio-kultural tertentu.
Suatu pertannyaan muncul dari tesis tersebut di atas, bagaimanakah relasi manusia dengan kebudayaan?  Puspowardojo (dlm Puspowardojo, ed., 1971;9) melukiskan hubungan manusia dengan kebudayaan dengan menjelaskan bahwa di satu sisi manusia selalu memiliki kebutuhan, tetapi pemenuhan kebutuhan ini tidak dapat lahir dengan sendirinya. Sedangkan lingkungan alam pada sisi yang lain menyimpan semua apa yang dibutuhkan oleh manusia.
Dari uraian singkat ini kita dapat melihat bahwa ada jarak antara kebutuhan pada manusia dan sumber daya yang disiapkan oleh alam. Dalam konteks ini kebudayaan merupakan sarana bagi manusia untuk memperoleh apa yang disiapkan oleh alam. Alat-alat teknologi yang digunakan oleh manusia misalnya merupakan tidak hanya ekspresi daya cipta manusia, tetapi juga sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup.

KORUPSI
Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Selanjutnya, dengan merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan politik pemaknaan. Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus.
Pengertian korupsi dalam arti modern baru terjadi kalau ada konsepsi dan pengaturan pemisahan keuangan pribadi dan sebagain pejabat sangat penting, sebab seorang raja tradisional tidak dianggap sebagai koruptor jika menggunakan uang negara, karena raja adalah negara itu sendiri.
Dengan demikian korupsi dapat didefiniskan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.

FAKTOR PENYEBAB KORUPSI
Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya sendiri. Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi antara lain yaitu :
Ø  Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberi ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
Ø  Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
Ø  Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
Ø  Kurangnya pendidikan.
Ø  Adanya banyak kemiskinan.
Ø  Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.
Ø  Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
Ø  Struktur pemerintahan.
Ø  Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.
Ø  Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
Ø  Greeds(keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
Ø  Opportunities(kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
Ø  Needs(kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
Ø  Exposures(pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.

UPAYA MENGATASI KORUPSI
Menurut Baharuddin Lopa, mencegah korupsi tidaklah begitu sulit kalau kita secara sadar untuk menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi atau golongan. Ini perlu ditekankan sebab betapa pun sempurnanya peraturan, kalau ada niat untuk melakukan korupsi tetap ada di hati para pihak yang ingin korup, korupsi tetap akan terjadi karena faktor mental itulah yang sangat menentukan. Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
1.        Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,
2.        Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
3.        Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi


ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN CERPEN AVE MARIA KARYA IDRUS


A.  Latar Belakang Masalah
Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut tokoh (Aminuddin, 2004:79). Dalam hal ini tokoh terdiri atas sepuluh ragam: tokoh utama, tokoh tambahan, tokoh protagonis, tokoh sederhana dan bulat, tokoh antagonis, tokoh statis, tokoh berkembang, tokoh tipikal dan tokoh netral (Nurgiantoro, 2000: 176-190). Berdasarkan sinopsis cerpen “Ave Maria”, tokoh yang penting untuk dibicarakan yaitu Zulbahri, Wartini, dan Syamsu.
Tokoh Zulbahri dalam cerpen “Ave Maria” termasuk tokoh utama. Hal itu dapat dilihat bahwa Zulbahri tokoh yang paling terlibat dengan makna dan tema cerita. Tokoh Zulbahri paling banyak terlibat dengan tokoh lain (Syamsu dan Wartini). Selain itu, Zulbahri, tokoh yang banyak memerlukan waktu penceritaan.
Wartini termasuk tokoh bulat (kompleks). Dalam hal ini ia sebagai sosok wanita munafik. Di depan Zulbahri, ia mengatakan cintanya hanya untuk Zulbahri, namun di depan Syamsu, Wartini mengatakan “Dapatkah seorang perempuan memiliki dua laki-laki sekaligus?” Wartini tidak memiliki kepribadian yang konsisten. Syamsu termasuk tipe tokoh berkembang. Ketika kecil ia ada hubungan cinta monyet, namun ketika ia berada di Shonanto, seolah Syamsu tidak ada hubungan apa-apa dengan Wartini.
Sekembali dari Shonanto, pada mulanya Syamsu dapat menjaga diri dan kehormatan, namun sedikit demi sedikit berubah. Ia perlahan-lahan mencintai Wartini (merusak hubungan Wartini dengan Zulbahri). Dengan kata lain, Syamsu mengalami perubahan (perkembangan perwatakan) akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi (Altenbernd dan Lewis, dalam Nurgiantoro, 2000:188).

B.  Permasalahan
Dari latar belakang masalah di atas, maka permasalahannya adalah analisis tokoh dan penokohan Cerpen Ave Maria karya Idrus yang ditinjau dari segi teknik ekspositoris, dramatik, dan teknik identifikasi tokoh.



C.  Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penokohan Ave Maria Karya Idrus yang ditinjau dari segi teknik ekspositoris, dramatik, dan teknik identifikasi tokoh.

D.  Objek Kajian
1.        Penokohan
Albertime Minderop (2005:2) mengartikan penokohan sebagai karakterisasi yang berarti metode melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. Tujuan analisis ini untuk mencapai suatu pemahaman tentang ketabahan individu dalam suatu komunitas tertentu melalaui pandangan-pandangannya yang mencerminkan pandangan-pandangan warga dalam komunitas yang bersangkutan (Furchan, 2005:7). Dalam hal ini penokohan terdiri atas tiga variasi: 1. teknik ekspositaris, 2. teknik dramatik, dan 3. teknik identifikasi tokoh.
2.        Teknik Ekspositoris
Teknik ekspositoris disebut juga sebagai teknik analitis. Dalam hal ini pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung.
Dalam cerpen “Ave Maria” Idrus menggunakan teknik ekspositoris untuk mendeskripsikan sosok Zulbahri. Untuk memperoleh secara jelas dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.
“Masih jelas teringat oleh kami, hari perkenalan kami dengan Zulbahri. Baju jasnya sudah robek-robek, di bagian belakang tinggal hanya benang-benang saja lagi, terkulai seperti ekor kuda.” (Idrus, 2004:13)
Teknik ekspositoris yang lain dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.
Kami terharu dan kasihan mendengarkan cerita Zulbahri itu. Ia menengadah ke langit bertaburan bintang itu. Air matanya tergenang ...
Aku pergi tinggal di sebuah rumah di gang kecil. Yang menjadi hiburan bagiku tinggal hanya buku-buku lagi. Aku selalu mencari, mencari tempat jiwaku bergantung. Sekian lama aku mencari, tapi sia-sia belaka. Aku menjadi tak acuh kembali kepada diriku. Pakaianku tak kuhiraukan pula, kadang-kadang pakai sepatu, kadang-kadang tidak. (Idrus, 2002:19-20 )
Dengan teknik ini penggambaran tokoh menjadi lebih konkret.
3.        Teknik Dramatik
Jika teknik ekspositoris, pengarang memberikan deskripsi, dalam teknik dramatik para tokoh ditampilkan mirip dengan drama. Dengan teknik ini cerita akan lebih efektif.
Teknik dramatik terdiri atas delapan jenis yaitu teknik cakapan, teknik laku, teknik pikiran dan perasaan, teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, teknik pelukisan fisik (Burhan Nurgiantoro, 2000:201-210).
Dalam cerpen “Ave Maria”, Idrus memanfaatkan penokohan dramatik bentuk teknik cakapan, teknik pikiran dan perasaan, teknik arus kesadaran, dan teknik pelukisan latar.
Teknik cakapan dimaksudkan untuk mencerminkan kedirian tokoh dan menunjukkan perkembangan plot. Hal ini misalnya pada kutipan sebagai berikut.
Adakah yang hendak kaubicarakan dengan daku, Zul? Ceritakanlah.
Perkataan Wartini menambah semangatku untuk menguraikan segalagalanya kepadanya. Begitulah kami termenung setelah kuceritakan bahwa Syamsu, adikku hendak pindah dari Shonanto ke Jakarta dan hendak tinggal bersama kami. Kuterangkan pula bahwa aku tak dapat menolak. Jika kutolak, aku dipandang rendah oleh orang kampungku. Wartini pun mengerti tentang hal itu. Tentang bahayanya Syamsu tinggal bersama kami, terus terang pula kuuraikan kepada Wartini.Takutmu berlebih-lebihan, Zul. Aku cinta kepadamu. Syamsu hanya teman mainku di waktu kecil. Cinta demikian tak masuk ke dalam hati. Cinta monyet, kata orang. (Idrus, 2004:16)
Teknik cakapan terdapat pula pada kutipan sebagai berikut.
“Mengapa menangis, Tini? Engkau bersedih?”
“Aku terkenang pada masa silam. Pernah kita memainkan lagu ini dulu bersama-sama.”
“Ya, waktu itu takkan dapat kulupakan selama-lamanya, Tini. Waktu itu aku sedang penuh dengan cita-cita yang sangat tinggi.”
“Dan semua cita-cita itu kandas bukan, Syam? Engkau tak meneruskan pelajaran biolamu.” (Idrus, 2004:17)
Teknik pikiran dan perasaan mengungkap bagaimana keadaan jalan pikiran, serta perasaan tokoh dalam banyak hal yang mencerminkan sifat kediriannya. Hal ini dalam cerpen “Ave Maria” dapat dilihat sebagai berikut.
Tak ada yang dapat dicela tentang pergaulan Syamsu dan Wartini. Keduanya hormat-menghormati. Hatiku jugalah yang berkata-kata bahwa aku seorang perampok. Hatiku berkata, aku berdosa terhadap Syamsu. Dan kata hatiku, cinta Wartini tak lama lagi akan timbul kembali terhadap Syamsu.
Perasaan-perasaan yang demikian menjadikan daku sangat curiga. Segala percakapan Wartini kupikir-pikirkan kalaukalau ada mempunyai arti lain ... (Idrus, 2004:17)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pengarang melalui tokoh Zulbahri mengungkapkan kekacauan pikiran dan perasaannya. Dalam hal ini Zulbahri merasa was-was bahwa api cinta antara Waatini dan Syamsu yang sudah padam menyala kembali. Karena khawatirnya, segala kata Wartini kepada Syamsu dipikir-pikir.
Teknik arus kesadaran dimanfaatkan oleh Idrus dalam cerpennya “Ave Maria”. Teknik tersebut berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tidak dapat dibedakan secara pilah karena keduanya menggambarkan tingkah laku batin tokoh. Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh. Dalam hal ini tanggapan indra bercampur dengan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi. Arus kesadaran sering disamakan dengan sinandika (monolog interior). Hal ini dapat dilihat sebagai berikut.
Begitulah keadaanku sampai waktu kita berkenalan pertama kalinya. Aku heran sekali. Waktu aku melihat majalah di bawah meja bundar ini, entah dari mana timbul keinginanku hendak membaca carita pendek yang selalu ada dalam tiap-tiap majalah itu. Kuakui, sangatlah besar pengaruhnya ceritacerita pendek itu kepada jiwaku.
Baru aku insaf bahwa kehidupanku yang dulu-dulu itu semata-mata berdasarkan kepentingan diri sendiri belaka. Aku sangat menyesal. (Idrus, 2004:20)
Teknik pelukisan latar dimanfaatkan Idrus dalam cerpen “Ave Maria “ sebagai prasarana untuk menggugah imaginasi pembaca sehingga apa yang diungkapkan menjadi lebih hidup. Hal tersebut dapat dilihat di bawah ini .
Angin malam mendesir-desirkan daun –daun jarak. Bulan semakin terang. Zulbahri berhenti berbicara. Dari kantongnya dikeluarkannya sehelai kertas, diberikannya kepada ayah. Air teh yang disediakan ibu dia tak disinggung – singgungnya. Ia berdiri lalu meninggalkan kami ... (Idrus, 2004:20)
Untuk melukiskan situasi malam terang bulan, Idrus mengungkapkan angin malam mendesir-desirkan daun-daun jarak. Bulan semakin terang. Hal ini dimaksudkan bahwa lukisan suasana untuk mengantarkan Zulbahri dengan pikiran bersihnya mengabdikan kepada nusa dan bangsa menjadi tentara jibaku.
Selain itu teknik pelukisan latar dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.
Pada malam seperti ini pula, Zulbahri berpisah dengan kami buat selama-lamanya. Siapa yang takkan terkenang kepada kejadian itu. Kami melihat ke bulan purnama raya, dengan segala kenangkenangan kepada Zulbahri yang telah dapat memperbaharui jiwanya. Dari radio umum kedengaran lagu Menuetto in G ciptaan Beethoven. (Idrus, 2002:20)
4.        Teknik Identifikasi Tokoh
Dalam bidang penokohan, Idrus juga memanfaatkan identifikasi tokoh. Cara ini ada dua ragam yaitu prinsip pengulangan dan prinsip pengumpulan. Pada prinsip pengulangan, pengarang mengulang-ulang sifat kedirian tokoh sehingga pembaca dapat memahami dengan jelas. Prinsip pengumpulan dalam hal ini kedirian tokoh
diungkapkan sedikit demi sedikit dalam seluruh cerita.
Dalam cerpen “Ave Maria” pengarang memanfaatkan cara prinsip pengulanganprinsip pengumpulan tidak terdapat di dalamnya. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut.
… Anehnya, sungguhpun Wartini menerangkan bahwa ia hanya mencintai aku sendiri, tapi hatiku terus berkata bahwa Wartini lebih dekat kepada Syamsu. Aku merasa diriku sebagai seorang perampok.…
Hatiku jugalah yang berkata-kata bahwa aku adalah seorang perampok. (Idrus, 2002:17)
5.        Kesimpulan
Cerpen “Ave Maria” terdiri atas tiga tokoh penting yaitu Zulbahri, Syamsu, dan Wartini. Isi cerpen tersebut sangat relevan dengan zaman emansipasi wanita (Women’s Lib) yang berakibat sering terjadi perselingkuhan dilakukan oleh wanita.
Pengarang dalam cerpen “Ave Maria” memanfaatkan teknik penokohan berbagai ragam, yaitu teknik ekspositoris, dramatik, dan teknik identifikasi tokoh.































Referensi

Aminuddin. (2004) Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Furchan, H. Arief. (2005). Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Idrus (2004). Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Jakarta: Balai Pustaka.
Minderop, Albertime. (2005). Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nurgiyantoro, Burhan. (2000). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.