Rabu, 30 November 2011

13 MODEL PENDEKATAN ETIKA


Book Reeport : FAJRI (Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN STS Jambi, PAFI)
Judul               : Bunga Rampai Teks-teks Etika dari Plato sampai dengan Nietzsche
Pengarang       : FRANZ MAGNIS SUSENO
Penerbit          : KANISIUS (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 1997
ISBN             : 979-497-990-2

A. Kata Pengantar
Didalam kata pengantar buku ini Franz sangat mengagumi Sultan Takdir Alisyahbana. Yangmana diawal buku ia sebutkan bahwa buku ini saya persembahkan sebagai kenangan pada almarhum yang tidak jemu-jemu menegaskan keyakinannya bahwa untuk mencerdaskan bangsa tulisan-tulisan para pemikir besar dunia perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
 B. Pembahasan
Buku ini membahas pemikiran 13 tokoh besar dunia tentang etika. Mereka adalah: PLATO, ARISTOTELES, EPIKUROS, SENECA, AURELIUS AUGUSTINUS, THOMAS AQUINAS, BARUCH SPINOZA, JOSEPH BUTLER, DAVID HUME,: IMMANUEL KANT, ARTHUR SCHOPENHAUER, JOHN STUART MILL: FRIEDRICH NIETZSCHE.

PEMBAHASAN
PLATO: KEADILAN DAN KEKUASAAN
Plato adalah salah satu filusuf terbesar segala zaman. Pemikirannya tentang jiwa dan badan, alam jasmani yang fana dan alam rohani “idea-idea” yang baka, serta kekuatan cinta yang menarik kita ke idea tertinggi. Sampai sekarang masih tetap merupakan salah satu acuan pemikiran manusia. Melalui aliran neoplatonisme pikiran plato juga mempengaruhi pemikiran dalam islam, kususnya kaum sufi. Dalam buku ini disajikan dialog yang diambil dari buku Politeia (Republik), tulisan Plato yang mungkin paling sentral. Dialog yang sangat termasyhur itu berlangsung antara Sokrates (yang, seperti dalam kebanyakan dialog Plato, mengungkapkan posisi Plato) dan Thrasymachos. Masalah yang diperdebatkan adalah hakekat keadilan. Thrasymachos dengan penuh semangat mengajukan pendapat sinis bahwa keadilan tidak lebih daripada kepentingan pihak yang kuat. Penguasa adalah seorang diktator yang memaksakan kepada rakyat sebagai hukum yang adil apa yang sebenarnya menguntungkan bagi dirinya sendiri. Dalam teks dialog tersebut memperlihatkan seluruh kepiawaian Plato dalam penguasaan gaya penulisan dalam wujud dialog. Amat mengasyikkan melihat bagaimana Sokrates langkah demi langkah memaksa Thrasymachos untuk menjelaskan, membatasi, dan akhirnya menarik pernyataannya ini.
Dalam perdebatan ini Thrasymachos mengatakan bahwa keadilan tidak lebih daripada kepentingan pihak yang kuat. Penguasa adalah seorang diktator yang memaksakan kepada rakyat sebagai hukum yang adil apa yang sebenarnya menguntungkan bagi dirinya sendiri. Kemudian Sokrates memojokkan Thrasymachos dengan mengatakan “apabila adil/benar adalah mentaati peraturan penguasa yang, seperti diandaikan Thrasymachos , selalu dibuat demi kepentingannya sendiri, padahal bisa saja sekali-sekali peraturan dalam kenyataan bertentangan dengan kepentingan penguasa, maka kemungkinan tidak dapat disangkal bahwa yang adil/benar secara objektif tidak sesuai dengan kepentingan penguasa dan dengan demikian pernyataan semula Thrasymachos telah mulai runtuh. Tetapi, Thrasymachos telah merumuskan anggapannya dengan lebih persis: penguasa selalu bertindak sesuai dengan kepentingannya sejauh ia bertindak sebagai penguasa, dan karena itu ‘adil’ tetap berarti ‘sesuai dengan kepentingan penguasa’. Thrasymachos telah berubah posisinya, semula maksud ‘orang yang lebih kuat’ hanya orang yang berkuasa karena mempunyai kekuatan yang lebih besar. Orang semacam itu tentu dapat melakukan kesalahan. Akan tetapi sekarang ‘orang yang lebih kuat’ atau yang ‘yang berkuasa’ diambil dalam arti ‘sejauh ia berkuasa’, maksudnya sejauh ia bertindak berdasarkan keahliannya, jadi berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk berkuasa. Tentu sejauh seorang penguasa bertindak ‘sebagai penguasa’ dalam arti itu, ia tidak membuat kesalahan (apabila ia melakukan kesalahan, maka menurut cara pandang ini, ia tidak bertindak sebagai penguasa). Sebenarnya disini Thrasymachos sudah kandas, karena omongannya tentang penguasa kehilangan segala arti empiris: begitu ‘penguasa’ berbuat salah, ia dianggap bukan ‘penguasa’, padahal ia tetap menguasai para bawahannya. Akan tetapi Sokrates mengambil jalan argumentasi lain. Ia menerima pengandaian Thrasmachos, bahwa penguasa sebagai penguasa tidak dapat melakukan kesalahan. Namun, kalau demikian timbul pertanyaan baru apa sebenarnya kepentingan penguasa-mengingat menurut Thrasymachos ‘adil’ adalah sama dengan sesuai dengan kepentingan penguasa saja?
Dialog ini dapat dimengerti sebagai salah satu langkah dalam usaha Plato untuk membuka kesadaran bahwa gaya hidup yang bermutu, yang menuju kebahagiaan, tidak tercapai hanya melalui egoisme dan pemuasan nafsu, melainkan dengan mengangkat diri pada nilai-nilai abadi. Keadilan bukan sekedar tirai asap kepentingan para penguasa, melainkan prasyarat kesejahteraan dan kebahagiaan yang sebenarnya. Maka keadilan adalah keutamaan terpenting yang harus dikejar.
ARISTOTELES: HIDUP YANG BAIK
Aristoteles (384-322 SM) adalah ilmuan terbesar zaman Eropa Kuno dan pendidik Iskandar Agung. Disamping Plato berguru kepadanya, ia juga wakil utama filsafat Yunani. Aristoteles mendasarkan etika sebagai cabang filsafat tersendiri. Mulai dari Aristoteles-lah filsafat dibagi kedalam filsafat teoritis dan filsafat praktis. Teoritis adalah merefleksikan realitas yang ada, dan yang praktis bertanya bagaimana kita harus bertindak. Etika termasuk filsafat praktis.
             Etika menurutnya, tidak hanya bertanya bagaimana manusia bertindak, melainkan bagaimana ia seharusnya bertindak. Bukan seakan-akan etika dapat langsung menentukan bagaimana kita harus bertindak dalam situasi kongkret. Akan tetapi, etika menawarkan pertimbangan-pertimbangan yang hendaknya kita pergunakan untuk menentukan sendiri manakah keputusan dan tindakan yang tepat. Etika Aristoteles disebut eudemonisme. Kebahagiaan akan semakin kita nikmati semakin kita merealisasikan potensi-potensi kita sebagai manusia. Etika menawarkan petunjuk ke hidup bahagia itu.
Didalam buku Etika Nikomacheia, karya utama etika Aristoteles. Pada teks pertama Aristoteles menjelaskan paham dasarnya tentang etika: etika adalah ilmu tentang hidup yang baik. Semakin bermutu hidup manusia, semakin ia bahagia. kebahagiaan bukan berarti dapat diperoleh dengan mengejar nikmat, kekayaan atau kedudukan terhormat. Namun, Bahagia yang dimaksudkan oleh Aristoteles adalah manusia menjadi bahagia apabila ia merealisasikan diri secara sempurna, dan itu berarti, dengan mengaktifkan kekuatan-kekuatan hakekatnya. Kekuatan-kekuatan itu adalah kemampuan bagian jiwa manusia yang berakal budi. Kemudian pada teks kedua memuat paham Aristoteles tentang keutamaan. Aristoteles membedakan antara keutamaa-keutamaan yang teoritis (bagaimana manusia berpikir dengan baik) dan keutamaan-keutamaan etis (bagaimana manusia bertindak dengan baik).
Menurut Aristoteles, ‘hidup yang baik’ adalah sebuah kebahagiaan. Apakah kita akan bahagia tentu tergantung dari pola hidup yang kita pilih. Kebahagiaan itu bukan terdiri dalam cara pasif menikmati hidup, melaikan apabila kita secara aktif mengembangkan potensi-potensi yang terletak dalam diri kita menjadi nyata. Maka kebahagiaan terletak dalam sebuah kegiatan. Akan tetapi bukan dalam kegiatan makan dan minum atau dalam kesadaran karena semua nilai itu juga ditemukan pada binatang. Maka Aristoteles menegaskan bahwa manusia akan menjadi bahagia apabila ia “bergiat” menurut keutamaan sempurna dan nilai-nilai material tersedia secukupnya. Menurut Aristoteles ada tiga pola hidup yaitu hidup mengejar nikmat, hidup politis, yaitu hidup aktif dengan berpartisipasi dalam kehidupan polis (yang disebutnya praxis), dan hidup kontemplatif sebagai filosof (theoria). Aristoteles menegaskan bahwa dalam etika jangan dicari tingkat kepersisan seperti dalam ilmu pasti , etika hanya dapat meneliti tindakan manusia secara garis besar, karena tindakan manusia mengenai hal-hal yang selalu berubah-ubah.
 EPIKUROS: KEBAHAGIAAN DALAM KEHIDUPAN YANG TAHU DIRI
Epikuros (342-271 SM). Seperti seluruh etika Yunani, begitupula Epikuros mau menunjukkan jalan bagaimana manusia dapat hidup dengan sebahagia mungkin dalam suatu kehidupan yang banyak goncangannya. Untuk itu manusia harus mengusahakan kesenangan. Makin manusia hidup dalam kesenangan makin bahagia dia. Epikuros memang seorang hedonis, tetapi seorang hedonis yang canggih. Menurutnya, kesenangan yang mantap tidak tercapai dengan mencari pengalaman nikmat sebanyak mungkin. Melainkan dengan menjaga kesehatan den berusaha hidup sedemikian rupa hingga jiwa bebas dari keresahan.
Maka manusia yang mau bahagia justru harus membatasi diri. Ia harus dapat senang dengan sedikit saja. Ia harus memakai nalar untuk mempertimbangkan keinginan mana yang dipenuhi dan mana yang tidak. Kebahagiaan Epikuros adalah kebahagiaan kecil orang yang menarik diri dari dunia, yang tidak terlibat dalam politik, yang ditengah-tengah kesusahan memelihara kebon ketentramannya dengan aman. Dibandingkan dengan Plato, Aristoteles dan Stoa, wawasan kebahagiaan Epikuros sangat sederhana. Akan tetapi, didalam keterbatasannya Epikuros berhasil merumuskan beberapa kebijaksanaan hidup yang sampai saat sekarang pantas diperhatikan.  
Hanya sedikit tulisan Epikuros yang berhasil diselamatkan. Berikut ini Teks “surat kepada Menoikeus” yang diteruskan oleh Diogenes Laertios, seorang pengarang Yunani yang disekitar tahun 220 SM menulis buku tentang pendapat para filosof besar. Surat tersebut mulai dengan anjuran untuk berfilsafat. Hal itu menunjukkan kekhasan hedonisme Epikuros. Bukan sekedar nikmat jasmani yang membuat bahagia, melainkan suatu pola hidup yang dibimbing oleh pemikiran yang rasional.
Kemudian Epikuros membahas tiga masalah yang mengganggu ketentraman batin banyak orang: (1) ketakutan akan dewa-dewa, (2) ketakutan akan kematian, (3) dan ketakutan akan masa depan atau nasib. Ia mengatakan bahwa ketiga ketakutan itu tidak mendasar. Para Dewa jangan dianggap mirip dengan manusia yang diombang-ambingkan oleh segala macam emosi. Jangan dikira bahwa “nasib” buruk itu disebabkan oleh para dewa. Mereka sebenarnya tidak peduli terhadap manusia. Begitu pula percumalah kalau orang takut terhadap kematian. Kematian tidak perlu ditakuti, selama kita masih hidup, kita belum mati, dan apabila kita mati kita tidak ada lagi. Jadi kita tidak akan merasakan apa-apa lagi, kalau kita berusaha hidup dengan baik kita juga akan mati dengan baik. Begitu pula jangan takut terhadap masa depan (nasib). Kita dapat mengambil sikap terhadap apa yang dibawa masa depan, maka sikap yang tepat itulah yang harus kita usahakan (dan bagaimana kita hidup dengan tepat, itula yang diajarkan oleh Epikuros).
Epikuros lalu menunjukkan bahwa kita harus bersikap bijaksana terhadap keinginan-keinginan kita. yang perlu diperhatikan adalah yang alami, bukan yang buatan dan aneh-aneh. Nasihat yang memuat inti filsafat Epikuros termuat dalam kalimat bahwa hendaknya kita mengarahkan keinginan dalam diri kita “demi kesehatan badan dan pemeliharaan ketenangan jiwa, karena dua hal itu merupakan intisari hidup yang bahagia.” Orang bijak akan hidup sedemikian rupa hingga ia sehat dan tenang jiwanya, karena pada dasarnya manusia hanya memerlukan dua hal untuk hidup bahagia: kebebasan dari perasaan sakit badani dan perasaan takut dan resah (di mana, kelihatan bahwa Epikuros menganut pandangan hedonisme psikologis,  
SENECA: CITA-CITA STOA TENTANG ORANG BIJAK
Lucius Annaeus Seneca (Seneca Junior) lahir di Cordoba di Spaniol pada tahun 4 M, dan wafat pada tahun 65 dengan dipaksa melakukan bunuh diri. Karena dituduh terlibat dalam sebuah konspirasi untuk membunuh Nero yang menjadi kaisar Romawi.
Seneca merupakan salah satu tokoh besar Stoa. Stoa adalah sebuah aliran filsafat yang mulai dari Yunani sekitar 300 tahun SM dan selama ratusan tahun sangat terpengaruh di Yunani dan Roma. Inti ajaran Stoa adalah bahwa manusia yang bahagia adalah manusia yang seluruhnya menyesuaikan diri dengan hukum kodrat. Cita-cita tertinggi Stoa adalah kebebasan. Meskipun manusia tidak terlepas dari hukum alam, akan tetapi dengan menyesuaikan diri dengan hukum alam, dengan menerima apa yang dikirimi oleh nasib, segala apa yang terjadi adalah sesuai dengan kehendaknya. Dengan demikian manusia mencapai “autarkia”, keadaan diamana ia tidak tergantung lagi dari apapun yang ada diluarnya. Oleh karena itu, orang bijak sedikit pun tidak akan mengizinkan diri dikuasai oleh nafsu dan emosi. Dalam kondisi apapun ia dengan tenang melakukan kewajibannya. Justru dengan menerima segala apa yang memang tidak dapat dihindari ia tidak membungkuk terhadap nasib dan tidak membiarkan diri dipatahkan oleh kekuasaan apa pun. Semuanya dihadapi dengan tenang dan baik hati. Dalam penderitaan dan penyiksaan apapun ia tetap bebas. Inilah cita-cita termasyhur Stoa  tentang “atarixia” dan “apathia”, kebebasan dari keresahan dan dari penderitaan. Maka Stoa menegaskan ketekadan kehendak.
Seneca merangkum ada tiga ajaran Stoa yang memperlihatkan kekerasan dan keradikalan tuntutan etika Stoa. (1) bahwa orang bijak tidak dapat dibingungkan, (2) bahwa ia tidak mengenal takut. (3) dan bahwa baginya perasaan sakit dan penyiksaan pun tidak merupakan sesuatu yang meresahkan. Inti ajaran Stoa sebenarnya sudah termuat dalam ajaran yang pertama, yaitu bahwa manusia dapat membangun watak yang kuat, dan apabila manusia memiliki watak yang kuat, ia tidak dapat dibingungkan lagi. Memiliki watak yang kuat adalah cita-cita Stoa. Sedangkan manusia yang tidak mengenal takut atau orang pemberani hidup tanpa takut. Yang hidup tanpa ketakutan, hidup tanpa perasaan sedih, dan siapa yang hidup tanpa perasaan sedih dialah bahagia. Ajaran ketiga yaitu perasaan sakit dan penyiksaan pun tidak merupakan sesuatu yang meresahkan. Segala apa yang buruk merugikan, apa yang merugikan menjadikan kita lebih buruk. Namun perasaan sakit dan kemiskinan tidak membuat manusia lebih buruk, oleh karena itu hal tersebut tidak termasuk keburukan.
AURELIUS AUGUSTINUS: KEBAHAGIAAN SEBAGAI PERDAMAIAN
Aurelius Agustinus lahir pada tahun 354 di Tagaste di Afrika Utara (sekarang Aljazair). Dalam umur muda ia pindah ke Karthago, menjadi guru retorika dan masuk aliran Manikaeisme, suatu ajaran dualistic yang memahami dunia sebagai medan perang antara yang Baik dan Buruk. Namu kemudian ia melepaskan aliran tersebut dan untuk sementara ia mengikuti ajaran Neoplatonisme. Pada tahun 382 ia pergi ke Roma dan kemudian menjadi professor retorika di Milano. Disanalah kemudian ia dibaptis pada hari paskah oleh uskup ambrosius. Setahun kemudia ia kembali ke Afrika Utara. Ia meninggal dunia pada tahun 430.
Selain “pengakuannya” (Confessiones), salah satu buku paling mendalam pustaka dunia, karya utama Agustinus-daripadanya teks berikut diambil – adalah “De civitate Dei” di mana ia melawankan “komunitas Allah” (“Civitas Dei”) “dengan komunitas dunia” (Civitas trrena). Yang dimaksud bukan Gereja dan Negara, bahkan dua komunitas itu bukan lembaga, melainkan yang dimaksud adalah realitas dalam hati orang, tatanan cinta yang mendahulukan Allah mewujudkan yang pertama, tatanan cinta yang mendahulukan dirinya sendiri yang kedua. Dalam tatanan cinta Ilahi manusia terarah untuk menikmati Allah serta sesama manusia di dalam Allah, sedangkan nilai-nilai duniawi dipergunakan demi tujuan terakhir, cinta kepada Allah (dan dalam Allah kepada manusia lain) itu.
Dalam teks berikut ini Augustinus mulai dengan menjelaskan kemungkinan manusia memperoleh kebahagiaan sempurna. Kata kuncinya adalah “perdamaian”. Perdamaian adalah apa yang dirindukan oleh setiap orang, bahkan oleh setiap makhluk. Hidup kekal di sisi Allah dipahami sebagai perdamaian abadi. Manusia bisa memperoleh kebahagian lahir dan batin cukup dengan hidup bermoral, keutamaan dalam mengarahkan segala yang baik dan buruk yang kita alami pada tujuan akhir. Tujuan akhir komunitas Allah “perdamaian dalam hidup kekal atau hidup kekal dalam perdamaian”.
Augustinus menjelaskan dengan panjang lebar bahwa “perdamaian” adalah keadaan alami bagi apa saja. Setiap makhluk merindukan perdamaian, bahkan perampok yang paling buruk pun masih menginginkan perdamaian. Hal tersebut dicontohkan pada sosok Kaskus (yang digambarkan oleh penyair Romawi Vergiliu) yang meskipun seorang monster yang hidup tanpa keluarga dan teman dalam sebuah gua sepi, namun tetap mencari perdamaian. Dalam kaitan ini Augustinus menggarisbawahi sesuatu yang penting, kalaupun cinta perdamaian egoistic menurut model Kaskus sudah samasekali kacau dan membuat orang membenci perdamaian Allah yang benar, tetapi ia tidak lepas dari hukum Ilahi yang menata seluruh realitas. Menurut Augustinus kodrat segala makhluk pada dirinya tetap sesuatu yang baik, yang juga tidak hilang apabila pemiliknya menyeleweng. Setanpun dengan demikian masih memiliki semacam perdamaian berdasarkan kodratnya.
THOMAS AQUINAS: HUKUM KODRAT
Thomas Aquinas (1225-1274), seorang rohaniawan dan anggota tarekat Santo Dominilus, adalah filsuf terbesar abad pertengahan di Eropa. Sampai abad ini ia dianggap filosof Kristiani terkemuka dan sekarang pun masih ada aliran Neothomisme, bersama dengan Albertus Agung (1193-1280) ia membuat filsafat aristoteles yang pelajarannya banyak didukung oleh filusuf-filusuf Islam diterrima dalam pemikiran di Eropa.
Etika Thomas pun amat berpengaruh dalam filsafat kristiani, terutama yang katholik. Thomas memahami moralitas sebagai ketaatan terhadap hukum Kodrat. Dengan hukum Kodrat dimaksud keterahrahan kodrat manusia, bersama dengan kodrat alam semesta, pada perwujudan hakekatnya. Hidup menurut hukum kodrat berarti hidup sedemikian rupa sehingga kita mencapai tujuan kita dan menjadi bahagia. Namun karena kodrat semua makhluk diciptakan oleh kebijaksanaan Allah, maka kodrat mencerminkan kebijaksanaan Allah. Artinya, hukum kodrat dalam pengertian Thomas adalah partisipasi dalam hukum abadi yang tidak lain adalah kebijaksanaan Allah sendiri sebagai asal usul dan penentu kodrat ciptaan. Maka, apabila manusia taat pada hukum kodrat ia sekaligus mencapai kesempurnaannya, menjadi bahagia dan memenuhi kehendak Allah.
Terjemahan berikut diambil dari Sumaa Theologica, karya utama Thomas dan memuat teks-teks kunci tentang hukum kodrat. Summa Theologica seluruhnya terdiri atas 398 “pertanyaan” (quaestiones) yang masing-masing terdiri atas beberaoa “fasal(articuli) yang terbangun menurut sebuah skema tertentu. Pertama, Thomas menyebutkan beberapa pendapat yang umumnya membenarkan pertanyaan, lalu satu pendapat yang menyangkal.
Dalam pertanyaan nomor 90 Thomas menjelaskan apa yang dimaksud dengan “hukum” atau “undang-undang”. Didalamnya ditemukan defisi termasyhur bahwa hukum merupakan “pengaturan akal budi demi kepentingan umum yang diipermaklumkan oleh yang bertugas memelihara masyarakat”. Diamana yang paling penting menurut Thomas hukum adalah secara hakiki harus bersifat rasional dan harus sesuai dengan kepentingan bersama. Hukum tidak pernah hanya sekedar penetapan oleh penguasa, melainkan harus sesuai dengan tuntutan akal budi. Pada pertanyaan nomor 91 Thomas menjelaskan dua hukum yang perlu dipahami untuk mngerti hakekat moralitas: hukum abadi (lex aeterna) dan hukum kodrat (lex naturalis). Hukum abadi adalah Allah sendiri, dipandang sebagai sumber eksistensi alam semesta dan manusia degnan segala hakekat dan kekhasannya.kodrat segala makhluk mencerminkan hukum abadi karena segenap ciptaan dalam hakekatnya persis sebagaimana yang dikehendaki oleh sang pencipta. Hukum kodrat tidak sama dengan hukum alam. Hukum alam adalah hukum fisika, kimia, vegetatif, dan sensitive yang berkuasa diseluruh alam dan terhadapnya manusiapun tunduk dengan sendirinya. Hukum alam adalah bagia hukum kodrat. Hukum kodrat bagi manusia merupakan hukum moral, yang memuat prinsip-prinsip hidup yang bermoral.
Disamping hukum abadi dan hukum kodrat, Thomas masih mengenal hukum manusia, hukum yang dibuat oleh manusia sesuai dengan keperluannya dengan menerapkan dan memperluas hukum kodrat. Lalu juga hukum Ilahi dimana yang dimaksud adalah bahwa wahyu Allah dalam kitab suci.
BARUCH SPINOZA: CINTA INTELEKTUAL ALLAH
Baruch dilahirkan di Amsterdam 1632. ia berasal dari keluarga Yahudi-Portugis. Karena filsafatnya dianggap menyeleweng dari ajaran agamanya, ia dikeluarkan dari umat Yahudi Amsterdam. Ia meninggal di Den Haag 1656. pemikirannya sangat perbengaruh seratus tahun kemudian pada Idealisme Jerman dan gerakan Romantika.
Inti ajaran Spinoza adalah bahwa hanya ada satu substansi. Artinya, segala kemajemukan yang kita alami hanyalah cara-cara (modus) substansi yang satu itu berada. Yang ada adalah satu. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa Spinoza penganut Monisme. apa yang ada hanyalah satu realitas dan realitas itu adalah Allah. Maka ia juga penganut Panteisme. Apapun yang ada hanyalah cara berada Allah, maka alampada hakekatnya adalah Allah, dan Allah adalah alam.
Judul karya utama Spinoza adalah “Etika”, tepatnya: Ethica ordine geometrico demonstrate. (etika yang dibuktikan secara ilmu ukur). Etika Spinoza lain dengan yang lain, ia tidak memberikan anjuran-anjuran tentang bagaimana kita hendaknya hidup, melainkan ia mau memperlibatkan implikasi struktur monistik bagi sikap batin kita. ia mau membuka mata kita tentang kebenaran yang sebenarnya dan dengan demikian memungkinkan kita memiliki sikap budi yang lebih tepat. Kepercayaan dasar Spinoza adalah bahwa dengan pengertian lebih mendalam tentang reslitas, tentang kesatuan segala-galanya dengan Allah, manusia akan hidup secara lebih bijaksana dan merasa bahagia.  Pengertian paling luhur tercapai apabila kita mengerti Allah. Karena lalu kita memahami segala-galanya dan kita bebas. Bagi Spinoza puncak etika adalah amor Dei intelectualis, cinta intelektual kepada Allah.
JOSEPH BUTLER: MENINJAU KEMBALI CINTA DIRI
Joseph seorang uskup Gereja Anglikan Inggris, tidak pernah menulis sebuah etika lengkap. Akan tetapi dalam karyanya yang utama, Fifteen Sermons preached at the Rolls chapel and A dissertation on Virtue ia menganalisis segi yang dalam etika sebelumnya, dan sebagian sampai sekarang, sering dicampuradukan oleh para filusuf dengan sedemikian terang sehingga ia sekarang dianggap sebagai penyumbang penting terhadap penjernihan masalah-masalah dasar etika.
Butler menjelaskan sebuah distingsi yang fundamental. Ia membedakan dua macam sikap atau kecendrungan pada manusia: antara “self love” cinta diri disatu pihak dan segala macam kecondongan-kecondongan irasional di lain pihak. Yang kedua oleh Butler disebut “particular affection” yang selanjutnya diterjemahkan dengan “dorongan-dorongan spesifik”. Dengan berdasarkan distingsi itu Butler lalu menegaskan dua hal yang cukup penting, yang dalam etika sering tidak dilihat dengan jelas. Pertama, bahwa kebaikan hati dan cinta kepada sesama tidak bertentangan dengan cinta diri, dan kedua bahwa cinta diri tidak mesti bertentangan dengan moralitas tinggi.
Butler menegaskan bahwa segala macam kecendrungan, keinginan, nafsu dan dorongan yang kita rasakan dalam diri kita jangan dianggap sebagai tanda cinta diri. Cinta diri tidak sama dengan membiarkan diri dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional. Kita harus membedakan dengan tajam antara dua macam motivasi: dorongan atau kecondongan spontan di satu pihak dan perhatian pada kepentingan kita sendiri, atau cinta diri, dilain pihak. Yang pertama, dorongan-dorongan spontan, masing-masing mempunyai suatu sasaran spesifik di luar dirinya, makanan misalnya merupakan sasaran spesifik perasaan lapar, berbuat baik sasaran spesifik kebaikan hati. Sedangkan yang kedua, cinta diri, tidak mempunyai sasaran spesifik, melainkan ia mendorong kita untuk mempertimbangkan dengan kepala dingin apa yang paling sesuai dengan kepentingan kita dan manakah sarana yang menjaminnya.
DAVID HUME: PERASAAN MORAL
David Hume (1711-1776), seorang diplomat dan ahli sejarah berkebangsaan skot, adalah filosof pencerahan Inggris paling berpengaruh. Ia mengejutkan filsafat tradisional sezaman karena ia secara radikal menolak kemungkinan manusia mengetahui lebih daripada yang disajikan oleh pengalaman. Pengalaman yang diakuinya adalah pengalaman yang indrawi dan pengalaman batin. Ia adalah tokoh utama empirisme, yaitu paham yang mengembalikan seluruh penggertian manusia pada pengalaman. Sejak Hume empirisme menjadi salah satu benang tetap dalam wilayah filsafat di Barat. Bagi etika pun empirisme mempunyai implikasi tajam: tak ada yang baik dan jahat pada dirinya sendiri. Yang ada hanyalah reaksi perasaan kita terhadap objek-objek yang kita hadapi, kita secara emosional tertarik kepada yang menyenangkan dan menghindar dari yang tidak menyenangkan. Yang satu kita sebut baik, yang satunya jahat.
Hume merumuskan keyakinan dasar empirismenya. Terhadap anggapan tradisional bahwa sikap moral berarti taat kepada akal budi. Menurut anggapan itu moralitas diartikan sebagai berikut: didalam manusia ada dua kekuatan yang bersaing yaitu akal budi dan emosi. Bertindak moral lalu berarti mengikuti akal budi dan mengalahkan emosi. Inilah anggapan yang mau dirobohkan Hume. Ia menyangkal kemungkinan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh pengetahuan akal budi. Pada Hume akal budi hanya semata-mata merupakan sarana orientasi manusia dalam dunia (suatu anggapan yang sudah dikemukakan oleh Hobbes). Yang membuat manusia bertindak adalah emosi, nafsu dan dorongan spontan lain. Atas dasar ini, Hume merumuskan tiga argument mengapa moralitas tidak ada kaitannya dengan akal budi. Yang pertama mengatakan bahwa sebuah emosi atau nafsu merupakan suatu kenyataan , sebuah fakta yang pada dirinya bukan rasional (masuk akal) dan juga bukan tidak rasional (tidak masuk akal). Emosi adalah fakta yang ada atau tidak ada , tetapi tidak dapat dikatakan bahwa sebuah emosi itu “benar” atau “tidak benar”.
Kedua ketidakrasionalan dalam kaitan dengan emosi adalah apabila kita merasa terdorong untuk mengusahakan sebuah sasaran, tetapi memakain sarana yang tidak sesuai. Ketiga langsung bertolak dari anggapan Hume bahwa akal budi tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan tindakan. Tindakan kita semata-mata ditentukan oleh emosi dan dorongan bukan rasional lain. Padahal pandangan moral amat kuat dalam menentukan tindakan manusia. Oleh karena itu, menurut Hume tidak mungkin pandangan moral berdasarkan akal budi.
IMMANUEL KANT: KEHENDAK BAIK DAN KEWAJIBAN
Kant adalah filosof besar Jerman yang selama hidupnya (1724-1804) tidak pernah keluar dari kota kelahirannya. Pertanyaan inti etika Kant dapat dirumuskan sebagai berikut: apa yang baik pada dirinya sendiri? Kant menolak etika-etika sebelumnya. Etika-etika sebelum Kant berpusat pada pertanyaan tentang kebahagiaan. Etika mengajarkan bagaimana manusia harus hidup agar ia bahagia. Akan tetapi menurut Kant pertanyaan itu tidak mengenai yang menetukan dalam moralitas: apa yang membuat manusia menjadi baik. Namun, apa yang baik pada dirinya sendiri? Bukan benda atau keadaan di dunia juga bukan berbagai sifat dan kualitas manusia. Sebab keadaan baik di dunia, misalnya persaudaraan, dapat saja disalahgunakan untuk tujuan yang jahat, lalu menjadi jahat. Namun, kehendak baik itu kehendak yang bagaimana? Kehendak baik adalah kehendak yang mau melakukan apa yang menjadi kewajibannya, murni demi kewajiban itu sendiri.
Etika murni Kant adalah etika kewajiban. Dengan demikian etika Kant bernbeda secara radikal dari pola etika eudeministik para filosof Yunani sampai dengan Spinoza. Bukan apa yang mendekatkan kita kepada kebahagiaan menentukan kuallitas moral kehendak kita, melainkan apakah kita mau taat pada hukum moral. Orang baik adalah orang yang bersedia melakukan “menghendaki” apa yang menjadi kewajibannya.
ARTHUR SCHOPENHAUER: MENEMBUS SELUBUNG SANG MAYA
Arthur seorang filosof Jerman yang lahir di Danziq 1788 dan meniggal di Frankfurt 1860, tidak pernah berhasil dalam apa yang begitu dirindukannya, menggeser filsafat Hegel dari takhta filsafat Jerman, ia seorang yang nyentrik dan menyendiri dan klaimnya atas kebesarannya sendiri tidak banyak diperhatikan. Akan tetapi lama kelamaan diakui juga bahwa Schopenhauer termasuk filosof besar abad lalu. Filsafatnya cukup mempengaruhi Nietzsche dan Max Scheler serta terasa juga dalam aliran “filsafat hidup” di permulaan abad ini.
Namun karena etika Schopenhauer berkaitan erat dengan gagasan inti filsafatnya, kita harus sekurang-kurangnya mengerti garis besar system filsafatnya. Mengikuti Immanuel Kant, Schopenhauer membedakan antara dunia numenal dan dunia fenomenal. Kalau bagi Kant dunia fenomenal, objek-objek indrawi merupakan satu-satunya bidang yang dapat kita mengerti, sedangkan dunia numenal – das Ding an sich di belakang realitas indrawi berada diluar jangkauan pengertian kita, maka bagi Schopenhauer lain halnya. Schopenhauer mau mengajak kita untuk menembus bayangan dunia fenomenal ke realitas yang sebenarnya, dunia numenal yang ada dibelakangnya.
Dunia numenal adalah dunia pengalaman kita sehari-hari. menurutnya yang khas bagi dunia fenomenal itu adalah kehidupan. segala keanekaan di alam fenomenal secara hakiki, secara numenal adalah sama. Kesalahan kita adalah bahwa kita memutlakkan eksistensi individual kita. andaikata kita menjadi sadar bahwa diri individual kita sama dan satu dengan semua diri lain, bahkan dengan seluruh alam, bahwa kita hanyalah ekspresi kehendak numenal yang merupakan dasar realitas itu, kita akan berhenti mengejar sasaran-sasaran individual. Andaikata kita tidak mengejar sasaran-sasaran individual lagi, penderitaan kita juga akan terhenti. Melepaskan segala nafsu dan keinginan berarti melepaskan ketertarikan pada hidup, dan hidup itulah sumber penderitaan.
Dalam hubungan ini Schopenhauer mempergunakan dua istilah. Yang pertama adalah principium individuationis, prinsip individuasi. Prinsip itu membelenggu kita sehingga kita memutlakkan eksistensi individual kita. agar kita bebas dari penderitaan. Istilah kedua adalah selubung sang maya. Mengikuti filsafat klasik India sang maya disini dimaksud sebagai dewi ilusi, prinsip metafisik yang menciptakan dunia indrawi yang hanya semu itu. Dengan istilah selubung sang maya Schopenhauer mau mengatakan bahwa mata budi kita tertutup oleh ilusi bahwa individualitas kita sesuatu yang mutlak. Maka prinsip individuasi dan selubung sang maya itulah yang membuat kita menderita.
JOHN STUART MILL: UTILITARISME
Salah satu teori besar etika adalah utilitarisme. Biasanya kita membedakan antara perbuatan baik dan buruk. Menolong orang dalm kesusahan adalah baik, bohong adalah buruk. Akan tetapi menurut utilitarisme nilai moral perbuatan manusia ditentukan oleh tujuannya. Prinsip utilitarisme berbunyi “suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral apabila akibat-akibatnya menunjang kebahagiaan semua yang bersangkutan dengan sebaik mungkin.” Jadi, apakah suatu perbuatan, misalnya mengatakan yang tidak benar, buruk atau baik, tergantung dari apakah akibat yang diperkirakan itu buruk atau baik, jadi dari apakah perbuatan itu menunjang kebahagiaan umum atau tidak.
Stuart Mill dengan tulisannya Utilitarianism termasuk buku etika paling masyhur. Didalamnya antara ia menjelaskan dua hal. Pertama nikmat jangan dibatasi pada nikmat jasmani saja.nikmat rohani lebih luhur daripada nikmat jasmani. Kedua, ia membuat jelas bahwa utilitarisme tidak ada kaitan dengan egoisme. Criteria moralitas utilitarisme, prinsip kebahagiaan terbesar tadi, justru mencakup semua orang yang terkena dampak tindakan kita. berbeda dengan hedonisme Epikuros utilitarisme tidak mencitakan kebahagiaan bagi diri sendiri saja, melainkan kebahagiaan semua.
Stuart Mill menegaskan dua pandangan dasar utilitarisme: pertama, bahwa suatu tindakan adalah betul sejauh memajukan kebahagiaan,(“prinsip kebahagiaan terbesar” atau “prinsip kegunaan”). Kedua, bahwa kebahagiaan berarti mengalami nikmat dan bebas dari perasaan sakit, mengapa demikian? Menurut Mill hanya dua hal itulah yang diinginkan demi dirinya sendiri. Maka mengusahakan nikmat dan menghindari perasaan sakit merupakan norma dasar moralitas menurut utilitarisme.
Selanjutnya Mill membela utilitarisme terhadap berbagai salah paham dan sangkalan. Yang pertama adalah tuduhan bahwa utilitarisme, dengan fokusnya pada nikmat, merendahkan manusia ke tingkat binatang. Akan tetapi sangkalan itu melupakan bahwa ada berbagai macam nikmat, ada yang jasmani dan rohani, utilitarisme tidak mengatakan bahwa manusia selalu harus mengusahakan nikmat jasmani. Sebaliknya, adalah khas bagi manusia bahwa ia melepaskan nikmat yang rendah demi yang lebih tinggi. Utilitarisme pun setuju bahwa “lebih baik menjadi manusia yang tidak puas daripada babi yang puas”.
Mill juga menolak anggapan bahwa utilitarisme sama denga oportunisme yang selalu memilih apa yang bermanfaa. Menurut Mill prinsip manfaat bahkan dapat membenarkan tuntutan mutlak seperti “jangan bohong”, karena kalu hanya larang itu mtlak, kepercayaan antar manusia dapat dipertahankan, padahal kepercayaan itu amat diperlukan.
FRIEDRICH NIETZSCHE: DEKONSTRUKSI KEMUNAFIKAN
Nietzsche adalah filosof asal Jerman Tengah 1844.  pada tahun 1889 ia jatuh sakit jiwa. Ia tidak pernah menulis buku etika. Tulisan-tulisannya malah semakin penuh dengan kecaman pada etika dan moralitas. Namun justru sebagai anti-etika kecaman-kecaman Nietzsche termasuk etika. Sesuai dengan gaya menulisaforistik Nietzsche tadi. Obsesinya untuk menlanjangi kebohongan dalam moral tradisional. Dalam bahasa para filosof sekarang: Nietzsche mendekonstruksikan moralitas tradisional. Ia ingin menelanjanginya sebagai “moralitas budak”. Dibelakang nilai-nilai yang tampaknya luhur, ia merasa menemukan sesuatu yang sangat lain: ketakutan, perasaan yang tidak berdaya, kejengkelan, rasa iri hati, pendek kata, sentiment (Ressentiment). Ia mengartikan moralitas borjuis sebagai ekspresi sentiment benci orang-orang yang terinjak, yang tidak berani mengajukan harapan, cita-cita dan tuntutan mereka yang sebenarnya, yang lalu menyulap kebinaan mereka menjadi keutamaan. Ia mau membuka bahwa moralitas bukan karena orang betul-betul menjungjung tinggi nilai-nilai moral, melainkan karena ia benci, cemburu, ingin membalas dendam tetapi tidak mampu untuk melakukannya. Moralitas sebagai tanda kerendahan dan kekerdilan semangat. Dalam arti ini, Nietzsche ingin mendekonstruksikan moralitas biasa. Dapat ditambah bahwa peran sentiment umunya dianggap salah satu sumbangan terbesar Nietzsche bagi psikologi.
Terhadap etika “para budak” itu Nietzsche melawankan “etika tuan”, etika orang yang berjiwa bangsawan, inti “etika tuan” itu adalah tekad untuk otentik, untuk berani menjadi diri sendiri, untuk merealisasikan diri. Manusia bangsawan itu percaya diri, melakukan apa yang diminati, seperlunya mengorbankan pihak lemah.

Selasa, 29 November 2011

AGAMA, ILMU PENGETAHUAN DAN FILSAFAT


1.   Pengertian Filsafat Islam
a.  Arti Filsafat
Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni :
-     Segi semantic
Perkataan filsafat berasal dari kata arab falsafah, yang berasal dari kata Yunani, Philosophia, yang berarti philos=cinta, suka (loving) dan Sophia=pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan dan sebagainya philosopher, dalam bahasa arabnya failasuf. Pencipta pengetahuan sebagai tujuan hidupnya.
-     Segi praktis
Dilihat dari segi praktisnya, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan bersungguh-sungguh. Semboyan mengatakan: bahwa setiap manusia adalah filsuf, semboyan benar juga, sebab semua manusia yang berpikir adalah filsuf.
Filsuf adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan sesuatu kebenaran sedalam-dalamnya. Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran dengan segala sesuatunya.

b.  Beberapa Definisi
Karena luasnya ruang lingkup tentang pembahasan ilmu filsafat, maka banyak para ahli filsafat memberikan definisinya berbeda-beda dibawah ini :
1.     Plato (427 SM – 347 SM ) seorang filsuf Yunani, mengatakan filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
2.     Aristoteles (382 SM-322SM), mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebanaran, yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafiisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan etetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
3.     Marcus Tullius Cicero (106SM – 43SM), filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
4.     Al-Farabi (wafad 950M), mengatakan filsafat adalah pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakekat yang sebenarnya.
5.     Immanuel Kanz, mengatakan filsafat itu pokok dan pangkal segala sesuatu yang mencakup didalamnya persoalan, yaitu:
-     Metafisika: yang dapat kita ketahui
-     Etika: yang boleh kita kerjakan
-     Antropologi: sampai dimana pengharapan kita
6.     Prof. Dr. Fuad Hasan, filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berfikir radikal artinya dari radiksnya suatu gejala dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan.
7.     Drs.H. Hasbullah Bakry, ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dari ilmu pengetahuan biasa :
-     Filsafat adalah ilmu istimewa yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa karena masalah-masalah tersebut diluar jangkau ilmu pengetahuan biasa.
-     Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu :
·      Hakikat tuhan
·      Hakikat alam
·      Hakikat manusia, serta sikap manusia sebagai konsekuensi.

c.  Tujuan, fungsi dan manfaat falsafat
Menurut Harold H.Titus, filsafat adalah suatu usaha untuk memahami alam semesta, maknanya dan nilainya. Tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan.
Dr. Oemar A. Hoesin mengatakan “ilmu memberi kepada kita pengetahuan dan filsafat memberikan hikmah”. S.Takdir Alisyahbana, filsafat adalah “dapat memberikan ketenangan pikiran dan kemantapan hati, sekalipun menghadapi maut. Tujuannya yang tunggal (yaitu kebenaran) itulah letaknya kebesaran, kemuliaan, malahan kebangsawanan filsafat diantara kerja manusia yang lain”.
Radharkrishnan dalam bukunya “History of Philosophy” menyebutkan “tugas filsafat bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru”.
Soemadi Soerjabrata, filsafat adalah “untuk mempertajam pikiran dan pendapat H. De Vos berpendapat bahwa filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi harus dipraktekkan dalam sehari-hari”.

d.  Filsafat, agama dan ilmu pengetahuan
1) Filsafat dan agama
Dalam buku filsafat agama karangan Dr. H. Rosjidi diuraikan tentang perbedaan dengan agama.
Filsafat :
-     Filsafat berarti berpikir
-     Willian Temple, filsafat adalah menuntut pengetahuan untuk memahami.
-     C.S Lewis membedakan enjoyment dan contemplation misalnya : laki-laki mencintai perempuan.
-     Filsafat banyak berhubungan dengan pikiran yang dingin tenang
-     Filsafat dapat diumpamakan seperti air telaga yang tenang dan jernih dan dapat dilihat dasarnya.
-     Seorang ahli filsafat, jika berhadapan dengan penganut aliran atau paham lain, biasanya bersikap lunak.
-     Filsafat, walaupun bersikap tenang dalam pekerjaannya sering mengeruhkan pikiran pemeluknya.
-     Ahli filsafat ingin mencari kelemahan dalam tiap-tiap pendirian dan argumen, walaupun argumennya sendiri.
Agama :
-     Agama berarti mengabdikan diri dan hidup secara beragama sesuai dengan aturan-aturan agama itu.
-     Agama menuntut pengetahuan untuk beribadah yang utama merupakan hubungan manusia dengan tuhan.
-     Agama dapat dikhiaskan dengan enjoyment atau rasa cinta seseorang
-     Agama banyak berhubungan dengan hati
-     Agama dapat diumpamakan sebagai air sungai yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya.
-     Agama oleh pemeluk-pemeluknya
-     Agama dengan semangat dan perasaan pengabdian diri, juga mempunyai efek yang memenangkan jiwa pemeluknya.
2) Filsafat dan ilmu pengetahuan
Menurut Louis Kattsoff mengatakan bahwa “bahasa yang dipakai dalam filsafat dan ilmu pengetahuan dalam beberapa hal saling melengkapi”.
Harold H.Titus menerapkan ilmu pengetahuan mengisi filsafat dengan sejumlah besar materi aktual dan deskriptif, yang sangat perlu dalam pembinaan suatu filsafat.
3) Bedanya filsafat dengan ilmu-ilmu lain
-     Filsafat menyelidiki, serta memikirkan seluruh alam kenyataan dan menyelidiki bagaimana hubungan kenyataan satu sama lain.
-     Filsafat tidak saja menyelidiki tentang sebab akibat tetapi menyelidiki hakikatnya sekaligus.
-     Dalam pembahasannya filsafat menjawab apa ia sebenarnya, dari mana asalnya dan hendak kemana perginya.

e.  Pengertian Filsafat Islam
Menurut Mustofa Abdur Razik, kata filsafat adalah “kata hikmah. Sehingga kata hakim ditempatkan pada kata failusuf atau hukum al-islam (hakim-hakim islam) sama dengan falasifatul islam (failasuf-failasuf islam)”. Dr.Fuad Al-Ahwani, bahwa “kebanyakan pengarang-pengarang arab menetapkan kalimat hikmah ditempat kalimat filsafat dan menempatkan kalimat hakim ditempat kalimat failusuf dan sebaliknya”.
Ibnu Sina mengatakan hikmah adalah “mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktik menurut kadar kemampuan manusia”.
Al-Farabi, failasuf adalah “orang yang menjadikan seluruh kesungguhan dari kehidupannya dan seluruh maksud dari umurnya mencari hikmah yaitu mema’rifati allah yang mengandung pengertian mema’rifati kebaikan”. Ahli tafsir Muhammad Abduh adalah ilmu yang berhubungan dengan rahasia-rahasia yang kokoh/rapi dan bermanfaat dalam menggerakkan amal pekerjaan.
Dr. Ibrahim Madzkur, “filsafat arab bukanlah berarti bahwa ia adalah produk suatu ras atau umat”. Drs. Sidi Gazalba memberikan gambaran sebagai berikut “bahwa tuhan memberikan akal kepada manusia itu menurunkan nakal (wahyu/sunnah) untuk dia. Dengan akal ia membentuk pengetahuan. Apabila pengetahuan manusia itu digerakkan oleh nakal, menjadilah ia filsafat islam. Wahyu dan sunnah (terutama mengenai yang ghaib) yang tidak mungkin dibuktikan kebenarannya denga riset, filsafat islamiah yang memberikan keterangan, ulasan dan tafsiran sehingga kebenarannya terbuktikan dengan pemikiran budi yang bersistem, radikal dan umum”.
As-Suhrawardi Ar-Razi, beliau lebih suka memilih pendapat yang menamakannya filsafat di dunia Islam, adapun Mauric de wild, Emik Brehier dan Lutfi As Sid menyebutkan dengan filsafat arab beralasan bahwa filsafat itu ditulis dalam bahasa arab atau diterjemahkan dalam bahasa arab dengan menambah unsur-unsur baru dalam bahasa arab juga.

f.   Objek Filsafat Islam
Objek filsafat adalah menelaah hakekat tentang Tuhan, manusia dan segala realitas yang nampak dihadapan manusia. Filsafat mencakup seluruh benda dan semua yang hidup yakni pengetahuan terhadap sebab-sebab yang jauh yang tidak perlu lagi dicari sesudahnya. Filsafat berusaha untuk menafsirkan hidup itu sendiri yang menjadi sebab pokok bagi partikel-partikel itu beserta fungsinya. Cakupan filsafat Islam jauh berbeda dari objek filsafat ini. Hanya dalam proses pencarian itu filsafat islam telah diwarnai nilai-nilai yang Islami. Kebebasan pola pikirannya pun digantungkan oleh etis yakni sebuah ketergantungan yang didasarkan pada kebenaran ajaran ialah Islam.

PEMIKIRAN MENURUT FILSAFAT ISLAM
1. Metafisika (Ketuhanan) atau Ontologi
Ontologi merupakan azas dalam menetapkan batas ruang hidup wujud yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika)(Jujun, 1986).
Filsafat metafisika Al-Kindi menulis dalam makalahnya, khususnya dalam makalah tentang filsafat pertama dan tentang ke-Esa-an Tuhan dan berakhirnya alam. Dalam makalah ini Al-Kindi mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang Haq (sebenarnya) yang tidak pernah tiada sejak awal dan tidak akan pernah ada selama-lamanya. Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak pernah didahului wujud yang lain dan wujudnya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada wujud lain melainkan dengan perantarnya.
Menurut Al-Kindi filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia. Yang dimaksud definisi ialah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu. Mematikan hawa nafus adalah jalan untuk memperoleh keutamaan. Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh kenikmatan lahirah berarti meninggalkan penggunaan akal.
Menurut Ibu Sina filsafat itu terbagi dalam ilmu teoritis dan ilmu praktis. Dalam ilmu teoritis adalah termasuk ilmu fisika, matematika dan metafisika. Sedangkan yang termasuk ilmu praktis adalah etika, tata rumah tangga, politik. Ibnu Sina menempatkan studi ilmu jiwa dalam ilmu teoritis dan dimasukkan pada ilmu alam.
Louis O.Kattsoff (1987: 192) membagi ontologi dalam tiga bagian : ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif dan kualitatif serta ontologi monistik. Dikatakan ontologi bersahaja sebab segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena dipertanyakannya mengenai tunggal atau jamaknya dan dikatakan ontologi kualitatif juga berangkat dari pertanyaan: apakah yang merupakan jenis kenyataan itu. Sedangkan ontologi monistik adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya; keanekaragaman, perbedaan dan perubahan dianggap semu belaka. Pada gilirannya ontologi monistik melahirkan monisme atau idealisme dan materialisme (Hery, 17-18).
Ontologi keilmuan merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontologis keilmuan. Penafsiran metafisika keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik objek ontologis sebagaimana adanya dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik.
Dalam membuktikan adanya Allah, Ibnu Thufail mengemukakan tiga argumen sebagai berikut :
-     Argumen gerak (al-harakat)
Gerak alam ini menjadi bukti tentang adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam baharu maupun yang menyakini alam kadim. Pencipta yaitu Allah, yang menggerakkan alam dari tidak ada menjadi ada. Sementara itu bagi orang yang menyakini alam kadim-alam ini tidak didahului oleh tidak ada dan selalu ada–gerak alam ini kadim, tidak berawal dan tidak berakhir. Karena zaman tidak mendahuluinya, arti kata gerak ini tidak didahului oleh diam. Adanya gerak ini menunjukkan secara pasti adanya penggerak (Allah). Dan bagi orang yang menyakini alam baharu, penggerak ini berfungsi mengubah alam dan tidak ada (al-adam) dan baharunya–belum pernah dikemukakan oleh filosof muslim manapun sebelumnya. Dengan argumen ini, Ibnu Thufail memperkuat argumentasi bahwa tanpa wahyu akal dapat mengetahui adanya Allah.
-     Argumen materi (al-madat dan bentuk al-shurat)
Argumen ini, menurut Ibnu Thufail, dapat membuktikan adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam kadim maupun haditsnya. Argumen ini didasarkan pada ilmu fisika dan masih ada korelasinya dengan dalil yang pertama (al-harakat). Pencipta (Allah) merupakan Illat (sebab) dan alam merupakan ma’lul (akibat). Antara keduanya mempunyai perbedaan yang tajam dan tidak bisa disamakan dalam berbagai aspek, seperti Allah kekal dan kaya, sedangkan alam berkesudahan dan berkehendak.
-     Argumen Al-Ghaiyyat dan al-inayat al-Ilahiyyat
Argumen ini berdasarkan pada kenyataan bahwa segala yang ada dialam ini mempunyai tujuan tertentu. Dalam hal zat dan sifat Allah, Ibnu Thufail sejalan dengan pendapat mu’tazilah. Sifat-sifat Allah yang maha sempurna tidak berlainan dengan zatnya. Allah mengetahui dan berkuasa bukan dengan sifat ilmu dan kuadrat yang melekat pada zatnya tetapi dengan zatnya sendiri. Allah adalah pemeberi wujud pada semua makhluk.

2.   Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan (Kattsoff, 1987: 76). Epistemologi meliputi tata cara dan sarana untuk mencapai pengetahuan. Secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemologi yaitu rasionalisme dan empirisme, yang pada gilirannya kemudian muncul beberapa isme lain, misalnya rasionalisme kritis (kritisisme), (fenomenalisme), intuisionisme, postivisme.
Dalam epistemologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa “ma’rifat itu dimulai dari panca indra”. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi. Hal-hal ma’rifat dilakukan dengan dua cara, pemikiran atau renungan seperti yang dilakukan para filosof muslim dan kasyf ruhani (tasawuf), seperti yang dilakukan oleh kaum sufi. Kesesuaian antara nalar dan infuisi membentuk esensi epistemologi Ibnu Thufail.
Menurut Mu’tazilah, “pengetahuan ada dua macam, pengetahuan inderawi dan pengetahuan rasional. Pengetahuan inderawi diperoleh dengan perantara pancaindera dan pengetahuan rasional dicapai dengan akal”. Mu’tazilah mengambil alih pendapat Aristoteles tentang sensasi (ihsas). Panca indera hanya dipandang sebagai alat untuk memperoleh rasa bagi jiwa. Panca indera tidak mengetahui sesuatu tetapi menerima bekas dari benda-benda inderawi. Bekas yang diterimanya tidak menjadi pengetahuan, kecuali dengan perantaraan akal.
Pengetahuan rasional diperoleh dengan jalan akal, yang oleh Abu Al-Hudzail dan sebagainya sebagai potensi untuk memperoleh pengetahuan. Fungsi akal ialah mentajrid (abstraksasi) kebenaran-kebenaran spiritual dan hal-hal inderawi dan mengetahui hubungan satu sama lain. Selain itu juga dapat memberikan petunjuk kepada manusia mengenai perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan.
Al-Kindi menyebutkan ada tiga macam pengetahuan manusia, yaitu “pengetahuan indrawi, pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang disebut pengetahuan rasional dan pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan yang disebut isyragi atau iluminatif”.
-     Pengetahuan Inderawi
Pengetahuan inderawi terjadi secara langsung ketika orang mengamati terhadap obyek-obyek material, kemudian dalam proses tanpa tengang waktu dan tanpa berupaya berpindah ke imajinasi (musyawwirah), diterukan ketempat penampungannya yang disebut Hafizhah. Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini tidak tetap karena objek yang diamati pun tidak tetap, selalu dalam keadaan menjadi berubah setiap saat, bergerak, berlebih, berkurang kuantitasnya dan berubah-ubah pula kualitasnya.
-     Pengetahuan Rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal bersifat universal, tidak parsial dan bersifat immaterial. Objek pengetahuan rasional bukan individu tetapi genus dan spesies. Orang mengamati manusia sebagai yang berbadan tegak dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit putih atau berwarna yang semua ini menghasilkan pengetahuan inderawi. Tetapi orang yang mengamati manusia, menyelidiki hakikatnya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk berpikir (rational animal=hayawan nathiq), telah memperoleh pengetahuan rasional yang abstrak universal, mencakup semua individu manusia. Manusia yang telah ditajrid (dipisahkan) dari yang inderawi tidak mempunyai gambar yang terlukis dalam perasaan.
-     Pengetahuan Isyraqi
Al-Kindi mengatakan bahwa pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki tentang hakikat-hakikat. Al-Kindi, sebagaimana halnya banyak filosof isyraqi, mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan isyraqi (iluminasi), yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Illahi. Puncak dari jalan ini ialah diperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umat manusia.
3.   Aksiologi
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan, sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil dan kawasan simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam parksis.
Dalam pendekatan aksiologi, Al-Kindi mengemukakan bahwa “pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia”. Dalam hal ini maka ilmu menurutnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti, bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuahannya sesuai dengan komunalisme. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parokial, seperti ras, ideologi atau agama.
Mengenai aksiologi menurut Ibnu Sina dapat melalui tiga cara :
-     Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai itu merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung kepada pengalaman-pengalaman mereka.
-     Nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologis namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.
-     Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal, pendirian ini dinamakan objektivisme logis.
-     Nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, yang demikian ini disebut objektivisme metafisik.

 
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. Tafsir Al-Manar, Beirut, tanpa tahun
Alisyahbana, Takdir, St.. Pembimbing ke Filsafat Metafisika, Jakarta, 1957
Ahmadi, Abu. Filsafat Islam, Toha Putra, Semarang, 1982
Al-Farabi. Al-Madinatul Fadilah, Maktabah Tijariyah, Kairo, 1970
Al-Gazali, Maqashidul Falasifah, Dar Ma’arif, Kairo, 1961
_________. Tahafut Al-Falasifah, Dar Ma’arif, Kairo, 1955.
As-Shiddiqi, Hasbi.  Filsafah Hukum Islam Jakarta, 1975
Atjeh, Abubakar. Sejarah Filsafat Islam, Semarang, 1970
Diryarkard, S.J.M. Percikan Filsafat, Jakarta, 1962
Fuad Al-Ahwani. Al-Falsafatul Islamiyah, Dar Qalam, Kairo, tanpa tahun.
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat, Jakarta, 1976
Hanifah, Abu, Rintisan Filsafat, Jakarta, 1950
Hanafi, A. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, 1969
Hasbullah, Bakri. Sistematika Filsafat, Solo, 1961
Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani, Jakarta, 1980
Husin, Oemar Amin. Filsafat Islam, Jakarta, 1961
Iqbal. Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Terjemahan O. Balibi, Jakarta, 1983
Madkur, Ibrahim. Filsafat Islam Metoda dan Penerapan, Terjemahan Wahyudi dkk., Jakarta, 1988
Nasution, Harun. Falsafat Agama, Jakarta, 1973
Rusyd, Ibnu. Fashl Al- Mawal fi ma Baina Al-Hikmati wal SyariahMin Al-Itteshal, Edisi Muhammad Imarah, Dar Ma’arif,Kairo, 1969
Rasyidi. Filsafat Agama, Jakarta, 1970
Shadali, Hasan. Ensiklopedia Indonesia, Jilid II, Jakarta, 1980
Soerjabrata, Soemadi. Pengantar Filsafat, Yogyakarta, 1970
Tsabit, Al-Fandi Muhammad. Min Falsafati Al-Din Huda Al-Ghazali, Fi Abu Hamid, Al-Ghazali, Kairo, 1961